Oleh : Agus Ruswandi
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-Quran, yaitu dalam Al-Baqarah ayat 30 dan Shad ayat 26. Ada dua bentuk plural yang digunakan oleh Al-Quran, yaitu:
(a) Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah Al-An'am 165, Yunus 14, 73, dan Fathir 39.
(b) Khulafa' terulang sebanyak tiga kali pada surah-surah. Al-A'raf 7:69, 74, dan Al-Naml 27:62.
Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya
berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).
berarti "di belakang". Dari sini, kata khalifah seringkali diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya).
Pengertian khalifah jika dilihat dari akar katanya berasal dari kata khalafa, yang berarti di belakang atau menggantikan tempat seseorang sepeninggalnya (karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikannya), karena itu kata khalif atau khalifah berarti seorang pengganti. Al-Raghib al-Isfahani menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya[1]. Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan. Kata al-khalifah juga
memiliki arti al-imârat yaitu kepemimpinan, atau alsulthân yaitu kekuasaan[2].
Dalam tafsir al-Razi diterangkan bahwa alkhalifah adalah orang yang menggantikan orang lain dan ia menempati tempat serta kedudukannya. Bentuk jamak al-khalifah ialah khala’if dan khulafa’. Seorang khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain, menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. al-Razi mencantumkan perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan khalifah pada ayat tersebut. Ada yang menyatakan Adam berdasarkan informasi perusakan yang akan dilakukan (anak cucunya). Jadi yang akan merusak bukan Adam. Disamping itu, Adam juga khalifah karena menggantikan Allah dalam memutus hukum. Tetapi ada pula yang menyatakan yang dimaksud adalah anak cucu Adam, karena Adam menjadi khalifah bagi bangsa jin yang mendahuluinya. Disamping itu, yang dimaksud dengan khalifah
adalah anak cucu Adam yang menggantikan sesama mereka[3].
Pada dasarnya, berdasarkan QS. Al-Baqarah [2]: 30, kekhalifahan manusia mempunyai tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lain, dan ditambahkan unsur keempat yang berada di luar namun sangat menentukan arti kekhalifahan menurut Al-Qur’an. 1) manusia, yang kemudian dinamai khalifah; 2) alam raya; 3) hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya, termasuk dengan manusia[4]. Hubungan di antara ketiganya tidak akan berarti bila tidak disertai dengan yang berada di luar yaitu yang memberi penugasan, yakni Allah Swt. Dialah yang memberi penugasan itu dan dengan demikian yang ditugasi harus memperhatikan kehendak yang menugasinya[5].
Oleh karena itu, bila manusia sebagai khalifah menyadari arti kekhalifahannya sebagai yang ditugasi oleh Allah Swt, maka tidak perlu adanya kekuatiran terhadap perlakuan sewenang-wenang dari khalifah yang diangkat Tuhan itu. Karena, Tuhan sendiri memerintahkan kepada para khalifah-Nya untuk selalu bermusyawarah serta berlaku adil.
Mengutip pendapatnya Musa Asy’arie, menurutnya bahwa tugas seorang khalifah, sebagai pengganti yang memegang kepemimpinan dan kekuasaan, pada dasarnya mengandung implikasi moral, karena kepemimpinan dan kekuasaan yang dimiliki seorang khalifah dapat disalahgunakan untuk kepentingan mengejar kepuasan hawa nafsunya, atau sebaliknya juga dapat dipakai untuk kepentingan menciptakan kesejahteraan hidup bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan dan kekuasaan manusia harus tetap diletakan dalam kerangka eksistensi manusia yang bersifat sementara, sehingga dapat dihindari dari kecenderungan pemutlakan kepemimpinan atau kekuasaan, yang akibatnya dapat merusak tatanan dan harmoni kehidupan[6].
Selain itu kekuasaan seorang khalifah pada dasarnya tidaklah bersifat mutlak, karena kekuasaannya dibatasi oleh pemberi mandat kekhalifahan, yaitu Tuhan. Dan sebagai pemegang mandat Tuhan, seorang khalifah tidak diperbolehkan melawan hukum hukum yang ditetapkan Tuhan.
Selanjutnya terdapat pula persyaratan yang bersifat teknis dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang yang menjadi khalifah. Hal ini dapat dilihat dari isyarat yang terkandung dalam surat al Baqarah ayat 30 dan 31. Pada ayat ayat tersebut dijelaskan bahwa nabi Adam setelah di angkat sebagai khalifah dimuka bumi ia kemudian diberikan pengajaran. Ini mengisyaratkan bahwa seorang khalifah perlu memiliki pengetahuan, ketrampilan, mental yang dewasa serta pendidikan pada umumnya. Kemampuan lebih yang dimiliki nabi Adam yang digambarkan dengan kemampuanya menerima pelajaran tentang nama nama benda dan kemampuanya mengungkapkan nama-nama tersebut dihadapan malaikat, yang keseluruhannya ini dapat diartikan sebagai kemampuan yang bersifat konseptual, justru menjadi salah satu modal yang melandasi nabi Adam ‘alaihi al-salam sebagai khalifah. Dengan kata lain, karena nabi Adam AS. memiliki kemampuan yang bersifat konseptual yang dihasilkan melalui pendidikan itulah yang menjadi kunci kesuksesannya sebagai khalifah. Ini artinya bahwa sebagai seorang khalifah perlu memiliki pendidikan yang cukup.
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Hasan Langgulung mengatakan, bahwa manusia yang dianggap sebagai khalifah Allah tidak dapat memegang tanggungjawab sebagai khalifah kecuali kalau ia diperlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian[7].
Lebih lanjut Langgulung mengatakan bahwa al-Qur’an menyatakan adanya beberapa ciri yang dimiliki manusia untuk mampu melaksanakan fungsi kekhalifahannya itu, ciri ciri tersebut antara lain dari segi fitrahnya yang baik dari sejak awal. Ia tidak mewarisi dosa karena Adam as. Meninggalkan surga. Ciri lainnya adalah yang bersifat fisik. Al- Qur’an mengakui kebutuhan-kebutuhan biologikal yang menuntut pemuasan. Hal ini pada tahap selanjutnya memerlukan penjelasan tentang syarat-syarat yang menyebabkan kebutuhan biologikal ini mungkin dapat berdampingan dengan fitrah yang baik itu. Keduanya tanpa menimbulkan masalah. Kedua hal inilah yang mendukung tugas kekhalifahan manusia.
Menurut Musa Asy’arie, tugas kekhalifahan yang diemban karena manusia dipandang mempunyai kemampuan konseptual dengan watak keharusan eksperimen berkesinambungan sampai menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup di muka bumi[8]. Dalam hal ini, Syahminan Zaini, menyatakan bahwa sebagai khalifah dan hamba Allah, manusia berkewajiban mensyukuri segala nikmat itu dengan kehendak Sang Pemberi Nikmat, yakni dengan berupaya kreatif, memakmurkan bumi, dan membudidayakan alam[9].
Tugas manusia ini pada dasarnya secara implisit menggambarkan pandangan Islam yang memandang manusia dengan pandangan yang positif dan konstruktif[10]. Dalam Islam, manusia tidak hanya ditempatkan sebagai bagian sistematik dari realitas alam, lebih jauh Islam menuntut peran kreatif manusia untuk mengelola alam sebagai sumber daya material (material resource) sebagai pengejawantahan tugas kemanusiaannya di muka bumi.
IMPLIKASI KONSEP KHALIFAH TERHADAP PENDIDIKAN
Masih berbicara khalifah, di samping manusia berfungsi sebagai khalifah, juga bertugas untuk mengabdi kepada Allah sebagaimana dalam surat Az-Zariyatayat 56. Dengan demikian manusia itu mempunyai fungsi ganda, sebagai khalifah dan sekaligus sebagai ‘abd. Fungsi sebagai khalifah tertuju kepada pemegang amanah Allah untuk penguasaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pelestarian alam raya yang berujung kepada pemakmurannya. Fungsi ‘abd bertuju kepada penghambaan diri semata-mata hanya kepada Allah.
Untuk terciptanya kedua fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai.
Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan Islam, maka suatu permasalahan pokok yang sangat perlu mendapat perhatian adalah penyusunan rancangan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum. Pengertian kurikulum adalah segala kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang dan diselenggarakannya oleh lembaga pendidikan bagi peserta didiknya, baik di dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2. Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3. Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam)
Implikasi terhadap tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan Islam didasarkan pada sistem nilai yang istimewa yang di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadis, yaitu keyakinan kepada Tuhan, kepatuhan, dan penyerahan kepada segala perintahnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menciptakan individu agar memiliki keimanan yang benar kepada Allah.
Manusia sebagai makhluk yang mulia dengan segala kelebihannya dapat di didik dan belajar (homo educandum) juga dapat menjadi pendidik (homo educandus). Kemampuan pengetahuan manusia lebih luas daripada malaikat, juga manusia lebih mempunyai kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan daripada malaikat sekalipun. Konsepsi manusia yang sempurna inilah yang sangat berpengaruh dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam.
Dengan konsepsi tersebut, yang ingin dicapai adalah membina manusia agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Manusia yang dibina adalah manusia yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu, pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan keterampilan, dan dengan penggabungan unsur tersebut, terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itulah sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal dengan istilah al-Adab al-Din dan al-Adab al-Dunya.
Konsep manusia sebagai khalifah mempunyai empat sisi yang saling berkaitan :1). Sebagai pemberi tugas, 2). Sebagai penerima tugas, 3). Tempat atau lingkungan dimana manusia berada 4). Materi-materi penugasan yang harus mereka laksanakan. Tugas ke khalifahan tersebut tidak akan di nilai berhasil apabila materi penugasan tidak dilaksanakan.
Tujuan pendidikan Islam dirumuskan berdasarkan konsep manusia sebagai khalifah dan hamba Allah. Karena pendidikan Islam secara umum bertujuan untuk menciptakan manusia yang bertakwa dan beribadah kepada Allah, ketakwaan ini merupakan pengamalan dari tugas manusia sebagai khalifah.
Jadi tujuan pendidikan Islam merupakan implikasi dari korelasi antara manusia sebagai khalifah yang bertanggung jawab kepada Tuhan-Nya, disamping taggung jawabnya terhadap sesama makhluk untuk menjaga dan memeliharanya, bahkan untuk menjadi reformer di alam semesta dengan merubah suatu keadaan sesuai dengan yang di butuhkan dan diinginkan, hal itu dapat tercapai melalui proses pendidikan yang kemudian diatur rumusan-rumusan pendidikan agar tujuan yang ingin dimaksud dapat tercapai.
Untuk menemukan implikasi lain dari konsep khalifah, mari kita perhatikan ayat 30 dan31 surat al-Baqarah. Ayat tersebut jelas memberikan isyarat bahwa terdapat persyaratan teknis yang harus dimiliki oleh seorang khalifah. Manusia itu sudah dilengkapi oleh potensi-potensi untuk mengembangkan kekhalifahannya di muka bumi. Konsep ini sama halnya dengan peraturan tentang guru/ dosen.
Pekerjaan profesi guru tidak segampang dengan profesi-profesi lainnnya. Seorang guru memerlukan keterampilan yang khusus untuk menjalankan profesinya. Tidak semua orang bisa menjadi guru atau dosen. Oleh karena itu, dibuatkan peraturan yang secara khusus mengatur profesi guru dan dosen. Jika tidak aturan yang khusus mengatur itu, maka dikhawatirkan pendidikan tidak akan berjalan dengan baik, karena gurunya tidak sesuai dengan proporsinya.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Raghib al-Isfahani, (1961) Mufradat Gharîb al-Qur’ân, Mesir: Al-Halabi,
Fakhr al-Din al-Razi, (1985) al-Tafsir al-Kabîr, Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyyah.
Hasan Langgulung, (1989) Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ibn Manzur, (1969) Lisân al-’Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif.
Muhammad Rasyid Ridha, (tth) Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dar al- Ma’rifah.
Musa Asy’arie, (1992) Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: LSIF.
Syahminan Zaini, (1984) Mengenal Manusia Lewat Al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu.
Tobroni dan Samsul Arifin, (1994) Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: SI Press.
Shihab, M. Quraish, (1992) Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan.
[1] Al-Raghib al-Isfahani, Mufradat Gharîb al-Qur’ân, (Mesir: Al-Halabi, 1961), h. 156-157
[2] Ibn Manzur, Lisân al-’Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), Juz X, h. 430
[3] Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabîr, (Mesir: Al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1985), Jilid I, h.180-181
[4] Menarik pendapat al-Ustadz Muhammad ‘Abduh yang menganggap ayat-ayat yang berkaitan dengan kekhilafahan manusia khususnya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30 termasuk ke dalam ayat mutasyabihat yang tidak mungkin memahaminya berdasarkan zhahir ayat. Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, tth.), Jilid 1, h. 251
[5] Muhammad Baqir al-Shadr dalam al-Sunan al-Tarîkhiyyat fi al-Qur’ân seperti dikutip M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an.,h. 158
[6] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: LSIF, 1992), h. 38
[7] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), h. 57.
[10] Tobroni dan Samsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: SI Press, 1994), h. 53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar