Abstrak
Khat atau kaligrafi Al-Qur’aan pada saat ini sudah menjadi primadona para pecinta seni islami, baik yang murni maupun kontemporer. Fungsi khat yang pada dasarnya adalah sebagai media untuk menulis kalam Allah (Al-Qur’an) bergeser menjadi sebuah fenomena alternatif seni Islami yang banyak digandrungi para pecinta seni khususnya di kalangan santri. Namun hal ini tetaplah positif, mengingat penuangan kalam Ilahi pada media-media tertentu, yang berfungsi menjadi hiasan, akan menarik orang untuk lebih mengapresiasi ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis indah, bahkan pada level-level tertentu beberapa seniman kaligrafi kontemporer sudah mulai memvisualisasikan tafsir ayat-ayat tertentu melalui media lukisan. Adalah Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (LEMKA) yang saat ini telah memiliki sebuah pesantren khusus khat, dan telah menjadi pionir pengembangan seni ini di indonesia. Melihat perkembangan khat Al-Qur’an yang demikian pesat yang dipelopori oleh lulusan LEMKA, maka perlu diketahui formula-formula khusus Dan model pembelajaran yang dipakai di pesantren LEMKA sehingga mampu melahirkan para khattat yang handal.
Pendahuluan
Khat Al-Qur’an merupakan salah satu bagian dari pembelajaran Al-Qur’an selain Qira’ah, tilawah, tafsir dan kitabah Al-Qur’an. Pada dasarnya kitabah atau menulis Al-Qur’an erat hubungannya dengan khat Al-Qur’an, namun penulis menaikkan levelnya lebih tinggi dari pada kitabah karena khat lebih cenderung kepada seni. Sehingga belajar khat selain belajar menulis Al-Qur’an dengan baik, benar dan indah, juga sebagai cara melestarikan budaya Islam yang kaya. Belajar khat pada dasarnya adalah belajar keterampilan yang menurut Reber (1988) keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.[1] Sehingga belajar khat adalah belajar yang menyeluruh dan dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Khat atau kaligrafi Al-Qur’an pada saat ini telah menjadi primadona pada pestival-pestival MTQ. Para remaja khususnya di kalangan pesantren dan akademisi demikian antusias mempelajari khat. Ini terbukti ketika MTQ Nasional digelar, khattat-khattat muda banyak muncul dan mendominasi. Ada banyak lembaga-lembaga kursus dan pesantren-pesantren yang menspesialkan khat sebagai label utamanya dan diantaranya yang paling dikenal adalah pesantren Khat LEMKA yang pada awalnya merupakan sebuah lembaga kursus. LEMKA (Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an), dikenal banyak banyak melahirkan khattat-khattat (kaligrafer) handal. Bahkan pada beberapa MTQ Nasional, juara dan juga dewan juri MKQ (Musabaqah Khattil Qur’an) didominasi oleh murid dan pengajar dari lembaga ini. Bahkan ada beberapa lulusannya yang telah menjuarai peraduan Khat tingkat ASEAN. Sehingga diperlukan penelitian tentang formula khusus yang digunakan oleh pesantren ini sehingga bisa melahirkan para penulis Al-Qur’an dan Khattat yang handal.
1.
2.
Pembahasan
A. Dinamika Perkembangan Seni Kaligrafi
Berbeda dengan belahan dunia Islam pada
periode-periode yang disebut terdahulu, Indonesia tidak melahirkan corak, gaya
atau aliran kaligrafi yang khas. Pertumbuhan yang ada hanyalah pertumbuhan
pemakaian kaligrafi yang ada untuk kebutuhan-kebutuhan primer yang bersifat
fungsional seperti untuk menyalin Alquran atau teks-teks keagamaan yang
berkembang ke aneka lukisan di pelbagai media.
Dilihat dari dinamika perkembangannya, masa-masa
penggunaan dan para seniman kaligrafi di Indonesia dapat dibagi kepada beberapa
angkatan:
1. Angkatan Perintis
Kedatangan
Islam di Indonesia. Bukti kaligrafi paling tua terdapat pada nisan-nisan kuno
yang sebahagiannya dibawa dari luar Indonesia. Sedangkan bukti yang lebih
mutakhir diperoleh dari sumber-sumber media seperti kitab, mushaf Alquran tua
atau naskah perjanjian (qaulul haq).
Aksara Arab
pada angkatan ini, digunakan pula untuk naskah-naskah berbahasa Melayu
atauIndonesia yang disebut Pegon, huruf Jawi atau huruf
Melayu. Kaligrafi lafal La ilaha illallah, Muhammadun Rasulullah dikibarkan pula di panji-panji peperangan terbuka
antara pasukan Islam dan non-Islam di Nusantara.
Pada abad ke-18 sampai abad ke-20, kaligrafi tidak
lagi bersumber pada makam, tetapi beralih kepada kegiatan kreasi seniman
Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti kertas, kayu, logam, dan
medium lainnya. Banyak Alquran tua yang ditulis pada waktu ini seiring hadirnya
kertas impor pada abad ke-17. Sejak abad ke-17
dan sesudahnya, ada kecenderungan seniman muslim untuk menggambar makhluk
bernyawa dengan lafal ayat-ayat Alquran, kaul ulama atau simbol kepahlawanan
Ali ibn Abi Thalib (kaligrafiMacan Ali) dan Fatimah. Karya seperti ini
biasanya merupakan produk keraton Cirebon, Yogyakarta, Surakarta atau
Palembang. Sampai tahun 1960-an, lukisan kaligrafi berwujud binatang burak atau
wayang banyak ditemukan di pelosok Sumatera dan Jawa.
Sampai akhir periode ini, tidak ada khattat atau seniman
kaligrafi yang dikenal namanya. Sementara tipe-tipe huruf yang digunakan
mengacu ke gaya-gaya Kufi,
Naskhi, Sulus, Muhaqqaq, Raihani, Tauqi, danRiqa’ yang dikenal di Timur Tengah. Kufi dan Naskhi paling
banyak digunakan pada makam dan naskah kuno.
2. Angkatan Orang Pesantren
Kaligrafi
mengalami pertumbuhan seiring pertumbuhan pesantren yang dirintis oleh para
wali. Pesantren perintis dikenal antara lain Giri Kedaton, Pesantren Ampel
Denta di Gresik, dan Pesantren Syeikh Qura di Karawang. Pelajaran kaligrafi diberikan
mengiringi pelajaran Alquran, fikih, tauhid, tasawuf, dan lain-lain. Tulisan
yang diajarkan mula-mula sangat sederhana dan belum bernilai estetis, namun
masih mempertimbangkan gaya-gaya Kufi, Naskhi, dan Farisi yang asal condong ke kanan.
Kesederhanaan tulisan nampak pada anatomi huruf yang
kurang harmoni dengan kaidah, digunakannya peralatan tulis yang bersahaja
seperti tinta dari arang kuali atau asap lampu (blendok), dan penggunaan
media yang hanya terbatas pada kertas. Pelajaran khat ini umumnya tidak secara
resmi diajarkan dan masuk kurikulum, kecuali di beberapa pesantren seperti
Pondok Moderen Gontor dan cabang-cabangnya. Buku-buku kaligrafi juga belum
banyak dikenal. Buku pelajaran khat pertama keluar tahun 1961 berjudul Tulisan Indah karangan Muhammad
Abdul Razzaq Muhili, seorang khattat pertama yang paling aktif menulis khat di
buku-buku agama, disusul 10 tahun kemudian (1971) buku Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf
Arab karangan Abdul Karim Husein
dari Kendal.
Pelopor angkatan ini adalah K.H.M. Abdul Razzaq Muhili
dari Tangerang, H. Darami Yunus dari Padang Panjang, H. Salim Bakasir, Prof.
H.M. Salim Fachry (penulis Alquran Pusaka atas titah Presiden Soekarno) dari
Langkat, dan K.H. Rofi’i Karim dari Probolinggo.
Angkatan teraktif yang menyusul kemudian sampai
angkatan termuda tahun 1990-an antara lain: Muhammad Sadzali, K.H.M. Faiz Abdul
Razzaq dan M. Wasi Abdul Razzaq (ketiganya murid dan anak-anak Abdul Razzaq),
K. Mahfuzh Hakim dari Ponorogo, Rahmat Arifin dari Malang, D. Sirojuddin AR
(murid Abdul Razzaq dan Salim Fachry) dari Cirebon, Ishak dari Jakarta, Nur
Aufa Shiddiq dari Kudus, Ali Akbar dari Purworejo, Chumaidi Ilyas dari Bantul,
H. Irhash A. Shamad dari Padang, dan M. Misbahul Munir (murid Rofi’i Karim)
dari Gresik. Intensitas pengembangan kaligrafi di Indonesia selanjutnya
dipelopori Sirojuddin dengan menulis banyak buku kaligrafi, pelatihan kader di
pelbagai wilayah, dan mendirikan Lembaga Kaligrafi Alquran (Lemka) di Jakarta tahun 1985 dan Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi tahun 1998.
Sejak tahun 1960 hingga 2000-an, pesantren juga
memunculkan para khattat yang sering mengkhususkan diri pada penulisan mushaf,
buku agama, dan dekorasi masjid dengan mengkombinasi gaya-gaya Sulus, Naskhi, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah. Di antara pelopor dalam bidang ini adalah H. Azhari
Noor (dekorator Masjid Agung Al-Azhar Jakarta), H. Amir Hamzah Zaman, dan H.
Basyiroen Hasan, disusul angkatan muda seperti Abdul Azis Asmuni, Iskandar
Syatiri, Eddy Syakroli, Mahmud Arham, Momon Abdurrahman Syarif, Ujang
Badrussalam, Isep Misbah, Edi Amin, Muksin Sudirja, Syaharuddin, dan lain-lain.
Tradisi menghiaskan kaligrafi di bangunan masjid ini
tergolong ke masa modern, sebab dari data sejarah perkembangan masjid kuno di
Indonesia, jarang atau tidak ada karya kaligrafi Islam di masjid kuno hingga
abad XVI yang asli dibuat di zamannya, kecuali sekedar penggunaan huruf Jawi
seperti di Masjid Mantingan, Jepara dan Masjid Sendangduwur di Pacitan, Jawa
Timur.
3. Angkatan Pendobrak dan Pelukis
Pada saat masyarakat semakin sadar akan arti dan
pentingnya seni kaligrafi, muncullah suatu gerakan untuk “lebih menyadarkan”
para khattat/kaligrafer dan seniman, khususnya kalangan muda, untuk lebih
meningkatkan apresiasi dan teknik mengolah kaligrafi di aneka media yang tak
terbatas. Gerakan ini muncul di tahun 1970-an seiring kemunculan para pelukis
yang mempopulerkan apa yang kemudian disebut “lukisan kaligrafi” atau
“kaligrafi lukis”, untuk membedakannya dari “kaligrafi murni” atau “kaligrafi
tradisional” yang dikenal selama ini.
Pembawa gerakan ini adalah para seniman kampus seni
rupa yang dipelopori oleh Ahmad Sadali (ITB Bandung, asal Garut), diiringi
kemudian oleh A.D. Pirous (ITB Bandung, asal Aceh), Amri Yahya (ASRI
Yogyakarta, asal Palembang), dan Amang Rahman (AKSERA Surabaya, asal Madura).
Para tokoh seni rupa ini memanfaatkan keluwesan aksara Arab di mana sosok kaligrafi
sangat tegas ditonjolkan dengan penyerasian unsur-unsur rupa lainnya yang telah
lebur dalam gaya pribadi masing-masing seniman dengan memandang “kaligrafi
sebagai bagian integral” dari ide dasar lukisan yang bermakna religius. Para
seniman rupa ini memandang kaligrafi benar-benar mengandung unsur-unsur
ideoplastis yang tidak hanya selesai pada huruf.
Popularitas angkatan dan “mazhab kaligrafi lukis” ini
mulai muncul dalam Pameran Lukisan Kaligrafi Islam Nasional saat MTQ Nasional
XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Pertama Media Massa Islam
se-Dunia di Balai Sidang Jakarta (1980) yang diikuti oleh pameran-pameran
selanjutnya.
Cara menggarap “lukisan” kaligrafi yang sangat
mementingkan latarbelakang pewarnaan yang diperoleh dari kepekaan rasa,
bersifat spontan dan bebas sehingga kerap mengabaikan grammar kaligrafi
tradisional ini segera saja diikuti secara luas oleh kawula muda di Tanah Air.
Pelukis generasi kedua yang muncul kemudian, dapat disebut di antaranya,
Syaiful Adnan, Hatta Hambali, dan Abay D. Subarna, disusul kemudian oleh
Firdaus Alamhudi, Hendra Buana, Yetmon Amier, Said Akram, Agoes Noegroho, Abdul
Aziz Ahmad, dan lain-lain. Teknik baru ini segera menarik dan diikuti para
khattat bahkan kalangan yang “sekedar senang” terhadap kaligrafi karena
memungkinkan digarap dalam teknik yang bermacam-macam seperti teknik batik dan
tekstil, teknik grafis, teknik bulu, teknik ukir kayu, dan bermacam teknik
pengerjaan logam, selain tampilan aneka bentuk ekspresi tiga dimensional yang
menawarkan citra kaligrafi dalam seni rupa Islam modern.
Meskipun tidak melahirkan gaya khas Indonesia, kecuali
Syaiful Adnan dengan gaya Syaifulinya, beberapa goresan bebas para pelukis kaligrafi
Indonesia kerap mendekati pola kaligrafi kontemporer yang lahir bersama
kelahiran seni rupa kontemporer tahun 1970-an. Gaya-gaya kaligrafi ini adalah: Kontemporer
Tradisional, Kontemporer Figural, Kontemporer Simbolik, Kontemporer Ekspresionis, dan Kontemporer
Abstrak.
4. Angkatan Kader MTQ
Perkembangan
kaligrafi semakin semarak sejak dijadikan salahsatu cabang yang dilombakan
dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dari tingkat nasional sampai daerah di
seluruh Indonesia. Cabang
yang diberi nama Musabaqah Khattil Qur’an (MKQ) ini selain menarik peminat,
juga berhasil membibitkan kader-kader penulis dan pelukis kaligrafi dari
sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi. Dari sejumlah peserta MKQ yang
menyebar di pelbagai daerah, muncul para ahli bidang penulisan naskah, hiasan mushaf, dan dekorasi
yang dikompetisikan.
MKQ
berpengaruh luas dan menjadi proyek percontohan lomba-lomba kaligrafi di
pelbagai instansi dan pada peringatan hari-hari besar Islam. Kemunculan
lomba-lomba kaligrafi ini memicu minat di pelbagai kalangan dan ikut mendorong
produksi karya di galeri-galeri dan pasar-pasar seni.
Gerakan
pembinaan via MTQ yang melahirkan banyak kader dan juara kaligrafi berbuntut
pada ramainya keikutsertaan para khattat/khattatah dan seniman kaligrafi Indonesia dalam Peraduan Menulis
Khat Asean di Brunei Darussalam dua tahun sekali yang selalu dimenangkan (70 %)
oleh peserta dari Indonesia. Beberapa di antara mereka juga tekun mengikuti
International Calligraphy Competition di Turki empat tahun sekali. Para pelomba
ini sangat menguasai gaya-gaya Naskhi,
Sulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, danRiq’ah dan umumnya lihai menentukan kombinasi warna-warna dan ornamen yang
menjadi komponen lomba.
Dari lomba
kaligrafi yang dimulai pada MTQ Nasional XI (1981) di Banda Aceh muncul
nama-nama juara yang selanjutnya aktif berkarya di percetakan, pendekorasian
masjid, penulisan mushaf, produksi lukisan atau mengajar kaligrafi, dapat
disebut di antaranya Darami Yunus, Muhammad Wasi, Mahmud Arham, Humaidi Ilyas,
M. Noor Syukron, Ahmad Hawi Hasan, Isep Misbah, Ery Khaeriyah, Yayat Suryati,
Ernawati, Nurkholis, Toni Salaf, Moh. Midhar Achsan, Hasanuddin, dan lain-lain.
Para juara aktif MKQ, selain diikuti kader-kader pelomba, telah pula membakar
semangat juara-juara lain untuk mengikuti aktivitas mereka. sumber
B. Profil Pesantren Lemka
Pesantren LEMKA, yang berlokasi di Sukabumi adalah
sebuah pesantren yang khusus mempelajari khat Al-Qur’an. Pesantren ini dipimpin
oleh Drs. K.H. Didin Sirojudin Abdur Rahman, M.Ag. beliau adalah seorang khattat yang pernah mendapat
penghargaan pada peraduan khat tingkat ASEAN. Konstribusi beliau pada
perkembangan kaligrafi amatlah besar. Berikut profil pesantren LEMKA;
Nama Lembaga
|
Pesantren
Kaligrafi Alquran Lemka
|
TTL
|
Sukabumi,
9 Agustus 1998
|
Tujuan
|
Memperkenalkan
serta mengembangkan seni budaya Islam, khususnya seni kaligrafi.
|
Cita-cita
|
Menciptakan
Kampus Seniman Muslim yang nyaman
|
Alamat
|
Jln.
Bhineka Karya no. 53 Rt. O3/06, Kelurahan Karamat, Keacamatan Gunung Puyuh,
Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, Indonesia 43122
|
Email
|
|
Blog / web
|
Lemkaonline.blogspot.com
|
Program
|
§ Diklat
Kaligrafi Alquran Lemka 1 Tahun
§ Kursus
Kaligrafi
§ Privat
Kaligrafi (Dekorasi Masjid, Lukisan Kontemporer, Naskah, Mushaf, Dekorasi)
|
Kurikulum
|
Perpaduan
antara Kurikulum Pesantren Darus Salam Gontor dengan kurikulum sendiri
|
Legalitas
|
Berada
dibawah Yayasan Badan Wakaf Lembaga Kaligrafi Alquran (LEMKA), Akte Notaris
Ny. Lanny Ratna Ekowati Soebroto, SH. No. 27/1997
|
Lembaga Asuhan
|
§ RA / TK Plus
Lemka
§ TPA Lemka
§ Koperasi Lemka
|
Program
|
§ Diklat
Kaligrafi Alquran Lemka 1 Tahun
§ Kursus
Kaligrafi
§ Privat
Kaligrafi
|
Spesialisasi
|
§ Kaligrafi
Alquran
§ Seni Kaligrafi
Alquran
§ Referensi Seni
Budaya
§ Dekorasi
Kaligrafi untuk Masjid, Musolla, Kantor, Rumah
|
Pelajaran
|
§ Kaligrafi :
Karya Jadi, Koreksi Wajib
§ Melukis
Kaligrafi : Kontemporer, Kolase, Tekstur, Kaca, Air Brush Dll.
§ Diskusi Seni -
Budaya
§ Teaching
Simulation / Micro Teaching
§ Kitab Kuning :
Nasoihul Khottotin
§ Kreasi Santri
§ Muhadhoroh dan
Pengajian Mingguan (Yasinan)
§ Extravaganza
(Safari Seni) : Jelekong, AD. Pirous, Kebun Teh Pegunungan Pondok Halimun
(PH), Air Terjun Cigunung, Dll.
|
C. Model Pembelajaran Khat Al-Quran di
Pesantren LEMKA
Model
belajar khat di pesantren ini pada prinsipnya menggunakan Model Pembelajaran tuntas (mastery learning) yaitu proses pembelajaran
berbasis kompetensi yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas
seluruh standar kompetensi maupun kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.
Dalam model yang paling sederhana, dikemukakan bahwa jika setiap peserta didik
diberikan waktu sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai suatu tingkat
penguasaan, dan jika dia menghabiskan waktu yang diperlukan, maka besar
kemungkinan peserta didik akan mencapai tingkat penguasaan kompetensi. Tetapi
jika peserta didik tidak diberi cukup waktu atau dia tidak dapat menggunakan
waktu yang diperlukan secara penuh, maka tingkat penguasaan kompetensi peserta
didik tersebut belum optimal.[3]
Selain itu, dalam praktiknya lembaga ini menurut hemat penulis, menggunakan
Model pembelajaran langsung (Direct Instruction) yang menekankan pada
penguasaan konsep dan/atau perubahan perilaku dengan mengutamakan pendekatan deduktif,
dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) transformasi dan ketrampilan secara
langsung; (2) pembelajaran berorientasi pada tujuan tertentu; (3) materi
pembelajaran yang telah terstuktur; (4) lingkungan belajar yang telah
terstruktur; dan (5) distruktur oleh guru. Guru berperan sebagai penyampai
informasi, dan dalam hal ini guru seyogyanya menggunakan berbagai media yang
sesuai, misalnya film, tape recorder, gambar, peragaan,
dan sebagainya.[4]
Model belajar tuntas bisa dilihat dari prinsip-prinsip umum belajar khat di lembaga tersebut diantaranya;
1. Mengajar adalah bagian dari ibadah
dan da'wah yaitu diniatkan karena Allah.
2. Lemka mengajar dari alif yaitu
mengajar dari dasar (Mastery Learning)
3. Sampaikan walaupun satu huruf
4. Mengajar adalah membimbing baik
klasikal maupun personal (mengajar dari hati).
Adapun
prinsip-prinsip khusus pada belajar khat di lembaga tersebut diantaranya;
1. Belajar lebih penting dari pada
mengajar
2. Ajari siswa, bukan mengajarkan buku
3. Libatkanlah siswa didalam proses
belajar
4. Jangan mengajarkan kepada siswa apa
yang mereka sudah tahu
5. Tunjukkan reaksi anda kepada apa yang
dikatakan siswa
6. Siswa harus banyak praktek bukan anda
7. Jangan menekankan kesulitan
8. Kembangkan metode dan teknik
menyampaikan
9. Selektif dalam memilah-milah materi
10. Kegiatan dan hubungan didalam kelas
berubah
11. Siswa harus tahu bagaimana cara
belajar yang efektif
12. Belajar sebaiknya bernuansa reaktif
13. Belajar berdasarkan silabus dan punya
target
Model pembelajaran langsung bisa dilihat dari fase-fase berikut ini;
1. Fase Orientasi
a. Menyamakan persepsi siswa sebelum
memasuki mata pelajaran
b. Mengulas pelajaran yang sudah
disampaikan sebelumnya
c. Pemahaman siswa tentang cara menulis
sebuah huruf atau anatomi huruf banyak di tentuakan sejauhmana perhatian siswa
kepada guru saat memberi contoh di papantulis
2. Fase Presentasi
a. Pengajar memberi contoh secara
personal dengan menggunakan pena siswa masing-masing, bukan pena pengajar
b. Mengulang kembali kaidah huruf –huruf
yang di anggap sulit
3. Fase Praktik yang terstruktur dan
fase praktik di bawah bimbingan guru.
a. Guru menuntun siswa dengan contoh
praktik tulisan khat dalam beberapa langkah.
b. Siswa terus berlatih
c. Guru mengkoreksi tulisan.
4.
Fase praktik mandiri
a. Guru memberikan tugas pekeraan rumah
untuk kemudian dikoreksi dan dibimbing dalam waktu yang lama.sumber
D. Etika dalam berlatih khat Al-Qur’an
Selain faktor model pembelajaran ternyata ada faktor lain sebagai
penunjang berhasilnya lembaga ini melahirkan para khattat handal yaitu etika
dalam berlatih khat. Karena menurut pimpinan pesantren ini pelajaran menulis khat atau kaligrafi memiliki banyak
manfaat untuk kebaikan pelajar/santri, karena membantu menanamkan sifat-sifat
terpuji dan kebiasaan-kebiasaan baik yang memiliki nilai kepentingan dalam
hidup manusia umum dan khusus.
Beberapa etika tersebut antara lain:
1. Perhatian, perlengkapan dan persiapan untuk tugas dan
seluruh harapan, cita-cita, dan kemajuan. Ini
diperoleh dari mulai dikeluarkannya buku ini, meletakkanya, membukanya, membuka
kotak peralatan dan mempersiapkannya, kemudian menggarisi halaman sebagai pendahuluan
menulis, membuka tutup tinta, memilih pulpen dan mata pena yang cocok terus
memersiapkan diri untuk mulai menulis.
2. Disiplin, mengatur, menentukan pilihan yang cocok dan
merasakan. Masalah ini menuntut permulaan tugas
yang bagus dan tidak terlampauinya batas tepi atau menurun dari bawah
garis,memilih pembatas-pembatas yang cocok antara garis-garis yang ditulis
dengan indahnya pengaturan format, ketepatangan dan rapinya tulisan.
3. Memperhatikan kebersihan tulisan, peralatan, tangan,
dan pakaian. Pemeliharaan yang sempurna untuk
kebersihan dan mempertahankannya secara sempurna member keyakinandan
konsentrasi guru kepada training atau latihan. Ini adalah kebiasaan yang
dilakukan murid semenjak kecil seperti anda lihat bagaimna ia meletakkan pulpen
atau pensil ditempatnya, tidak boleh berbenturan dengan tangan atau bajunya
atau mengotori halaman bukunya atau menaruh pulpen di bibirnya atau
menggunakannya sebagai sikat gigi atau sisir rambut dan seterusnya.
4. Sabar, rajin, tekun, dan tenang saat bekerja. Kesabaran ini dituntut dari murid karena tulisan
mengharuskan kestabilan angan kemudian ketenanagan dan ketentraman. Bila kita
tambahkan lagi keteguhan dalam latihan, maka kesabaran yang ditempuh untuk
mencapai kemajuan akan semakin mantap. Tanpa unsur-unsur ini, pekerjaan apa pun
tidak akan maju bahkan siapapun tidak akan sukses.
5. Perhatian, pengawasan , dan kesadaran. Masalah ini sangat penting dan guru hendaknya
mengingatkan murid-muridnya untuk dapat membedakan antara huruf satu sama lain,
memperhatikan ukuran tinggi-rendah, lengkung dan kejur, goresan mencuat dan
menukik atau tinggi dan panjang dan seterusnya.
Dengan demikian, latihan akan
memberikan pengaruh yang efektif dalam meperindah tulisan mereka dan
memperlekas sampainya kepada tujuan tersebut.
6. Tidak putus asa dan sukses latihan. Motivasi guru kaligrafi yang diberikan kepada
murid-muridnya sangat berperan untuk mengikis perasaan putus asa dari jiwa
mereka sehingga mereka bias beradaptasi dengan latihan. Adaptasi ini merupakan
sukses sebenarnya bagi guru dalam menentukan tradisi berjuang, melangkahi
kesulitan, cita-cita meraih sukses, dan keteguhan untuk merealisasikan tujuan.
7. Kebahagiaan karena melaksanakan tugas secara baik dan
perasaan gembira terus-menerus. Rasa gembira,
menatap harapan dan kebahagiaan hati dapat terpantul dalam keindahan
huruf-huruf yang ditulis murid, membuat mereka selalu optimis, penuh harapan,
dan senang menambah aktivitas agar hasil tugasnya semakin bagus.
8. Melunakkan sikap. Diantara
keistimewaan murid-murid yang tulisan kaligrafinya bagus adalah melunaknya
sikap, akhlak, dan pribadinya yang sempurna. Sifat-sifat ini dibentuk oleh
tulisan kaligrafi dalam jiwa dan hadir karena anugerah kaligrafi itu. Maka,
Anda tidak akan menemukan seorang khattat atau kaligrafer yang hatinya kasar
atau tidak bermoral.[6]
3.
Simpulan
Belajar khat Al-Qur’an adalah
belajar keterampilan yang membutuhkan ketekunan dan kesungguhan serta minat
yang besar. Sehingga model belajar tuntas adalah model yang dirasa paling
tepat. Dalam tataran praktis, model belajar langsung merupakan model yang juga
tepat dikarenakan guru memiliki peran aktif dalam melatih para siswanya
menggoreskan kalam di atas kertas dengan sempurna.
Daftar Pustaka
Bruce Joyce, Models Of Teaching, Terj, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, Th 2009.
Muhibbin
Syah, Psikologi Belajar, Jakarta,
Rajawali Press, Th 2010.
Sirajuddin
AR, Didin, Cara Mengajar Kaligrafi,
Pedoman Guru. Jakarta, Darul Ulum Press, Th 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar