Senin, 09 Mei 2011

Arab Pra Islam

Ade Hidayat


A.   Pendahuluan
Penelusuran sejarah, khususnya sejarah mengenai Arab sebelum Islam, merupakan diskursus yang menarik dan signifikan. Menarik karena studi sejarah tersebut telah menjadi perhatian khususnya di kalangan intelektual Islam mutakhir untuk membuktikan apakah Arab Jahiliyyah adalah bodo dalam berbagai aspek? atau tidak? Signifikan karena studi Sejarah Islam ini merupakan bagian dari strategi untuk menggugah kembali faktor-faktor kebaikan apa saja yang terdapat pada Arab Jahiliyah untuk selanjutnya kita contoh dan faktor-faktor keburukan apa saja yang patut kita jauhi guna mencari ibrah dalam pelaksanaan nilai-nilai ajaran Islam.
Sangat wajar dan logis, apabila kita mengkaji sejarah Islam dan Nabi Muhammad  SAW dimulai dengan pembahasan masa Jahiliyah atau Pra Islam. Hal ini untuk mengetahui tempat asal mula tumbuhnya Islam, reaksi dan perubahan yang dialami lingkungan sekitarnya, dengan mengenal hakikat Jahiliyah, maka kita akan mengenal hakikat Islam dan peranannya dalam kehidupan manusia sebagaimana sebuah kaidah menyatakan bahwa “menciptakan sesuatu dari ketidakadaan adalah mustahil ( al-ijad min al- ‘adam muhal)”.[1]
Keberadaan Arab sebelum Islam datang, dikenal sebagai suatu daerah yang sudah memiliki kemajuan dalam bidang ekonomi dan perdagangan serta kemajuan dalam bidang IPTEK dan kesenian, letak geografisnya yang sangat strategis membuat Islam yang diturunkan di Mekkah mudah tersebar ke berbagai wilayah. Adapun keadaan sosial kemasyarakatan mencerminkan suatu masyarakat feodal yang sudah mengenal sistem perbudakan, masyarakat arab ketika itu cenderung merendahkan wanita, suka bermusuhan akibat masalah sepele, di samping itu, masyarakat bangsa arab sebelum Islam datang menganut kepercayaan menyembah berhala, patung atau benda-benda lain yang dianggap mempunyai kekuatan ghaib[2].
Selanjutnya, tulisan ini akan mencoba mengungkap secara komprehensif tentang Arab sebelum Islam datang yang merupakan telaah Arab Jahiliyah,  yang menjadi latar belakang Islam lahir di negeri Arab, di dalamnya meliputi pembahasan Perkembangan Bangsa Arab, Politik dan Pemerintahan (Imarah), Agama dan kepercayaan, sosial kemasyarakatan, ekonomi perdagangan, Iptek dan kesenian dan moral bangsa Arab. Secara metodologis, tulisan ini mencoba mengungkap sejumlah fakta historis, ditambah dengan asumsi-asumsi normatif yang diperlukan untuk melihat gambaran bangsa Arab sebelum Islam datang.

B.   Perkembangan Bangsa Arab
Bangsa Arab berasal dari rumpun bangsa Semit, istilah semit berasal dari kata syem yang tertera pada Perjanjian Lama melalui bahasa Latin dalam Vulgate, menurut Phillip K. Hitti, penjelasan tradisional yang menyebutkan bahwa rumpun bangsa semit adalah keturunan anak Nuh yang tertua, tidak bisa lagi diterima, melainkan terdapat dua pendapat melalui hipotesanya yaitu asal mula Bangsa Semit adalah di Afrika sebelah timur, sedangkan pendapat ke dua adalah asal mula bangsa Semit adalah dari Mesopotamia. Dari ke dua pendapat ini, maka pendapat ke dua yang tampak lebih masuk akal.[3]
Sebagai tempat kelahiran rumpun Semit, Semenanjung Arab menjadi tempat menetap orang-orang yang kemudian bermigrasi ke wilayah Bulan Sabit Subur (Wilayah Timur Tengah yang membentang dari Israel hingga Teluk Persia, termasuk di dalamnya sungai Tigris dan Efrat di Irak sekarang), yang kelak dikenal sebagai bangsa Babilonia, Assyiria, Phoenisia, dan Ibrani. Sebagai tempat munculnya tradisi Semit sejati, wilayah Gurun Pasir Arab merupakan tempat lahirnya tradisi Yahudi dan Kristen.[4] Pada abad pertengahan, Semenanjung Arab melahirkan sebuah bangsa yang menaklukan sebagian besar wilayah dunia yang kelak menjadi pusat-pusat peradaban dan melahirkan sebuah agama Islam yang dianut oleh sekitar 450 juta orang, yang mewakili hampir semua ras di berbagai kawasan.[5]
Dilihat dari kondisi geografis Jazirah Arab, Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak parallelogram. Ke sebelah utara Palestina dan Padang Syam, ke sebelah Timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk Persia, ke sebelah Selatan Samudra Indonesia dan Teluk Aden, sedangkan ke sebelah barat Laut Merah.[6]










