Jumat, 11 November 2011

Term Al 'Aalam dalam Pendidikan Islam


oleh : Deni Nuryadin
     Secara bahasa, alam adalah bahasa Arab, artinya yang meliputi seluruh dunia.[1] Sedangkan, alam semesta menurut orang Babylonia (700-600 SM), merupakan suatu ruangan atau selungkup dengan bumi yang datar sebagai lantainya dan langit beserta bintang sebagai atapnya. Jadi alam semesta adalah suatu ruangan
yang maha besar yang didalamnya terdapat kehidupan yang biotik dan a biotik, serta didalamnya terjadi segala pristiwa alam, baik yang dapat diungkapkan manusia maupun yang tidak[2].
     Indikator alam berdasarkan pengertian di atas, didasarkan pada adanya bumi/tanah sebagai hamparan dan langit sebagai atapnya. Hal lainnya adalah ruang diantara keduanya. Jadi, inti dari penegrtian adalah ruangan diantara bumi dan langit serta pristiwa yang terjadi.
     Apabila hendak mempelajari alam semesta berarti mempelajari makro kosmos, sebaliknya hendak mempelajari permasalahan kecil berarti mempelajari mikro kosmos.

2.    Penciptaan Alam Semesta
     Pandangan manusia tentang jagad raya selain sulit diuji kebenarannya melalui pengalaman, juga sulit mengalami perubahan, kecuali melalui suatu revolusi.  Dengan demikian diskursus tentang jagad raya menjadi wacana tersendiri halnya para filosof, fenomena ini dapat  dicermati dari pergumulan pendapat dalam merespon setiap misteri jagad raya.
     Misalnya di Yunani, lahir para filosof yang mencoba memberikan jawaban terhadap rahasia jagad raya. Thales (625-545 SM), filosof pertama yang merasa kagum terhadap dimensi jagat raya ini. Thales melihat jagad raya tidak mungkin  dijadikan dari ketiadaan, kerena pada esensialnya semua akan mengalami perubahan, oleh karena itu, Thales memprediksikan bahwa adanya materi  pertama yang menjadi bagi timbulnya semua yang ada, materi tersebut adalah air.[3] 
     Anaximandros (610-540 SM), berpendapat bahwa jagad raya berasal dari apeiron artinya tidak terbatas (dari a = tidak, dan eras = batas)[4]. Menurutnya, jagad raya ini terjadi tidak berkeputusan, apeiron bekerja tidak pernah berhenti, tidak berhingga banyaknya.
     Lain halnya dengan Anaximenes (538-480 SM) berpandangan, bahwa prinsip pertama jagad raya ini adalah udara. While his predecessors Thales and Anaximander proposed that the arche, the underlying material of the world, were water and the ambiguous substance apeiron, respectively, Anaximenes asserted that air was this most basic stuff of which all other things are made[5].
     Bagi Anaximenes udaralah yang pantas menjadi asas bagi jagad raya ini. Manusia akan mati apabila udaranya tidak ada, sebagaimana jiwa manusia yang tidak lain adalah udara, begitu pula udara juga mengikat dunia ini menjadi satu, hal ini mungkin karena pemadatan udara dan pengencerannya. Karena udara memadat maka timbullah secara berturut-turut angin, tanah, dan batu, sebaliknya karena udara menjadi encer dan cair, maka timbullah api. Demikian udara menjadi anasir-anasir yang membentuk jagat raya dan segala isinya. Anaximenes adalah pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara tubuh  dengan jagat raya. Tubuh menurut Anaximenes adalah mikrokosmos, sedangkan jagat raya adalah makrokosmos, tetapi Anaximenes sendiri belum menggunakan istilah itu.
     Asal mula alam semesta digambarkan dalam al-Quran pada ayat berikut: “Dialah pencipta langit dan bumi.” (al-Quran, 6:101). Keterangan yang diberikan al-Quran ini bersesuaian penuh dengan penemuan ilmu pengetahuan masa kini. Kesimpulan yang didapat astrofisika saat ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta, beserta dimensi materi dan waktu, muncul menjadi ada sebagai hasil dari suatu ledakan raksasa yang tejadi dalam sekejap.
     Peristiwa ini, yang dikenal dengan “Big Bang“, membentuk keseluruhan alam semesta sekitar 15 milyar tahun lalu. Jagat raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal. Kalangan ilmuwan modern menyetujui bahwa Big Bang merupakan satu-satunya penjelasan masuk akal dan yang dapat dibuktikan mengenai asal mula alam semesta dan bagaimana alam semesta muncul menjadi ada.
Sebelum Big Bang, tak ada yang disebut sebagai materi. Dari kondisi ketiadaan, di mana materi, energi, bahkan waktu belumlah ada, dan yang hanya mampu diartikan secara metafisik, terciptalah materi, energi, dan waktu. Fakta ini, yang baru saja ditemukan ahli fisika modern, diberitakan kepada kita dalam al-Quran 1. 400 tahun lalu.
Sensor sangat peka pada satelit ruang angkasa COBE yang diluncurkan NASA pada tahun 1992 berhasil menangkap sisa-sisa radiasi ledakan Big Bang. Penemuan ini merupakan bukti terjadinya peristiwa Big Bang, yang merupakan penjelasan ilmiah bagi fakta bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan.
     Dalam bentuk standarnya, teori Dentuman Besar (Big Bang) mengasumsikan bahwa semua bagian jagat raya mulai mengembang secara serentak. Namun, bagaimana semua bagian jagat raya yang berbeda bisa menyelaraskan awal pengembangan mereka? Siapa yang memberikan perintah?[6]
     Alam semesta bukanlah objek yang diciptakan, jika memang demikian, maka jagat raya harus diciptakan secara seketika oleh Tuhan dan muncul dari ketiadaan. Untuk mengakui penciptaan, orang harus mengakui, sejak awal, keberadaan momen ketika alam semesta tidak ada, dan bahwa sesuatu muncul dari ketiadaan. Ini pandangan yang tidak bisa diterima sains.[7]
     Teori Dentuman Besar dengan cepat diterima luas oleh dunia ilmiah karena bukti-bukti yang jelas. Namun, para ahli astronomi yang memihak materialisme dan setia pada gagasan alam semesta tanpa batas yang dituntut paham ini menentang Dentuman Besar dalam usaha mereka mempertahankan doktrin fundamental ideologi mereka. Alasan mereka dijelaskan oleh ahli astronomi Inggris, Arthur Eddington, yang berkata, "Secara filosofis, pendapat tentang permulaan yang tiba-tiba dari keteraturan alam sekarang ini bertentangan denganku”.[8]
     Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan radiasi, bagaimana dia muncul?. Namun, harus diakui satu-satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Meskipun ini sangat dibenci para ahli fisika, namun tidak boleh menolak apa yang tidak disukai jika bukti eksperimental mendukungnya.[9]
Selain menjelaskan alam semesta, model Dentuman Besar mempunyai implikasi penting lain. Seperti yang ditunjukkan dalam kutipan dari Anthony Flew di atas, ilmu alam telah membuktikan pandangan yang selama ini hanya didukung oleh sumber-sumber agama.
Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan al-Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah swt.
Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah swt yang telah bertahan sepenuhnya utuh, al-Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun diungkapkan 14 abad yang lalu.
Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam al-Quran sebagai berikut:
Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-An'aam, 6: 101)

Aspek penting lain yang diungkapkan dalam al-Quran empat belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil:
Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. Al-Anbiyaa', 21: 30)

Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa "Kami pisahkan" diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini.
Mari kita tinjau lagi ayat tersebut, langit dan bumi pada mulanya berstatus ratk. Mereka dipisahkan (fatk) dengan satu muncul dari yang lainnya. Menariknya, para ahli kosmologi berbicara tentang "telur kosmik" yang mengandung semua materi di alam semesta sebelum Dentuman Besar. Dengan kata lain, semua langit dan bumi terkandung dalam telur ini dalam kondisi ratk. Telur kosmik ini meledak dengan dahsyat menyebabkan materinya menjadi fatk dan dalam proses itu terciptalah struktur keseluruhan alam semesta.
Kebenaran lain yang terungkap dalam al-Quran adalah pengembangan jagat raya yang ditemukan pada akhir tahun 1920-an. Penemuan Hubble tentang pergeseran merah dalam spektrum cahaya bintang diungkapkan dalam al-Quran sebagai berikut: "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesung-guhnya Kami benar-benar meluaskannya." (QS. Adz-Dzaariyat, 51: 47)
Singkatnya, temuan-temuan ilmu alam modern mendukung kebenaran yang dinyatakan dalam al-Quran dan bukan dogma materialis. Materialis boleh saja menyatakan bahwa semua itu "kebetulan", namun fakta yang jelas adalah bahwa alam semesta terjadi sebagai hasil penciptaan Allah swt dan satu-satunya pengetahuan yang benar tentang asal mula alam semesta ditemukan dalam firman Allah swt.



3.    Memahami Ayat-ayat Allah swt Melaui Alam
Dalam Al Qur'an dinyatakan bahwa orang yang tidak beriman adalah mereka yang tidak mengenali atau tidak menaruh kepedulian akan ayat atau tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah di alam semesta ciptaan-Nya[10].
Sebaliknya, ciri menonjol pada orang yang beriman adalah kemampuan memahami tanda-tanda dan bukti-bukti kekuasaan sang Pencipta tersebut. la mengetahui bahwa semua ini diciptakan tidak dengan sia-sia, dan ia mampu memahami kekuasaan dan kesempurnaan ciptaan Allah di segala penjuru mana pun. Pemahaman ini pada akhirnya menghantarkannya pada penyerahan diri, ketundukan dan rasa takut kepada-Nya. la adalah termasuk golongan yang berakal, yaitu:
...orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maksud Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali-Imraan, 3:190-191)

Di banyak ayat dalam al-Quran, pernyataan seperti, "Maka mengapa kamu tidak mengambil petajaran?", "terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang-orang yangberakal", memberikan penegasan tentang pentingnya memikirkan secara mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah swt.
Allah swt telah menciptakan beragam ciptaan yang tak terhitung jumlahnya untuk direnungkan. Segala sesuatu yang kita saksikan dan rasakan di langit, di bumi dan segala sesuatu di antara keduanya adalah perwujudan dari kesempurnaan penciptaan Allah, dan oleh karenanya menjadi bahan yang patut untuk direnungkan[11]. Satu ayat berikut memberikan contoh akan nikmat Allah ini:
"Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS. An-Nahl, 16:11)

Marilah kita berpikir sejenak tentang satu saja dari beberapa ciptaan Allah yang disebutkan dalam ayat di atas, yakni kurma. Sebagaimana diketahui, pohon kurma tumbuh dari sebutir biji di dalam tanah. Berawal dari biji mungil ini, yang berukuran kurang dari satu sentimeter kubik, muncul sebuah pohon besar berukuran panjang 4-5 meter dengan berat ratusan kilogram. Satu-satunya sumber bahan baku yang dapat digunakan oleh biji ini ketika tumbuh dan berkembang membentuk wujud pohon besar ini adalah tanah tempat biji tersebut berada.
Bagaimanakah sebutir biji mengetahui cara membentuk sebatang pohon? Bagaimana ia dapat berpikir untuk menguraikan dan memanfaatkan zat-zat di dalam tanah yang diperlukan untuk pembentukan kayu? Bagaimana ia dapat memperkirakan bentuk dan struktur yang diperlukan dalam membentuk pohon? Pertanyaan yang terakhir ini sangatlah penting, sebab pohon yang pada akhirnya muncul dari biji tersebut bukanlah sekedar kayu gelondongan. la adalah makhluk hidup yang kompteks yang memiliki akar untuk menyerap zat-zat dari dalam tanah. Akar ini memiliki pembuluh yang mengangkut zat-zat ini dan yang memiliki cabang-cabang yang tersusun rapi sempurna. Seorang manusia akan mengalami kesulitan hanya untuk sekedar menggambar sebatang pohon. Sebaliknya sebutir biji yang tampak sederhana ini mampu membuat wujud yang sungguh sangat kompleks hanya dengan menggunakan zat-zat yang ada di dalam tanah.
Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebutir biji ternyata sangatlah cerdas dan pintar, bahkan lebih jenius daripada kita. Atau untuk lebih tepatnya, terdapat kecerdasan mengagumkan dalam apa yang dilakukan oleh biji. Namun, apakah sumber kecerdasan tersebut? Mungkinkah sebutir biji memiliki kecerdasan dan daya ingat yang luar biasa?
Tak diragukan lagi, pertanyaan ini memiliki satu jawaban: biji tersebut telah diciptakan oleh Dzat yang memiliki kemampuan membuat sebatang pohon. Dengan kata lain biji tersebut telah diprogram sejak awal keberadaannya. Semua biji-bijian di muka bumi ini ada dalam pengetahuan Allah dan tumbuh berkembang karena llmu-Nya yang tak terbatas. Dalam sebuah ayatdisebutkan:
Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidakjatuh sebutirbiji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, meiainkah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mah/udz). (QS. Al-An'aam, 6:59).
Dialah Allah yang menciptakan biji-bijian dan menumbuhkannya sebagai tumbuh-tumbuhan baru. Dalam ayat lain Allah menyatakan:
Sesungguhnya Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang memiliki sifat-sifat) demikian ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling? (QS. Al-An'aam, 6:95)
Biji hanyalah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang diciptakan-Nya di alam semesta. Ketika manusia mulai berpikir tidak hanya menggunakan akal, akan tetapi juga dengan hati mereka, dan kemudian bertanya pada diri mereka sendiri pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana", maka mereka akan sampai pada pemahaman bahwa seluruh alam semesta ini adalah bukti keberadaan dan kekuasaan Allah swt.

4.    Konsep Islam Tentang Pengelolaan Alam
     Dilihat dari tanggung jawab manusia, yakni makhluk yang ditugaskan  untuk memakmurkan bumi, mengelola, dan melestarikannya. Al-Quran memberi isyarat tentang perilaku manusia terhadap alam yaitu ketika Allah berdialog dengan malaikat, pada saat Adam diciptakan; ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. Allah berfirman dalam surat  al-Baqarah ayat 30, yang artinya:
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata; mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya, dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan mencusikan Engkau?. Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak engkau ketahui.
     Suka merusak adalah salah satu sifat manusia yang didorong oleh nafsu dan melahirkan sifat rakus dan tamak. Jika berhadapan dengan alam, sifat ini amat membahayakan, karena ia akan menjadi makhluk perusak yang mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan kelestariannya. Sifat merusak alam adalah sifat buruk dan dicela Allah melalui firman-Nya: “Mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan” (Al-Maidah:15).
     Untuk menghindarkannya, manusia dituntut untuk menempati kedudukannya sebagai khalifah Allah yang mampu menyikapi alam sebagai amanah Allah untuk digunakan secara bertanggung jawab. Mengelola alam merupakan bentuk syukur kepada Allah, karena itu ia merupakan kewajiban setiap manusia.
     Disinilah syukur direalisasikan pada sikap dan tindakan dalam memanfaatkan alam secara bertanggung jawab. Firman Allah, “jika kamu bersyukur niscaya akan kami tambah nikmat itu, yakni berupa alam ini disyukuri dalam bentuk aktivitas pengelolaan yang benar, sehingga potensi dan sumber daya didalamnya, dapat dipelihara dan secara terus menerus memberikan manfaat yang diberikan alam secara berkesinambungan, jika manusia mengelolanya dengan baik.
     Tugas mengelola alam yang merupakan tugas kekhalifahan manusia, lebih ditekankan pada penebaran rahmat bagi alam secara keseluruhan, yang merupakan ciri khas Islam. Manusia dengan kekhalifahannya itu ditugaskan untuk menebarkan kasih sayang, bukan hanya antar manusia saja, melainkan kepada segenap isi alam, baik benda hidup maupun benda mati seperti air, tanah, pohon-pohonan dan sebagainya. Allah berfirman:
Dan janganlah kamu merugikan manusia ia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan berbuat kerusakan (QS. As-Syu’ara’:183).
     Mengelola  alam dan mengayomi alam merupakan  pancaran iman, dan bagian penting dari amal shaleh. Firman Allah dalam surat Shaad ayat 28, yang artinya:
Patutlah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah pula kami menganggap orang-orang yang takwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat.

     Demikianlah Allah mencerca kaum perusak alam yang hanya tahu memanfaatkan dan mengeksploitasinya tanpa menghiraukan kelestariannya. Oleh karena itu, Islam senantiasa mengajarkan umatnya untuk memperhatikan dan memperdulikan lingkungan alam, mencintai kebersihan, dan keindahan. Kebersihan dan keindahan diletakkan pada tempat yang khusus dalam ajaran Islam. Ia adalah bagian  dari iman dan menjadi syarat mutlak bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadat, misalnya wudhu’ atau mandi sebelum sholat.
     Disini kebersihan bukan hanya dipandang dari sisi ritual semata, melainkan juga bermakna kepedulian pada lingkungan yang bersih, indah dan lestari yang menjadi bagian penting dalam ajaran Islam dan amat bermanfaat bagi kehidupan.
     Demikianlah Islam mengajarkan sikap-sikap dan perlakuan yang bijaksana dalam pengelolaan alam sebagai aktualisasi dan tugas manusia sebagai khalifah, yaitu pengelola yang akan ditentukan kualitasnya pada sikap dan perilakunya terhadap anugerah alam ini. Ia dapat saja memanfaatkan alam sekehendak hatinya untuk semata-mata memuaskan hidupnya tetapi perilaku itu menempatkan dirinya pada kualitas yang rendah yang tidak membedakannya dengan binatang.
     Karena itu, untuk mencapai kualitas kemanusiaan yang tinggi dan mulia, manusia dituntut untuk menyingkapi alam dengan berpedoman pada aturan Sang Maha Pemberi, yaitu bertindak sebagai subyek yang memberi rahmat kepada alam, dan memberi manfaat dalam interaksinya dengan alam lingkungannya.
     Kualitas hidup manusia yang tampak dalam interaksinya dengan alam tersebut, tidak terlepas dari tanggung jawabnya sebagai khalifah yang akan diminta pertanggung jawaban di hadapan Sang Maha Kuasa. Manusia dalam kaitan dengan tugas dan peranan hidupnya disebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah tugas kekhalifahan. Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah di muka bumi yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia itu bersifat kreatif yang memungkinkan manusia mengolah serta mendayagunakan apa yang ada di muka  bumi untuk kepentingan hidupnya.
     Sebagai wakil Tuhan, maka Tuhan mengajarkan kepada manusia kebenaran-kebenaran dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaanNya, maka manusia dapat menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.
     Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dari yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Tuhan baik yang tertulis dalam kitab suci, maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta.
     Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakilinya adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya serta menghianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu akan diminta pertanggung jawaban terhadap penggunaan kewenangannya itu di hadapan yang diwakilinya. 
     Islam mendorong manusia agar menggunakan potensi yang dimilikinya secara seimbang. Akal yang berlebihan mendorong manusia kepada kemajuan material yang hebat, tetapi kosong dari nilai-nilai rohaniah, bahkan manusia dapat terjebak dalam kesombongan intelektual yang merusakkan dirinya. Demikian pula eksploitasi rasa yang dominan menyebabkan manusia terjerumus ke dalam dunia mistik yang berlebihan yang dapat menyebabkan dirinya.

5.    Implikasi Paedagogis Konsep Alam
a.      Secara Konseptual
Setidaknya, empat hal yang mewarnai pemikiran pendidikan. Pertama, perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada abad klasik, abad pertengahan, dan abad modern. Kedua, latar belakang pendidikan keagamaan dan penguasaannya. Ketiga, prinsip-prinsip ajaran madzhab dan trarekat yang dianutnya. Keempat, para mu’allim yang mendidik dan membentuk kepribadiannya.
Prinsip-prinsip pendidikan Islam harus menyatukan nilai-niali spiritual keagamaan dengan nilai-nilai kebendaan keduniaan. Tauhid haruslah menjadi asas sentral dalam segal aktivitas pendidikan, bahkan tujuan pendidikan Islampun harus mengarah dan mengakarkan nilai-nilai tauhid ini. Pendidikan Islam mengarah pada teosentris yang Ma’rifatullah, di samping antroposentris yang mengarah pada kehidupan dunia saja. Antroposentris merupakan bagian integral dari Teosentris.
Implikasinya ialah jika falsafah antroposentrisme mengatakan bahwa keberhasilan dan kegagaglan pendidikan ditentuikan oleh faktor endigen dan eksogen, sementara falsafah teosentris bahwa kegagalan dan keberhasilan tidak hanaya berhenti disitu, tetapi masih ada faktor lain.
Eksistensi alam yang rasional, dapat menjadi dasar pijakan dalam kerangka ilmu dan sekaligus menjadi asas berpikir ilmiah khususnya pengembangan kependidikan Islam. Tujuan alam ini diciptakan agar manusia dapat menggali nilai-nilai kabenaran dan kemanfaatan yang terkandung didalamnya yang dapat mengarahkan manusia kepada pengakuan eksistensi dirinya sebagai hamba Allah, terutama untuk Ma’rifatullah yakni iman tauhid.
Alam ini sebagai asas berpikir ilmiah dan dasar pijakan dalam karangka ilmu, serta sebagai pembelajaran apabila alam ini diyakini sebagai hal yang exact, tetap (tidak pernah berubah) atau terus menerus ada keterulangan, sifatnya objekti dan berjalan atas dasar hukum kausal, dan teologis.
Manusia berasal dari unsur materi dan immateri, dimuliakan, makhluk educadum dan educadua diberi amanah taklif (pembahanan), berfungsi ubudiyah dan khalifah (co-creator), makhluk bebas memilih (mukhayyar), makhluk yang bertnggung jawab dan diberi berbagai daya yang penuh keajaiban dan misteri (gaib) serta diberi peluang untuk mencapai kemajuan sifat dasar bawaan manusia ialah tauhid dan proses perkembangannya bersifat intraktif/responsif.
Lingkungan yang buruk merupakan agen eksternal mendorong fitrah yang negatif dan melengkapinya. Lingkungan yang baik merupakan agen eksternal yang melengkapi fitrah tauhid dan positif. Hubungan individu dan sosial saling berpengaruh.
Reformasi dan transfoprmasi sosial merupakan kewajiban komunal dalam wujud amar makruf dan nahi munkar. Melalui konsep amar makru dan nahi munkar akan menciptakan tata sosial yang bermoral sebagai konsekuensi dari fungsi manusia sebagi ubūdiyah dan khalifah (co-creature) dan manusia sebagai bayang-bayang Tuhan. Reformsi dan transformasi sosial yang dilakuakan harus dilandasi oleh akidah dan ilmu bukan dengan kebodohan dan taklid.
Dengan ilmu itu masyarakat dapat dibentuk dengan rasional bukan dengan apriori tetapi apostriori. Aktivitas seseorang paling utama menurutnya ialah memberi manfaat bagi masyarakat terutama dengan ilmu baik dengan memberi fatwa, mengajar, mengarang ataupun menelaah kitab. Karena aktivitas tersebut dapat memperbaiki pribadi-pribadi manusia dalam bingkai tatanan yang bermoral.
Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang berbahagia di dunia dan akhirat (QS. Ali Imran: 102).
Dalam konteks sosiologi pribadi yang bertakwa menjadi rahmatan lil ‘alamin, baik dalam skala kecil maupun besar. Tujuan hidup manusia dalam Islam inilah yang dapat disebut juga sebagai tujuan akhir pendidikan Islam.
Tujuan khusus yang lebih spesifik menjelaskan apa yang ingin dicapai melalui pendidikan Islam. Sifatnya lebih praktis, sehingga konsep pendidikan Islam tidak sekedar idealisasi ajaran-ajaran Islam dalam bidang pendidikan. Dengan kerangka tujuan ini dirumuskan harapan-harapan yang ingin dicapai di dalam tahap-tahap tertentu proses pendidikan, sekaligus dapat pula dinilai hasil-hasil yang telah dicapai.
Berbicara lahirnya ilmu Alamiah, panca indera akan memberikan tanggapan terhadap semua rangsangan dimana tanggapan itu menjadi suatu pengalaman. Pengalaman yang diperoleh terakumulasi oleh karena adanya kuriositas manusia. Pengalaman merupakan salah satu terbentuknya pengetahuan, yakni kumpulan fakta-fakta. Pengalaman akan bertambah terus seiring berkembangnya manusia dan mewariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Pertambahan pengetahuan didorong oleh pertama untuk memuaskan diri, yang bersifat non praktis atau teoritis guna memenuhi kuriositas dan memahami hakekat alam dan isinya kedua, dorongan praktis yang memanfaatkan pengetahuan itu untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih tinggi. Dorongan pertama melahirkan Ilmu Pengetahuan Murni (Pure Science) sedang dorongan kedua menuju Ilmu Pengetahuan Terapan (Aplied Science).
b.      Secara operasional
Berikut paparan yang menggambarkan secara praktis pengaruh atau pengembangan dari konsep tentang alam semesta, diantaranya adalah sebagai berikut.
a.    Tujuan Pendidikan Islam
Keberadaan alam ini tentu harus mengantarkan pada keyakinan maha dahsyat yang menguasai alam ini, yakni Allah swt. Penetapan tujuan pendidikan Islam pun sebaiknya muara akhirnya beroerientasi pada nilai-nilai ketuhanan. Jangan sampai, adanya alam ini, terasanya nikmat alam ini, tidak mengantarkan pada proses tadabur hakikat alam dan lainnya, terutama pesan-pesan penting maha Pencipta dan segala keunikan-keunikan yang ada di alam ciptaan-Nya. Sehingga, pesan penting pendidikan pun sampai pada hakikat yang idel dan realistis.
b.   Kurikulum Pendidikan Islam
Inti (core) dari kurikulum pendidikan Islam adalah kepribadian. Alam ini menjadi dasar untuk mengembangkan kurikulum pendidikan Islam, karena tanggung jawab akan alam ini telah Allah bebankan kepada manusia. Oleh karena itu, sepantasnya manusia mengemban amanah dengan semestinya. Kepribadian manusia pun menjadi mutlak adanya, karena tidak mungkin amanah tanpa memiliki kepribadian. Kepribadian yang dimaksud adalah pribadi beriman/berakhlak, berilmupengetahuan (sains), dan berprilaku baik.
c.    Hak dan Kewajiban Guru
1.      Guru berhak mendiami tempat tinggal yang nyaman seperti halnya Allah telah menyediakan alam ini untuk tempat tinggal seluruh makhluk hidup
2.      Guru berhak mendapatkan kesempatan untuk mendalami kehebatan alam ini melalui pelatihan sains
3.      Berhak mendapatkan pendidikan yang ilmiah dan alamiah
4.      Guru berkewajiban menjaga lingkungan pendidikan sebagai bukti amanah terhadap alam
5.      Guru berkewajiban mengurus murid-muridnya seperti berkewajibannya manusia mengurus alam ini.
6.      Guru berkewajiban untuk mengembangkan penelitian ilmiah
d.   Hak dan Kewajiban Murid
1.      Murid berhak mendiami tempat tinggal yang nyaman seperti halnya Allah telah menyediakan alam ini untuk tempat tinggal seluruh makhluk hidup
2.      Murid berhak mendapatkan kesempatan untuk mendalami kehebatan alam ini melalui pelatihan sains
3.      Berhak mendapatkan pendidikan yang ilmiah dan alamiah
4.      Murid berkewajiban menjaga lingkungan pendidikan sebagai bukti amanah terhadap alam
5.      Murid berkewajiban untuk mengembangkan penelitian ilmiah
e.    Proses Belajar Mengajar
1.    Menjadikan alam sebagai media pembelajaran
2.    Berkembangnya konsep biologi dan fisika dalam dunia pendidikan
3.    Mendatangkan ahli untuk pembelajaran MIPA
4.    Mengembangkan alat peraga maple IPA dan Matematika
5.    Menciptakan pembelajaran di luar kelas/sekolah
6.    Menerapkan strategi pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan di luar kelas
7.    Meningkatkan kegiatan penelitian dengan proses inquiri dan discovery.
f.     Rekayasa Pendidikan
Kompleknya susunan unsur-unsur yang membentuk alam menjadi dasar dalam menyusun atau merekayasa segala hal yang mungkin terciptanya pendidikan. Misalnya, proses pendidikan sudah saatnya mempungsikan alam terbuka. Toeri Big Bang dalam proses penciptaan alam, menjadi dasar untuk mendekortruksi pendidikan agar lebih baik lagi.
g.   Penilaian
Melaksanakan Autentic Assessment (penilaian yang sebenarnya), maksudnya yang objektif dan bersifat emik.
h.   Rekayasa Lingkungan
1.    Menciptakan kualitas lingkungan sekolah, lingkungan yang kondusif untuk mewadahi komunitas belajar.
2.    Intensifikasi pengelolaan kebersihan lingkungan sekolah.
3.    Mengadakan even hari tanpa sampah dan kotoran
4.    Menanamkan kesadaran warga madrasah agar selalu mengambil dan membuang sampah pada tempatnya
5.    Penataan lingkungan sekolah, seperti pembuatan tempat-tempat duduk  siswa di ruang terbuka, penataan taman madrasah, pemberdayaan UKS (membuat apotik hidup), membuat kebun/taman aneka macam tumbuhan kecil, dan lain-lain.



i.     Sarana dan Prasarana Pendidikan
1.      Pengadaan ruangan lab sains.
2.      Mengidentifikasi bagian-bagian gedung yang mengalami kerusakan

6.    Telaah Pustaka
Ahmad Warson Munawir.
2002, “Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia”.  Surabaya: Pustaka Progresif.
Andrei Linde.
1994, "The Self-Reproducing Inflationary Universe", Scientific American, vol. 271. 
George Politzer.
1954, “Principes Fondamentaux de Philosophie”. Editions Sociales, Paris.
Harun Yahya.
2004, “Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur”.  Jakarta: Globalmedia Cipta Publishing.
H. P. Lipson.
1980, "A Physicist Looks at Evolution", Physics Bulletin, vol. 138.
Lindberg, David C.
2007, “The Greeks and the Cosmos.” The Beginnings of Western Science. Chicago: University of Chicago Press.
Mawardi dan Nur Hidayat.
2007, “IAD-ISD-IBD”.  Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mohammad Hatta.
1986, “Alam Pikiran Yunani”.  Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Simon Petrus L. Tjahjadi.
2004, “Petualangan Intelektual”. Yogyakarta: Kanisius.
S. Jaki.
1980, “Cosmos and Creator, Regnery Gateway, Chicago. 



[1] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia”.  (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hlm, 966.
[2] Mawardi dan Nur Hidayat, IAD-ISD-IBD”.  (Bandung: CV. Pustaka Setia,2007), hlm, 27.
[3] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani”.  (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm, 7-8.
[4] Simon Petrus L. Tjahjadi, “Petualangan Intelektual” (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm, 22.
[5] Lindberg, David C. “The Greeks and the Cosmos.” The Beginnings of Western Science. (Chicago: University of Chicago Press, 2007), hlm, 28.
[6] Andrei Linde, "The Self-Reproducing Inflationary Universe", Scientific American, vol. 271, 1994, hlm. 48 
[7] George Politzer, Principes Fondamentaux de Philosophie, Editions Sociales, Paris 1954 ,hlm. 84 
[8] S. Jaki, Cosmos and Creator, Regnery Gateway, Chicago, 1980, hlm. 54. 
[9] H. P. Lipson, "A Physicist Looks at Evolution", Physics Bulletin, vol. 138, 1980, hlm. 138
[10] Harun Yahya, Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur”.  (Jakarta: Globalmedia Cipta Publishing, 2004), hlm, 9.
[11] Ibid, hlm, 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar