Zuhud
1. Pendahuluan
Selain setan dan hawa nafsu, penghalang manusia dalam menggapai mardatillah adalah dunia yang diciptakan-Nya ini. Karena memang setan telah menghias dunia dan memperindahnya di hati manusia, sehingga manusia menjadi condong dan merasa tenang dengannya. Allah SWT menyifati seluruh dunia sebagai kesenangan sesaat
" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun (QS An-Nisa:77),
sesuatu yang sebentar, jika dinikmati adalah permainan dan sesuatu yang melalaikan
ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.(QS Al-Hadid: 20).
Ibnu Iyad berujar, Seandainya dunia adalah emas yang akan sirna, dan akhirat hanyalah tembikar, tetapi akan kekal, maka kita wajib memilih yang kekal daripada yang fana. Selanjutnya dia berujar, Semua kebajikan disimpan dalam sebuah rumah dan kuncinya adalah zuhud di dunia, sedangkan seluruh kejelekan diletakkan di rumah lain dan kuncinya adalah cinta dunia.[1]
Dunia tidak diciptakan sebagai tujuan, tetapi sebagai tempat berjalan bagi manusia, atau sebagai perantara untuk sampai pada rida Allah SWT. Maka dari itu, dia ibarat pelayan, dan pelayan akan bersifat rendah, tidak mungkin dinilai secara agung dan mulia.
Makna kezuhudan kita pada dunia adalah dengan berpaling darinya. Zuhud mempunyai surah (contoh) dan hakikat. Surah zuhud, antara lain mencukupkan dan membatasi diri dari aneka ragam makanan, pakaian, dan perhiasan. Inilah yang dulu dilakukan Rasulullah dan sebagian besar sahabat beliau. Namun, ini bukan inti sebenarnya. Zuhud tidak lebih sebagai cara untuk membersihkan hati dari sifat keduniawian.
Dengan demikian hakikat zuhud adalah kesamaan pandangan dan sikap antara penerimaan dan berpalingnya manusia terhadap dunia. Tidak berbeda baginya antara ada dan tidak adanya kebahagiaan dunia di hadapannya. Dengan kata lain, zahid (ahli zuhud) akan merasa sama saat memakai baju seharga seratus ribu atau yang hanya berharga seribu. Jika hati dan perasaannya sama tatkala memiliki harta sejuta pada hari ini dan esoknya memiliki seribu, atau tidak memiliki sama sekali, maka dia zahid yang sebenarnya.[2]
2. Pembahasan
a. Definisi Zuhud
definisi zuhud: menurut bahasa, lafadz zahida fiihi wa 'anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkan sesuatu itu karena kehinaannnya atau karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya. lafazh zahuda fi asy-syai'i artinya tidak membutuhkannya, jika dikatakan zahida fi ad-dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang haram, dari dunia, karena takut hisabnya (perhitungan di akherat kelak ) dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena takut siksaan-Nya. Tazahhada artinya pun menjadi orang zuhud dan ahli ibadah. az-Zahid adalah ahli ibadah. bentuk jama'nya adalah zuhad wa zuhaad . lafazh az-Zhaadah fi asy-syai'i kebalikan dari kesenangan kepadanya, ridho kepada yang sedikit dan yang jelas kehalalannya, meninggalkan yang lebih dari itu karena Alloh semata.[3]
pengertian zuhud jika ditilik dari makna kata zahaadah . makna zuhud secara terminologis, ada beberapa ulama' yang mengartikan diantaranya Ibnul Jauziy mengatakan, "azzuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. syarat sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu. siapa yang tidak menyukai sesuatu yang bukan termasuk hal yang disenangi dan dicari jiwanya, tidak harus disebut orang zuhud, seperti orang yang tidak makan tanah, yang tidak dapat disebut orang yang zuhud. jadi zuhud itu tidak sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya dengan suka rela, ketika badan kuat dan kecendrungan hati kepadanya, tapi zuhud itu ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaan dunia itu jika dibandingkan nilai akhirat."
Menurut syaikhul islam Ibnu Taimiyah, "az-Zuhd adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, entah karena memang tidak ada manfaatnya, atau memang karena keaadaannya yang tidak diutamakan, karena ia dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat, atau dapat mengancam manfaatnya, entah manfaat yang sudah pasti maupun manfaat yang diprediksi. zuhud di dunia merupakan kebodohan."[4]
Orang zuhud secara alamiah tidak menyukai sesuatu. Umpama, orang sakit yang enggan makan, atau orang yang membenci dan tidak menyukai makanan yang manis-manis. Atau juga orang yang dikarenakan memiliki kelainan seks tidak menyukai wanita. Inikah yang dimaksud dengan orang zuhud? Tak seorang pun yang tidak mencintai kehidupan duniawi berdasarkan naluri alamiahnya. Kezuhudan merupakan salah satu konsep moral. Orang zuhud secara naluriah menyukai kenikmatan materi. Namun, dikarenakan tujuan dan maksud-maksud tertentu, pebuatan dan sikapnya menunjukan dirinya tidak menyukai sesuatu. Maksudnya, ia akan meninggalkan segenap hal yang disukainya demi suatu tujuan. Dalam hal ini, pengertian dari 'mengarahkan jiwa dan pemikiran kepada sesuatu berdasarkan tujuan dan aktivitas' tentu berbeda dengan pengertian 'tidak menyukai sesuatu secara alamiah'. Makna kezuhudan adalah ketidakpedulian terhadap hal-hal yang diinginkan secara alamiah. Inilah pengertian zuhud menurut masyarakat umum.
Dengan demikian, kezuhudan berarti meninggalkan urusan duniawi untuk mencapai urusan ukhrawi. Untuk menjadi orang zuhud, seseorang harus memutuskan hubungan sosialnya dengan masyarakat. Jalan kezuhudan adalah mengasingkan dan mengucilkan diri, serta rahbaniyyah (persemediaan) dan bertapa. Karenanya, zuhud dalam pengertian semacam ini identik dengan rahbaniyyah yang diajarkan dalam agama Nasrani.
Namun menurut Murtadha Muthahhari Zuhud bukanlah lemah atau berlepas tangan dari urusan kehidupan tapi, menjalankan satu prinsip hidup yang mendahlukan akhlak dan prilaku di atas keinginan2 materi, dunia tidak jelek, mencintai dunia itu yang jelek.[5]
Adapun zuhud menurut Syaikh Almuhasibi adalah menghindari cinta dunia dan meninggalkan hasrat memilikinya.[6] Dengan demikian zuhud adalah sikap yang lepasnya diri dari ketergantungan terhadap sesuatu yang bersifat material. Ini bukan berarti keterputusan dari dunia materi, tetapi lebih ditekankan kepada lepasnya ketergantungan tersebut. Bisa saja seseorang tetap memiliki materi (kaya) tetapi ia tidak berkeberatan membelanjakan hartanya untuk jalan tuhan, dan jika hartanya hilang ia tidak sampai menangisi dan panik karenanya. Seorang yang zuhud (zahid) jika memiliki materi adalah orang yang memanfaatkan materi dan ia sama sekali tidak dimanfaatkan oleh materi. Ia tidak merasa materi adalah segala-galanya, sehingga dalam ketiadaan pun ia masih tetap merasa bahwa ada sesuatu di balik materi yang merupakan kebahagiaan yang lebih mendalam dan abadi.
Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa zuhud itu bukanlah mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, akan tetapi zuhud di dunia adalah engkau lebih mempercayai apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu. Keadaanmu antara ketika tertimpa musibah dan tidak adalah sama saja, sebagaimana sama saja di matamu antara orang yang memujimu dengan yang mencelamu dalam kebenaran.
Di sini zuhud ditafsirkan dengan tiga perkara yang semuanya berkaitan dengan perbuatan hati:
Bagi seorang hamba yang zuhud, apa yang ada di sisi Allah lebih dia percayai daripada apa yang ada di tangannya sendiri.[7] Hal ini timbul dari keyakinannya yang kuat dan lurus terhadap kekuasaan Allah. Abu Hazim az-Zahid pernah ditanya, “Berupa apakah hartamu?” Beliau menjawab, “Dua macam. Aku tidak pernah takut miskin karena percaya kepada Allah, dan tidak pernah mengharapkan apa yang ada di tangan manusia.” Kemudian beliau ditanya lagi, “Engkau tidak takut miskin?” Beliau menjawab, “(Mengapa) aku harus takut miskin, sedangkan Rabb-ku adalah pemilik langit, bumi serta apa yang berada di antara keduanya.”
Apabila terkena musibah, baik itu kehilangan harta, kematian anak atau yang lainnya, dia lebih mengharapkan pahala karenanya daripada mengharapkan kembalinya harta atau anaknya tersebut. Hal ini juga timbul karena keyakinannya yang sempurna kepada Allah.
Baginya orang yang memuji atau yang mencelanya ketika ia berada di atas kebenaran adalah sama saja. Karena kalau seseorang menganggap dunia itu besar, maka dia akan lebih memilih pujian daripada celaan. Hal itu akan mendorongnya untuk meninggalkan kebenaran karena khawatir dicela atau dijauhi (oleh manusia), atau bisa jadi dia melakukan kebatilan karena mengharapkan pujian. Jadi, apabila seorang hamba telah menganggap sama kedudukan antara orang yang memuji atau yang mencelanya, berarti menunjukkan bahwa kedudukan makhluk di hatinya adalah rendah, dan hatinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran.
Hakekat zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi, teladan bagi orang-orang yang zuhud, beliau mempunyai sembilan istri. Demikian juga Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.
Menurut Ibnu ‘Abbas RA bahwa Zuhud terdiri dari tiga huruf, yaitu Zaa Haa dan Daal.
1) Zaa maksudnya zaadun lil ma’ad artinya bekal untuk kembali ke akhirat yaitu taqwa.
2) Haa maksudnya hudan li al-diin artinya petunjuk untuk mengikuti Islam.
3) Daal maksudnya dawaam ‘ala al thaa’ah artinya terus menerus dalam melakukan ketaqwaan.
Dalam kesempatan lain beliau mengatakan: bahwa tiga huruf zaa, haa dan daal berarti;
1) Zaa maksudnya tarku al ziinah artinya meninggalkan kemegahan dan kemewahan.
2) Haa maksudnya tarku al hawaa artinya meninggalkan kesenangan nafsu, dan
3) Daal maksudnya tarku al dunya artinya menjauhi keduniawian.[8]
b. Zuhud di dalam Alquran
Kata zuhud sering disebut-sebut ketika kita mendengar nasehat dan seruan agar mengekang ketamakan terhadap dunia dan mengejar kenikmatannya yang fana dan pasti sirna, dan agar jangan melupakan kehidupan akhirat yang hakiki setelah kematian. Hal ini sebagaimana peringatan Allah tentang kehidupan dunia yang penuh dengan fatamorgana dan berbagai keindahan yang melalaikan dari hakikat kehidupan yang sebenarnya.
Allah swt berfirman,
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu, batil, dan sekadar permainan. Yang dimaksud sekadar permainan adalah sesuatu yang tiada bermanfaat dan melalaikan. Ayat ini juga menunjukkan bahwa dunia adalah perhiasan, dan orang-orang yang terfitnah dengan dunia menjadikannya sebagai perhiasannya dan tempat untuk saling bermegah-megahan dengan kenikmatan yang ada padanya berupa anak-anak, harta-benda, kedudukan dan yang lainnya sehingga lalai dan tidak beramal untuk akhiratnya.
Allah menyerupakan kehancuran dunia dan kefanaannya yang begitu cepat dengan hujan yang turun ke permukaan bumi. Ia menumbuhkan tanaman yang menghijau lalu kemudian berubah menjadi layu, kering dan pada akhirnya mati. Demikianlah kenikmatan dunia, yang pasti pada saatnya akan punah dan binasa. Maka barangsiapa mengambil pelajaran dari permisalan yang disebutkan di atas, akan mengetahui bahwa dunia ibarat es yang semakin lama semakin mencair dan pada akhirnya akan hilang dan sirna. Sedangkan segala apa yang ada di sisi Allah adalah lebih kekal, dan akhirat itu lebih baik dan utama sebagaimana lebih indah dan kekalnya permata dibandingkan dengan es. Apabila seseorang mengetahui dengan yakin akan perbedaan antara dunia dan akhirat dan dapat membandingkan keduanya, maka akan timbul tekad yang kuat untuk menggapai kebahagian dunia akhirat.
c. Zuhud yang Bermanfaat dan Sesuai Dengan Syariat
Zuhud yang disyariatkan dan bermanfaat bagi orang yang menjalaninya adalah zuhud yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat demi menggapai kehidupan akhirat. Adapun sesuatu yang memberi manfaat bagi kehidupan akhirat dan membantu untuk menggapainya, maka termasuk salah satu jenis ibadah dan ketaatan. Sehingga berpaling dari sesuatu yang bermanfaat merupakan kejahilan dan kesesatan sebagaimana sabda Nabi,
“Carilah apa yang bermanfaat bagi dirimu dan mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.” (HR. Muslim hadits no. 4816)
Yang bermanfaat bagi seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya. Dan semua yang menghalangi hal ini adalah perkara yang mendatangkan kemudharatan dan tidak bermanfaat. Yang paling berguna bagi seorang hamba adalah mengikhlaskan seluruh amalnya karena Allah. Orang yang tidak memperhatikan segala yang dicintai dan dibenci oleh Allah dan rasul-Nya akan banyak menyia-nyiakan kewajiban dan jatuh ke dalam perkara yang diharamkan; meninggalkan sesuatu yang merupakan kebutuhannya seperti makan dan minum; memakan sesuatu yang dapat merusak akalnya sehingga tidak mampu menjalankan kewajiban; meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar; meningalkan jihad di jalan Allah karena dianggap mengganggu dan merugikan orang lain. Pada akhirnya, orang-orang kafir dan orang-orang jahat mampu menguasai negeri mereka dikarenakan meninggalkan jihad dan amar ma’ruf -tanpa ada maslahat yang nyata-.
Allah berfirman,
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah, ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.’” (QS. Al-Baqarah: 217)
Allah menjelaskan dalam ayat ini, walaupun membunuh jiwa itu merupakan keburukan, akan tetapi fitnah yang ditimbulkan oleh kekufuran, kezaliman dan berkuasanya mereka (orang-orang kafir) lebih berbahaya dari membunuh jiwa. Sehingga menghindari keburukan yang lebih besar dengan melakukan keburukan yang lebih ringan adalah lebih diutamakan. Seumpama orang yang tidak mau menyembelih hewan dengan dalih bahwa perbuatan tersebut termasuk aniaya terhadap hewan. Orang seperti ini adalah jahil, karena hewan tersebut pasti akan mati. Disembelihnya hewan tersebut untuk kepentingan manusia adalah lebih baik daripada mati tanpa mendatangkan manfaat bagi seorang pun. Manusia lebih sempurna dari hewan, dan suatu kebaikan tidak mungkin bisa sempurna untuk manusia kecuali dengan memanfaatkannya, baik untuk dimakan, dijadikan sebagai kendaraan atau yang lainya. Yang dilarang oleh Nabi adalah menyiksanya dan tidak menunaikan hak-haknya yang telah tetapkan oleh Allah.
Nabi bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik atas segala sesuatu, maka jikalau kalian membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan baik, hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.” (HR. Muslim hadits no. 3615)
d. Zuhud yang Bid’ah dan Menyelisihi Syari’at
Zuhud yang menyelisihi Sunnah tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya. Karena ia menganiaya hati dan membutakannya, membuat agama menjadi buruk dan hilang nilai-nilai kebaikannya yang diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, menjauhkan manusia dari agama Allah, menghancurkan peradaban, dan memberi kesempatan bagi musuh-musuh Islam untuk menguasai mereka; merendahkan kemuliaan seseorang serta menjadikan seorang hamba menyembah kepada selain Allah. Berikut ini beberapa perkataan para penyeru zuhud yang menyelisihi petunjuk Nabi.
Perkataan Junaid, salah seorang penyeru zuhud yang menyelisihi syariat, “Saya senang kalau seorang pemula dalam kezuhudan tidak menyibukkan diri dengan tiga perkara agar tidak berubah keadaannya, yaitu bekerja untuk mendapatkan rezeki, menuntut ilmu hadist, dan menikah. Dan lebih aku senangi jika seorang sufi tidak membaca dan menulis agar niatnya lebih terarah.” (Kitab Quatul-Qulub 3/135, kitab karya Junaid).
Perkataan Abu Sulaiman ad-Darani, “Jika seseorang telah menuntut ilmu, pergi mencari rezeki atau menikah, maka dia telah bersandar kepada dunia.” (Kitab Al-Futuhat Al-Makiyah, 1/37).
Padahal telah dimaklumi bahwa semua peradaban di dunia ini tidak mungkin tegak dan berkembang kecuali dengan tiga perkara, yaitu dengan bekerja, mencari ilmu, dan menikah demi meneruskan keturunan manusia. Rasulullah sendiri telah memerintahkan kita bekerja mencari rezeki sebagaimana dalam sabda beliau,
“Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya nabi Allah, Dawud, makan dari hasil kerja tangannya.” (HR. Bukhari, III/8 hadits no. 1930)
Dan Rasulullah telah memerintahkan umatnya untuk menikah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan (lahir dan batin) untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Sedangkan untuk yang tidak mampu, hendaklah berpuasa karena puasa itu dapat menjaganya (yaitu benteng nafsu).” (HR. Bukhari, VI/117)
Beliau juga memerintahkan kaum muslimin menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun dunia, sebagaimana sabdanya,
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (Ibnu Majah hadits no. 220. Hadist Sahih, lihat Kitab Al-Jami’ As-Shahih no. 3808 karya Al-Bani)
Wajib di sini adalah dalam menuntut ilmu agama. Adapun ilmu duniawi, tidak ada seorang pun yang berselisih tentang pentingnya ilmu tersebut, baik berupa ilmu kesehatan, ilmu perencanaan maupun ilmu lainnya yang manusia tidak mungkin terlepas darinya. Terpuruknya kaum muslimin ke dalam jurang kehinaan dan kemunduran pada masa sekarang ini tidak lain akibat kelalaian mereka dalam menuntut ilmu agama yang benar, merasa cukup dengan ilmu duniawi yang mereka ambil dari musuh-musuh mereka dalam berbagai macam aspek kehidupan, baik yang besar maupun yang kecil, banyak maupun sedikit, yang semuanya berujung kepada kebinasaan, hilangnya agama, akhlak, dan hal-hal utama lainnya.[9]
e. Manfaat Kezuhudan
Kezuhudan menjadikan seseorang meninggalkan sesuatu yang disukai demi suatu tujuan. Sekarang, kita akan menelaah tentang tujuan tersebut serta menentukan pandangan Islam sekaitan dengan masalah ini. Pertama-tama, kita harus melihat apakah Islam menganggapnya sebagai suatu kewajiban atau sekadar mustahab (sunah)? Maksudnya, apakah Islam mewajibkan atau sekadar menganjurkan secara mustahab kepada seseorang untuk menutup mata dari kenikmatan duniawi yang disukainya? Apakah pada dasarnya Islam tidak pernah menganjurkan manusia untuk meninggalkan kenikmatan duniawi demi suatu tujuan?
Anggaplah hal seperti ini terdapat dalam Islam. Namun, timbul suatu pertanyaan, apakah tujuan Islam dalam menganjurkan kezuhudan? Tujuan-tujuan agung apakah yang akan dicapai manusia sehingga harus meninggalkan kenikmatan duniawi?
Tujuan-tujuan apakah yang mengharuskan manusia berpaling dari kelezatan duniawi? Berpaling dari kelezatan duniawi bukan saja dianggap sebagai perbuatan baik, bahkan Islam menerima dan menganjurkan manusia untuk melakukannya. Sebagian orang beranggapan, filsafat kezuhudan menghendaki keterpisahan antara ihwal keagamaan dengan ihwal keduniawian —seperti perdagangan, pertanian, dan industri. Urusan agama hanya berkenaan dengan masalah peribadatan, sedangkan di luar itu (pencarian materi, perdagangan, pertanian, manajemen, dan sebagainya) merupakan urusan duniawi. Apa yang disebut dengan kezuhudan adalah meninggalkan urusan dunia untuk mengurus akhirat. Ini merupakan anggapan yang keliru, lantaran Islam juga menganjurkan manusia untuk menggarap urusan duniawi. Zuhud mencakup semua urusan (baik duniawi maupun ukhrowi). Terdapat dua jenis kezuhudan yang bukan bersumber dari ajaran Islam, melainkan dari agama-agama lain.
Yang pertama adalah bentuk kezuhudan yang memisahkan ihwal keduniawian dengan keakhiratan. Dalam hal ini, praktik kezuhudan memisahkan secara kontras dua bentuk urusan. Sebagian berhubungan dengan keduniawian, seperti mencari nafkah, berdagang, bertani, industri, mencari rezeki, dan memperoleh harta. Semua yang berhubungan dengan kehidupan merupakan urusan duniawi. Harta berhubungan dengan alam kehidupan di dunia (dengan urusan duniawi) dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan alam kehidupan lainnya. Sebaliknya, terdapat pula persoalan yang tidak berhubungan dengan kehidupan dunia. Tepatnya, persoalan tersebut tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap kehidupan duniawi. Inilah yang disebut dengan Ibadah, seperti berdoa, berpuasa, dan membersihkan jiwa. Jadi, kezuhudan berarti meninggalkan kehidupan dunia lantaran ingin menyendiri demi menjalankan urusan keakhiratan (ibadah).
Tujuan Zuhud dengan demikian adalah sebagai upaya menjadikan agama sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Sang pencipta. Ia berfungsi memutuskan hubungan kebendaan di dalam diri manusia, yaitu kecenderungan manusia terhadap materi, sehingga keberadaan manusia sebagai makhluk spiritual menjadi menonjol dan menjauhkannya dari sikap meterialistis. Dengan demikian keacuhan di sini bermakna positif, dengan pengertian bahwa manusia melepaskan ketergantungannya terhadap materi sehingga ia bisa memiliki makna hidup dan makna kemanusiaan yang lebih mendalam.
Dengan demikian makna negatif zuhud (makna konotatif) yang sering kita dengar, misalnya bahwa zuhud adalah menghindar dari dunia dan mengabaikan kewajiban-kewajiban duniawi, itu semata-mata merupakan pemahaman yang salah terhadap zuhud. Memang zuhud bukanlah suatu produk jadi. Ia bisa dicapai dengan latihan dan proses yang berat. Yang kadang-kadang untuk mampu memilikinya sebagai sikap mental seseorang memilih melakukan penghindaran yang sifatnya sementara terhadap hal-hal yang berbau duniawi. Tetapi itu tidak mutlak, karena itu semata-mata adalah pilihan metode, yang jika telah berhasil memilikinya maka tidak ada pengaruh lagi baginya ada atau tidak ada hal-hal duniawi di sekitarnya, orang tersebut tetap akan tidak tergantung. Yang jelas, jika memang bentuk metode itu yang dipilih, maka seharusnya orang tersebut kembali ke dalam kehidupan sebagaimana layaknya, karena bagaimanapun agama tidak menganjurkan ada ketimpangan dalam hidup, tetapi tetap keselarasan antara kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat.
f. Tingkatan-tingkatan Zuhud
Ada beberapa tingkatan zuhud sesuai dengan keadaan setiap orang yang melakukannya, yaitu:
1) Berusaha untuk hidup zuhud di dunia; sementara ia menghendaki (dunia tersebut), hati condong kepadanya dan selalu menoleh ke arahnya, akan tetapi ia berusaha melawan dan mencegahnya.
2) Orang yang meninggalkan dunia dengan suka rela, karena di matanya dunia itu rendah dan hina, meskipun ada kecenderungan kepadanya. Dan ia meninggalkan dunia tersebut (untuk akhirat), bagaikan orang yang meninggalkan uang satu dirham untuk mendapatkan uang dua dirham (maksudnya balasan akhirat itu lebih besar daripada balasan dunia).
3) Orang yang zuhud dan meninggalkan dunia dengan hati yang lapang. Ia tidak melihat bahwa dirinya meninggalkan sesuatu apapun. Orang seperti ini bagaikan seseorang yang hendak masuk ke istana raja, terhalangi oleh anjing yang menjaga pintu, lalu ia melemparkan sepotong roti ke arah anjing tersebut sehingga membuat anjing tersebut sibuk (dengan roti tadi), dan ia pun dapat masuk (ke istana) untuk menemui sang Raja dan mendapatkan kedekatan darinya. Anjing di sini diumpamakan sebagai syaitan yang berdiri di depan pintu (kerajaan/surga) Allah, yang menghalangi manusia untuk masuk ke dalamnya, sementara pintu tersebut dalam keadaan terbuka. Adapun roti diumpamakan sebagai dunia, maka barangsiapa meninggalkannya niscaya akan memperoleh kedekatan dari Allah.
Ada 3 tingkatan zuhud yaitu:
1) Tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.
2) Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya.
3) Tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai, karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. (menurut Abu Nasr As Sarraj At Tusi)
Menurut AI Gazali membagi zuhud juga dalam tiga tingkatan yaitu:
1) Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya
2) Meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakheratan
3) Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya
Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan pandangan bahwa harta benda adalah sesuatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, dari mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah. Namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah.[10]
g. Hal-Hal yang Mendorong untuk Hidup Zuhud
Adapun keimanan yang kuat dan selalu ingat bagaimana ia berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat guna mempertanggung-jawabkan segala amalnya, yang besar maupun yang kecil, yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ingat! betapa dahsyatnya peristiwa datangnya hari kiamat kelak. Hal itu akan membuat kecintaannya terhadap dunia dan kelezatannya menjadi hilang dalam hatinya, kemudian meninggalkannya dan merasa cukup dengan hidup sederhana.
Merasakan bahwa dunia itu membuat hati terganggu dalam berhubungan dengan Allah, dan membuat seseorang merasa jauh dari kedudukan yang tinggi di akhirat kelak, dimana dia akan ditanya tentang kenikmatan dunia yang telah ia peroleh, sebagaimana firman Allah,
kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. At-Takaatsur: 6)
Perasaan seperti ini akan mendorong seorang hamba untuk hidup zuhud. Dunia hanya akan didapatkan dengan susah payah dan kerja keras, mengorbankan tenaga dan pikiran yang sangat banyak, dan kadang-kadang terpaksa harus bergaul dengan orang-orang yang berperangai jahat dan buruk. Berbeda halnya jika menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah; jiwa menjadi tentram dan hati merasa sejuk, menerima takdir Allah dengan tulus dan sabar, ditambah akan menerima balasan di akhirat. Dua hal di atas jelas berbeda dan (setiap orang) tentu akan memilih yang lebih baik dan kekal.
Merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak menyebutkan tentang kehinaan dan kerendahan dunia serta kenikmatannya yang menipu (manusia). Dunia hanyalah tipu daya, permainaan dan kesia-siaan belaka. Allah mencela orang-orang yang mengutamakan kehidupan dunia yang fana ini daripada kehidupan akhirat, sebagaimana dalam firman-Nya
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naaziat: 37-39)
Dalam ayat yang lainnya Allah berfirman,
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’laa: 16-17)
Semua dalil-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun as-Sunnah, mendorong seorang yang beriman untuk tidak terlalu bergantung kepada dunia dan lebih mengharapkan akhirat yang lebih baik dan lebih kekal.
h. Relevansi Zuhud dengan Perkembangan Jaman
Bila dikaitkan dengan pengantar di atas, nilai spiritualitas yang merupakan capaian zuhud sebenarnya menghasilkan kulaitas pribadi yang akan mampu tegar beradaptasi dengan baik kepada kehidupan yang dihadapinya. Ilmu jiwa mengisyaratkan bahwa manusia yang normal adalah manusia yang memiliki daya adaptabilitas yang baik terhadap lingkungannya. Karena jika tidak maka fungsi kejiwaannya akan terganggu yang berujung pada penyakit penyakit fisik atau kejiwaan (psikosis, atau neorosis). Ilustrasi ini sebetulnya hanya sekedar penjelasan bagi hubungan pendek antara keutuhan pemahaman agama seseorang dengan kondisi kehidupan riil yang dihadapinya.
Lebih jauh dari itu keberadaan keutuhan pribadi seseorang, berupa terpenuhinya tugas dan keharusan bagi keberadaannya sebagai seorang manusia, akan menjadikan manusia tersebut sebagai manusia yang sempurna sehingga kehidupannya pun sempurna sebagai makhluk fisik, sekaligus juga sempurna sebagai makhluk psikis, dan moral. Ini yang kita sebut sebagai keutuhan internal manusia[11]
3. Penutup
Zuhud terhadap dunia berarti melepaskan diri dari ketergantungan kita terhadap makhluk Allah, artinya, hanya Allah lah tempat kita bergantung, sebagaimana firman-Nya
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (Al-Ikhlas :2)
Dengan kata lain, zuhud bukanlah menghindari dunia, tetapi zuhud adalah cara pandang kita terhadap dunia, apakah ada dalam genggaman kita atau masuk ke dalam hati kita. Bila dunia telah merasuk ke dalam hati kita, berarti secara tidak langsung kita telah diperbudak oleh dunia. Dengan demikian, tidak membiarkan dunia merasuki hati kita, dan hanya memenuhi hati dengan bergantung kepada Allah Sang Pemilik dunia, adalah hakikat zuhud yang sebenarnya yang akan menjadi sarana pencapaian cinta hamba kepada Allah dan cinta-Nya kepada hamba-Nya, wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Al’Asqalani, Ibanatul-Ahkam, Syarhu Bulugh Al-maram, Al-Qism Al-Raabi’. Beirut, Daar Al-Fikr, 2004.
Imam Nawawi Al-Bantani, Nashaihul Ibad, Menjadi santun dan bijak, terj, Fuad Kauma. Bandung, Irsyad Baitus Salam, 2005.
Imam Ahmad Bin Hambal, Zuhud, terj, Kathur Suhardi. Jakarta, Darul falah, 2000.
Luis ma’luf, Al-Munjid Fi Al-lughah. Beirut, al-Maktabah al-sharqiyyah, 1986.
Murtadha Mutahhari, Jiwa yang Damai, terj, tim sega arsy, Bandung , Sega ‘Arsy, 2009.
Syaikh almuhasibi. panduan bagi kafilah ruhani, Menuju hadirat ilahi, terj, tholib anis al-bayan, Bandung, PT mizan pustaka. tt.
Wahid Abdussalam Bali, Benteng Ghaib, terj, Sarwedi MA Hasibuan. Solo, Aqwam, 2006.
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/zuhud.html
[1] Wahid Abdussalam Bali, Benteng Ghaib, terj, Sarwedi MA Hasibuan.(Solo; Aqwam, 2006).hal 77.
[2] http://id.shvoong.com/humanities/1652461-zuhud-pada-dunia/
[3] Luis ma’luf, Al-Munjid Fi Al-lughah.(Beirut; al-Maktabah al-sharqiyyah, 1986). Hal. 308.
[4] Imam Ahmad Bin Hambal, Zuhud, terj, Kathur Suhardi(Jakarta; Darul falah, 2000). Hal xvi.
[5] Murtadha Mutahhari, Jiwa yang Damai, terj, tim sega arsy, (Bandung , Sega ‘Arsy; 2009). hal. 45.
[6] Syaikh almuhasibi. panduan bagi kafilah ruhani, Menuju hadirat ilahi, terj, tholib anis al-bayan,(Bandung, PT mizan pustaka: tt). Hal. 33.
[7] Al’Asqalani, Ibanatul-Ahkam, Syarhu Bulugh Al-maram, Al-Qism Al-Raabi’. (Beirut; Daar Al-Fikr, 2004). Hal. 358.
[8] Imam Nawawi Al-Bantani, Nashaihul Ibad, Menjadi santun dan bijak, terj, Fuad Kauma.(Bandung, Irsyad Baitus Salam; 2005). Hal. 68.
[9] http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/zuhud.html
[10] http://www.g-excess.com/id/pengertian-zuhud-dalam-islam.html
[11] http://www.facebook.com/note.php?note_id=191814758918
Tidak ada komentar:
Posting Komentar