Berdasarkan peta dalam buku History of the Arabs oleh Philip K. Hitti[7]

Jika ditinjau dari letak geografisnya yang tercantum di atas, maka Jazirah Arabia memang sangat strategis, baik dari segi perekonomian maupun perdagangan, sebagai contoh, sebelah utara dan selatan dari Jazirah Arab menjadi tempat berlabuh berbagai bangsa untuk saling tukar-menukar perniagaan, peradaban, agama dan seni, Dari segi pertahanan pun sangat strategis, karena dibatasi oleh tiga laut dari tiga jurusan, ditambah lagi dengan ketandusan Jazirah Arab itu sendiri ,sehingga ke dua faktor itu dapat melindungi Jazirah Arab dari serangan luar.[8]
Selanjutnya, Philip K. Hitti dalam bukunya History of the Arabs, menyebutkan Semenanjung Arab merupakan semenanjung barat daya Asia, sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia, wilayahnya dengan luas 1.745.900 km2 , dihuni oleh sekitar empat belas juta jiwa. Arab Saudi dengan luas daratan sekitar 1.014.900 km2 (tidak termasuk al-Rab al-Khali), berpenduduk sekitar tujuh juta jiwa; Yaman lima juta jiwa, dan selebihnya tinggal di Kuwait, Qatar, Emirat Arab, Oman dan Masqat serta Aden.[9]
Dalam perkembangannya, Bangsa Arab terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu :
1.    Arab Baidah, yaitu orang Arab yang kini tidak ada lagi dan musnah. Diantaranya adalah ‘Aad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass dan penduduk Madyan.[10]
2.    Arab Baqiyah, yaitu orang Arab yang hingga saat ini masih ada, mereka adalah Bani Qathan dan Bani Adnan. Banu Qathan adalah Arab Aribah (orang Arab asli) dan tempat mereka adalah di selatan Jazirah Arab, sedangkan Bani Adnan, meraka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian Utara, yang tempat tinggalnya di Makkah al-Mukarramah.[11]
Dari merekalah kemudian timbul bermacam kaum dan suku Arab, termasuk kaum Quraisy, yang tumbuh dari induk suku Adnan.
Menurut Samsul Munir Amin (2009, 55), Jazirah Arabia terbagi menjadi 3 bagian sebagai berikut :
1.    Arabia Petrix, yaitu daerah-daerah yang terletak di sebelah Barat Daya Lembah Syiria. Wilayah Arab Petra (Gunung Batu) berpusat di daratan Sinai dan kerajaan Nabasia, dengan ibukota Petra.[12]
2.    Arabia Deserta, yaitu daerah Syiria sendiri. Menurut istilah lain Arab Gurun yang meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotamia (Badiyah).[13]
3.    Arabia Felix, yaitu negeri Yaman yang terkenal dengan nama “Bumi Hijau”
Pembagian tersebut di atas didasarkan atas pembagian wilayah ke dalam tiga kekuatan politik pada abad pertama Masehi, yaitu kawasan yang bebas, kawasan yang tunduk pada penguasa Romawi dan kawasan yang secara nominal berada dalam kendali Persia.[14]
Berdasarkan karakteristik daratan, penduduk Semenanjung Arab terbagi atas dua kelompok utama, yaitu :
a.      Orang-orang desa (Badui) yang nomad. Pola budaya orang Badui adalah keragaman, kemajuan, evolusi bukanlah hikum alam yang siap mereka ikuti, mereka enggan mengikuti pengaruh dan dan cara hidup asing, memilih untuk bertahan di tenda bulu domba atau buku onta, aktivitas mereka adalah bertani dan berdagang. Cara berpakaian orang Badui sangat sederhana yaitu Jubah panjang (tsaub) yang dilengkapi dengan ikat pinggang dan busana atas (‘aba) yang modelnya telah terkenal luas.
b.      Masyarakt perkotaan.[15]
C.   Keadaan Politik dan Pemerintahan (Imarah)
Sebelum kelahiran Islam, ada tiga kekuatan politik besar yang perlu dicatat dalam hubungannya dengan Arab; yaitu Kekaisaran Nasrani Byzantin dan Kekaisaran Persia yang memeluk agama Zoroaster, serta Dinasti Himyar yang berkuasa di Arab bagian Selatan. Dalam catatan Rippin, setidaknya ada dua hal yang bisa dianggap turut mempengaruhi kondisi politik Jazirah Arab, yaitu interaksi dunia Arab dengan dua adi kuasa saat itu, yaitu Kekaisaran Byzantin dan Persia serta persaingan antara Yahudi, beragam sekte dalam agama Nasrani dan para pengikut Zoroaster.[16]
 Kondisi Arab yang terlindung oleh gurun-gurun pasir, serta masyarakatnya yang sebagian besar hidup nomad, membuat Arab tidak tertaklukkan secara utuh oleh ketiga kekuatan tersebut. Ditambah lagi adanya beragam suku dengan wilayah dan pemimpin yang berbeda-beda serta tidak bersatu. tidak mengherankan jika akhirnya suku-suku terpecah-pecah dan mencari sekutu sendiri-sendiri. Suku Hira atau Laknhid di Timur Laut misalnya, menjadi bawahan kekaisaran Persia, sementara suku Ghassan yang tinggal di bagian Barat Laut, menjadi bawahan kekaisaran Byzantin. Perang antar suku ini pula yang akhirnya meruntuhkan Dinasti Himyar di Selatan.[17]
Masyarakat Arab pada Zaman Jahiliyah, tidak memiliki pemerintahan seperti sekarang, namun mereka mempunyai kabilah-kabilah, suku-suku dan kaum, dimana setiap kabilah, kaum-kaum dan suku-suku memiliki pimpinan masing-masing yang berdiri sendiri, satu sama lain kadang bermusuhan, mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme, yang ada hanyalah rasa ikatan kabilah saja.
Dari rasa ikatan kabilah inilah, malahan sampai terjadi peperangan antar kabilah diantara mereka, misalnya : Perang Busus; Perang ini terjadi antara kabilah Bakar dengan kabilah Taghlib selama 40 tahun, hanya disebabkan perselisihan seekor unta; Perang Dahis;  perang ini terjadi antara pimpinan suku Al-Gubhara dan suku Dahis, juga selama 40 tahun; Perang Fujar; perang ini terjadi kira-kira 268 tahun sebelum Nabi Muhammad diutus Rasul.[18]
Namun demikian, pada masyarakat Arab sebelum Islam datang berdiri  beberapa kerajaan yang mencerminkan adanya pemerintahan pada saat itu, yang sifat dan bentuknya ada dua macam, yaitu:
1.    Kerajaan yang berdaulat, tetapi tunduk kepada kerajaan lain (mendapat otonomi dalam negeri).
2.    Kerajaan tidak berdaulat, tetapi mempunyai kemerdekaan penuh, ini lebih tepat disebut Induk suku dengan kepala sukunya.[19]
Bukti lain dari adanya pemerintahan pada masyarakat Arab pra Islam adalah adanya jabatan-jabatan penting seperti dipegang oleh Qushayy Ibn Qilab pada pertengahan abad V M. Dalam memelihara ka’bah, seperti :[20]

No.
Jabatan

Keterangan
1.
2.



3.

4.
5.


6.
Hijabat
Siqayat



Rifadat

Nadwat
Liwa’


Qiyadat
Penjaga pintu Ka’bah atau yang memegang kunci
Petugas yang diharuskan menyediakan air tawar untuk para tamu yang berkunjung ke Ka’bah serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma
Petugas yang diharuskan memberi makan kepada para pengunjung Ka’bah.
Petugas yang harus memimpin rapat tahunan
Pemegang panji yang dipancangkan di tombak kemudian ditancapkan di tanah sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh.
Pemimpin pasukan apabila hendak berperang.

D.   Agama dan Kepercayaan Bangsa Arab Pra Islam
Dilihat dari aspek agama dan kepercayaan (‘aqa’id), sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut agama yang mengakui keberadaan Allah sebagai Tuhan mereka, sumber kepercayaan tersebut adalah risalah samawiyah yang dikembangkan dan disebarkan di Jazirah Arab. Agama tersebut diwarisi secara turun temurun dari Nabi Ibrahim dan anaknya  nabi Ismail.[21] Dalam Al-Quran, ajaran tersebut disebut hanief dan Muslim, sebagaimana firman-Nya :
$tB tb%x. ãNŠÏdºtö/Î) $wƒÏŠqåku Ÿwur $|ÏR#uŽóÇnS `Å3»s9ur šc%x. $ZÿÏZym $VJÎ=ó¡B $tBur tb%x. z`ÏB tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$#  
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi Dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Ali imran (3): 67).
Dalam perkembangan berikutnya kepercayaan tersebut kemudian diselewengkan dan dicampurbaurkan dengan takhayul dan kemusyrikan menjadi agama watsaniyyat, yaitu agama yang menyekutukan Allah dengan melakukan penyembahan terhadap berhala-berhala pohon-pohon, bintang dan jin sebagai penyerta Allah.[22] Demi kepentingan Ibadah, bangsa Arab pra Islam membuat  360 buah berhala di sekitar Ka’bah karena setiap kabilah memiliki berhala.[23] Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti :
  1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
  2. Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud dihadapannya.
  3. Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.[24]
Mereka pada umumnya tidak percaya pada hari kiamat dan tidak percaya kepada kebangkitan setelah kematian, sebagaimana Firman-Nya :
÷bÎ) }Ïd žwÎ) $oYè?$uŠym $u÷R9$# ßNqßJtR $uŠøtwUur $tBur ß`øtwU tûüÏOqãèö7yJÎ/  
“kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi” ( al-Mu’minun (23) : 37)
Namun sebagian kecil dari masyarakat Arab Jahiliyah tetap pada pendiriannya yang masih mempertahankan akidah monotheism yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, diantra mereka adalah Umar Ibn Nufail dan Zuhair Ibn Abi Salma.
Menurut Jaih Mubarok (2004 : 26)
“Dalam bidang hukum, Bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya. Dalam perkawinan, mereka mengenal beberapa macam perkawinan, diantaranya adalah : (a) istibdha, (b) Poliandri, (c) maqthu’, (d) badal dan (e) Shighar. Dalam bidang mu’amalat, diantara kebiasaan mereka adalah kebolehan transaksi mubadalat (barter), jual-beli, kerjasama pertanian (muzara’at) dan riba. Di samping itu, di kalangan mereka juga terdapat jual beli yang bersifat spekulatif, seperti bay al-munabadat. Di antara ketentuan hokum keluarga Arab pra Islam adalah kebolehan berpoligami dengan perempuan dengan jumlah tak terbatas; serta anak kecil dan perempuan tidak dapat menerima harta pusaka atau harta peninggalan”.


E.    Sosio Kemasyarakatan Arab Pra Islam
Menjelang era Islam, Jazirah Arab merupakan wilayah pinggiran (terpencil) bagi masyarakat imperial Timur dalam posisinya sebagai Negara yang perkembangannya sebanding dengan perkembangan Negara-negara zaman kuno dan tidak terlibat dengan perkembangan negara-negara zaman kuna dan tidak terlibat dengan perkembangan negara-negara lainnya di wilayah ini. Arabia merupakan komunitas besar yang secara khusus tetap mempertahankan pengaruhnya, sementara institusi perkotaan, keagamaan, dan institusi kerajaan tidak mengalami perkembangan, sekalipun semua institusi tersebut tetap berlangsung. Jikalau dunia imperial pada umumnya merupakan masyarakat agricultural, Arabia bertahan sebagai masyarakat penggembala (pastoral).[25] Kehidupannya berlangsung secara Nomadik mengikuti tumbuhnya stepa yang tumbuh di sekitar oasis dengan pola kesukuan yang kuat. Sehingga peperangan antar suku menjadi phenomena yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi masyarakat Arab, terutama suku Badui.
Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental; Aspek pertama adalah asal-usul yang merupakan organisasi masyarakat manusia menjadi kelompok-kelompok kecil, bahkan juga kelompok yang bercorak kekeluargaan. Aspek kedua, merupakan sebuah evolusi kecenderungan yang mengarah pada pembentukan kesatuan kultur, agama dan wilayah kekuasaan pada skala yang paling besar. [26]
Hijaz merupakan salah satu daerah di kawasan tersebut yang sering disebut sebagai “negeri kelahiran Islam”, daerah dimana terletak dua kota suci umat Islam yang terkenal dan bersejarah yaitu Makkah dan Madinah. Mekkah merupakan kota transit perdagangan Timur-Barat dan juga merupakan pusat agama (penyembah berhala) yang selalu didatangi oleh berbagai suku.[27] Sedangkan Madinah merupakan nama kota baru bagi Yastrib, sebuah daerah yang memiliki tanah yang cukup subur dan air yang melimpah. Di Yastrib ini, telah hidup satu komunitas kecil bangsa Yahudi dan beberapa suku Arab lainnya. Yang terkenal diantaranya suku Aus dan Khazraj.
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang di mata Bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.[28]
Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.[29]
Berdasarkan sosio kemasyarakatan tersebut di atas, bahwa kondisi sosial yang berlaku di masyarakat Jahiliyah benar-benar rapuh dan dalam kebutaan. Kebodohan mencapai puncaknya dan khurafat merajalela dimana-mana. Orang-Orang hidup layaknya binatang ternak. Wanita diperjual belikan bahkan terkadang diperlakukan bak benda mati. Hubungan antar umat sangat lemah, sementara setiap ada pemerintahan maka ujug-ujugnya hanyalah untuk mengisi gudang kekayaan mereka yang diambil dari rakyat atau menggiring mereka untuk berperang melawan musuh-musuh yang mengancam kekuasaan mereka dan mengikuti hawa nafsu. 
F.    Ekonomi dan Perdagangan
Berdasarkan keberadaan geografis alam yang tandus kering dan gersang, maka pada umumnya kehidupan orang Arab sebelum Islam datang bersumber dari kegiatan perdagangan dan peternakan. Sebagian besar masyarakat Timur Tengah telah hidup dalam perkampungan pertanian atau dalam tenda-tenda pada perkampungan Nomadis.[30] Beberapa kota di Hijaz seperti Makkah, Madinah, Yaman dan lain-lain merupakan pusat perdagangan, sehingga dengan demikian Makkah tumbuh menjadi kota dagang antar suku bangsa di Jazirah Arab. Perdagangan yang paling ramai di kota Mekkah yaitu selam musim “Pasar Ukaz”, yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram.[31] Selain itu di Hijaz pun banyak ditumbuhi pohon kurma, sehingga penduduknya pun kebanyakan bertani, disamping Hijaz terdapat daerha lain penghasil pertanian diantaranya Yaman pengahasil Gandum, Oman dan Hasa sebagai pengahsil Padi, Mahrah pengahasil gaharu dan lain sebagainya.[32]
Orang-orang Arab di masa Jahiliyah sangat dikenal dengan bisnis dan perdagangannya. Perdagangan menjadi darah daging orang-orang Quraisy, mereka melakukan perdagangan ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan bisnis ke Syam pada musim Panas.[33]
Sebagian besar hasil perindustrian yang ada di kalangan bangsa Arab hanyalah berupa tenunan, samak kulit binatang dan lainnya. Kegiatan ini ada pada masyarakat Yaman, Hirah, dan pinggiran kota Syam. Benar, di kawasan domestik Jazirah ada sedikit industri bercocok tanam, membajak sawah, dan beternak kambing, sapi serta onta. Kaum wanita rata-rata menekuni seni memintal. Namun barang-barang tersebut sewaktu-waktu dapat menjadi sasaran peperangan. Kemiskinan, kelaparan serta kehidupan papa menyelimuti masyarakat.[34] 

G.   Iptek dan Kesenian
Sekalipun Jazirah Arabia, terutama Hijaz dan Najd terpencil dari dunia luar, namun mereka memiliki daya intelektual yang sangat cerdas, bukti kecerdasan mereka bisa dilihat dari Ilmu pengetahuan dan seni bahasa. Bukti dalam bidang ilmu pengetahuan sebagai mana dikemukakan oleh Samsul Munir Amin (2009: 59-60) adalah :
1.    Ilmu Astronomi. Bangsa Kaidan (Babilon) adalah guru dunia bagi ilmu astronomi. Mereka telah menciptakan ilmu astronomi dan membina asas-asasnya. Pada waktu tentara Persia menyerbu negeri Babilon, sebagian besar dari mereka termasuk ahli ilmu astronomi mengungsi ke negeri-negeri Arab. Dari merekalah orang Arab mempelajari ilmu astronomi.
2.    Ilmu Meteorologi. Mereka menguasai ilmu cuaca atau ilmu iklim (meteorology) yang dalam istilah mereka waktu itu disebut al-anwa wa mahabburriyah atau istilah Bahasa arab modern disebut adh-dhawahirul jauwiyah.
3.    Ilmu Mitologi.ini semacam ilmu mengetahui beberapa kemungkinan terjadinya peristiwa (seperti perang, damai dan sebagainya), yang didasarkan pada bintang-bintang, seperti halnya orang-orang Arab Purba, maka merekapun menuhankan bintang-bintang, matahari dan bulan. Atas pemberitahuan tuhannya maka mereka mengetahui sesuatu.
4.    Ilmu tenung. Ilmu tenung juga berkembang pada mereka dan ilmu ini dibawa oleh bangsa Kaldan (Babilon) ke tanah Arab. Dan berkembang di kalangan mereka.
5.    Ilmu Thib (Kedokteran). Ilmu Thib ini berasal dari bangsa Kalda (Babilon). Mereka mengadakan percobaan penyembuhan orang-orang sakit, yaitu menempatkan orang-orang sakit di tepi jalan, kemudian mereka menanyakan kepada siapapun yang melalui jalan tersebut mengenai obatnya, lalu dicatat. Dengan percobaan terus menerus akhirnya mereka mendapat ilmu pengobatan bagi orang sakit.
Pada awalnya pengobatan dilakukan oleh para tukang tenung, kemudian dukun (tabib) hingga akhirnya berkembang. Ilmu kedokteran dari bangsa Babilon diambil oleh bangsa lain, termasuk oleh orang Arab, sehingga ilmu tersebut menjadi berkembang di kalangan bangsa Arab.
Dalam bidang kesenian yang popular dan paling disenangi oleh masyarakat arab sebelum Islam datang adalah seni sastra. Bangsa Arab dikenal dengan bangsa pengelana dan penyair. Syair-syair mereka berisi tentang cinta, wanita, khamr, kemegahan suku dan sebagainya.
Kesusastraan Arab di jaman Jahiliyah mempunyai ciri ke-araban secara mutlak, jauh dari segala pengaruh kebudayaan dan pemikiran asing serta isinya sangat sederhana, Dengan demikian syair yang dihasilkan pada zaman itu lebih indah daripada syair sesudahnya.[35] Namun, karaktristik dari sya’ir pada zaman Jahiliyah lebih bersifat golongan atau kabilah, tidak mencerminkan kebersamaan.[36]
Adapun contoh dari sya’ir jaman Jahiliyah, sebagaimana dikemukakan oleh Yunus Ali Al-Muhdhar ( 1983: 29) adalah sebagai berikut:
“Pernah diriwayatkan bahwa  dalam suatu ketika ada seorang Arab sedang dirundung malang di malam hari. Untuk mengisahkan betapa malangnya pada malam hari itu dia tidak langsung saja mengisahkannya dalam bentuk prosa atau dengan kata-kata, sebaliknya dia mengatakannya dalam suatu gubahan syair yang indah sekali seperti di bawah ini:

وليل كموج البحر ارخى سدوله
                                                                                            علي بانواع الهموم ليبتلى
فقلت له لما تمطى بصلبه
                                                                                            واردف اعجازا وناء بكلكل
الا ايها الليل الطويل الا انجلى
                                                                                           بصبح وماالاصباح منك بامثال

“Di kala malam yang segelap lautan, tengah meliputiku dengan berbagai macam keresahan untuk mencobaku.
Di waktu malam tengah memanjangkan waktunya, maka aku katakana padanya.
Wahai malam yang panjang! Gerangan apakah yang menghalangimu untuk bergantian dengan pagi hari? Ya, Walaupun pagi hari tidak lebih baik daripada kau.”
Sebenarnya penyair itu akan mengatakan, betapa malang nasibnya, yang mana keresahan itu makin menjadi bila malam hari”.

Contoh lain dari syair pada Zaman Jahiliyyah adalah sebagai berikut:
“Ada seorang pemuda Arab yang termasyhur dalam keberaniannya dan ketangkasannya dalam medan perang. Pemuda itu bernama Antarah Al-Abshi. Untuk menggambarkan keberaniannya dia menyebutkan dirinya sebagai maut yang selalu hadir di setiap medan peperangan dan ketangkasannya diumpamakan sebagai sesuatu yang dapat mendahului ajal.
وانا المنية فى المواطن كلها                                                                               
                                                                                                  والطعن مني سابق الاجال

“Aku adalah maut yang hadir di setiap medan juang dan setiap tusukan dariku akan mendahului ajal”.

Contoh-contoh di atas tadi dapat dijadikan bukti bahwa karya syair zaman Jahiliyah walaupun sangat sederhana namun nilai sastranya lebih indah dan lebih halus.
Dalam bidang bahasa dan seni bahasa, kebudayaan Arab sebelum Islam datang sangat maju, seperti Khithabah (retorika), disamping pandai menyair, bangsa Arab Jahiliyah pun sangat fashih berpidato dengan bahasa yang sangat indah dan bersemangat. Ahli pidato mendapat derajat tinggi dalam masyarakat, sama halnya penyair.[37]
Selain Khithabah,kebiasaan masyarakat Arab juga adalah Majlis Al-Adab dan Sauqu Ukaz, yaitu mengadakan Majlis atau Nadwah (klub), di tempat ini mereka mendeklamasikan sajak, bertanding pidato, tukar menukar berita dan sebagainya. Terkenalah dalam kalangan mereka “Nadi Quraisy” dan “Darun Nadwah” yang berdiri di samping Ka’bah.[38]

H.   Moral Bangsa Arab Pra Islam
Masyarakat Jahiliyah tidak mencerminkan suatu tatanan yang nista, pelacuran dan hina, namun dibalik itu terdapat suatu akhlak mulia dan terpuji yang amat menawan siapa saja dan membuatnya terkesima dan takjub. Diantara akhlak tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury dalam Kitab Ar-Rahiqul Makhtum, adalah: 
(1) Kemurahan Hati, kemurahan hati Bangsa Arab Jahiliyyah terlihat dari Bait-bait Sya’irnya yang menceritakan kemurahan hati dengan memberikan pujian terhadap diri sendiri dan orang lain[39], selain dari Sya’ir, terlihat pula dari pergaulan mereka yaitu ketika seseorang di antara mereka kedatangan tamu pada musim dingin, sedangkan dia dalam keadaan lapar dan tidak memiliki harta selain onta betina yang merupakan satu-satunya sumber hidup keluarganya, tetapi dengan kemurahan hatinya, dia tidak ragu-ragu untuk mempersembahkan suguhan untuk tamunya dengan menyembelih onta tersebut. Selanjutnya, pengaruh sifat murah hati mereka tercermin dari rela menanggung denda demi upaya mencegah pertumpahan darah dan peperangan. Pengaruh lainnya dari sifat kemurahan hati adalah menyibukan diri dalam bermain judi sebagai sarana menuju sifat tersebut, karena dari keuntungan yang diraih dalam judi, mereka persembahkan buat member makan Fakir Miskin atau bisa juga diambil dari sisa keuntungan yang diraih dari masing-masing pemenang[40]; (2) Menepati janji, Janji dalam tradisi Bangsa Arab Jahiliyyah seperti halnya memegang teguh terhadap Agama, artinya mereka rela membunuh anak dan menghancurkan tempat tinggalnya demi memegang sebuah janji; (3) Kebaggaan pada diri sendiri, sifat pantang menerima pelecehan dan kedzaliman, implikasi dari sifat ini, tumbuhnya pada diri mereka keberanian yang sangat hebat dan cepat mengeluarkan emosi. Mereka merupakan orang yang tidak mau mendengar ucapan yang berbau penghinaan dan pelecehan. Dan apabila itu terjadi, maka mereka tak segan-segan menghunus pedang dan mengacungkan tombak serta mengobarkan peperangan yang panjang, merekapun tidak peduli bila nyawa mereka menjadi taruhannya demi mempertahankan sifat ini; (4) Tekad yang pantang surut, jika mereka sudah bertekad melakukan sesuatu kemulyaan dan kebanggaan, maka tak ada satupun yang dapat menyurutkan tekadnya tersebut, bahkan mereka akan rela menerjang bahaya; (5) Lemah lembut, tenang dan waspada, Arab Jahiliyyah menyajung sifat-sifat ini, akan tetapi keberadaannya seakan terhalangi oleh amat berlebihannya sifat pemberani dan ketergesaan mereka dalam mengambil sikap untuk berperang; (6) Gaya hidup lugu dan polos ala Badui yang belum terkontaminasi oleh berbagai peradaban, implikasi dari gaya hidup semacam ini, timbulnya sifat jujur, amanah serta anti menipu”[41].































I. Kesimpulan
Dari bahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Arab Pra Islam lebih dikenal dengan Arab Jahiliyah, namun kata Jahiliyah tidak pernah digunakan dalam syair atau percakapan mereka. Kata ini baru digunakan pertama kali dalam al-Quran untuk menggambarkan keadaan orang Arab sebelum Islam. “ jahiliyah bukanlah Jahl yang berarti tiada ilmu, namun jahl dalam pengertian safah, ghadhab, anfah (sedai, berang, tolol). Jadi lebih tepatnya, jahiliyah yang dimaksud adalah jahiliyah (bodoh) dalam hal menerima kebenaran ajaran agama yang lurus dan benar.[42]
2. Perkembangan IPTEK  dan seni sudah berkembang pada zaman Arab Jahiliyah walaupun sangat sederhana, ini membuktikan bahwa arab jahiliyah bukan bodo maslah ilmu.
3. Agama dan kepercayaan yang dianut bangsa Arab ketika itu, sebenarnya sudah mengikuti agama sebelumnya yang dianut oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, namun dengan perkembangannya, tercampurlah dengan berbagai tahayyul dan khurafat, sehingga mereka meninggalkan agama sebelumnya.
4. Keberadaan Arab jahiliyah tidak identik dengan kenistaan dan tingkah laku yang jelek, namun terdapat akhlak yang terpuji, diantaranya adalah sikap murah hati, menepati janji, lemah lembut, tenang dan waspada.







DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX), Jakarta: Akbar Media, cet. Ke-7, 2009.
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Mesir, cet. Ke-8 1933.
Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah danMadinah) 1800-1925, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000.
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah: Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Jakarta: Raja Grapindo Persada,1994.
Jaih Mubaraok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, cet. Ke-1, 2004.
Muhammad Husen Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, cet. Ke-3,1979.
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, cet ke-1, 2006.
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, cet. Ke-1,2009.
Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ar-Rahiqul Makhtum, Bairut: Daar al-Fikr, cet ke-1, 2003. 
Yunus Ali Al-Muhdar, Sejarah Kesusastraan Arab, Surabaya: PT. Bina Ilmu, cet. Ke-1,1983


[1] Jaih Mubaraok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Bani Quraisy. 2004), cet. Ke-1, hlm 23.
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1, hlm. 59
[3] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 12
[4] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 3.
[5] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 3.
[6] Muhammad Husen Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya. 1979), cet. Ke-3, hlm. 7.
[7] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 78.
[8] Yunus Ali Al-Muhdar, Sejarah Kesusastraan Arab (Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1983), cet. Ke-1, hlm. 14.
[9] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 16.
[10] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX) (Jakarta : Akbar Media. 2009), cet. Ke-7, hlm. 58
[11] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX) (Jakarta : Akbar Media. 2009), cet. Ke-7, hlm. 62.
[12] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 54
[13] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 54
[14] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 54
[15] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 28
[18] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1, hlm. 58
[19] Ibid, hlm. 56                                                                                                                                           
[20] Muhammad Husen Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya. 1979), cet. Ke-3, hlm. 35
[21] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah: Ditinjau dari Pandangan Al-Quran (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1994), hlm. 33.
[22] J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah: Ditinjau dari Pandangan Al-Quran (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 1994), hlm. 33.

[23] Jaih Mubarak, Jaih Mubaraok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Bani Quraisy. 2004), cet. Ke-1,hlm.25
[25] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h.15
[26] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h.3-4
[27] Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925 (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 1
[30] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h.4
[31] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1, hlm 59.
[32] Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2006), cet ke-1 , hlm 22
[33] Ahmad Al-‘Usairy, Sejarah Islam (Sejarah Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX) (Jakarta : Akbar Media. 2009), cet. Ke-7, hlm. 72.
[34] Syekh Shafiyy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Raiqu al-Makhtum (Bairut: Daar al-Fikr, 2003), cet ke-1.
.
[35] Yunus Ali Al-Muhdar, Sejarah Kesusastraan Arab (Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1983), cet. Ke-1, hlm. 27.
[36] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam (Mesir: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah. 1933), cet. Ke-8, hlm. 17.
[37] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1, hlm 61
[38] Ibid.
[39] Contoh Sya’ir yang bertemakan Al-Madih wa al-Fakhr (puji-pujian dan kebanggaan diri) karangan Antarah bin Syaddad al-Absy dalam Mu’alaqnya, sebagai berikut:

ولقد شربت من المدامة بعدما ·   ركد الهواجر بالمشوف المعلم
بزجاجة صفراء ذات أسرة      · فرنت بازهار باالشمال مفدم
فاذا شربت فاننى مستهلك        · مالى وعرضى وافر لم يكلم
واذا ضحوت فمااقصر عن ندى · وكما علمت شمائلى وتكرمى

“Sungguh aku telah menenggak arak di tempat mulia sesudah wanita-wanita penghibur ditelantarkan dengan cangkir dari kaca kuning di atas nampan nan terangkai bunga dalam genggaman tangan dingin saat aku menenggak, sungguh aku habiskan seluruh hartaku, namun begitu kehormatanku masih sadarkan kala aku tersadarkan, tak kan lengah menyongsong panggilan, sebagaimana hal itu melekat pada sifat kemurahan hatiku”.

[40]  Al-Quran sendiri tidak mengingkari manfaat dari Khamr dan Judi (Maisyir), akan tetapi menyatakan:
 7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". ….
                     

[41] Syekh Shafiyy al-Rahman al-Mubarakfury, al-Raiqu al-Makhtum (Bairut: Daar al-Fikr, 2003), cet ke-1, hlm. 29-30.
[42] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Amzah. 2009), cet. Ke-1, hlm 62.

1 komentar: