Selasa, 08 November 2011

Filsafat Pendidikan Islam

A.   Pendahuluan

Salah satu unsur pembangun peradaban bangsa adalah melalui pendidikan. Sedangkan hasil akhir sebuah pendidikan tergantung pada tujuan awal pendidikan itu sendiri. Islam dan Barat memiliki pandangan berbeda mengenai hal tersebut. Paham rasionalisme yang berkembang di Barat dijadikan dasar pijakan bagi konsep-konsep pendidikan Barat. Ini jauh berbeda dengan Islam yang memiliki al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama sebagai konsep pendidikannya. Hal inilah yang membedakan ciri pendidikan yang ada di Barat dengan pendidikan Islam. Masing-masing peradaban ini memiliki karakter yang berbeda sehingga produk yang ‘dihasilkan’ pun saling memiliki ciri.
Pendidikan sebagai proses menolong manusia menjadi manusia pada konteks kekinian menjadi hal yang urgen. Mengingat pertumbuhan jumlah manusia yang semakin banyak dan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Termasuk kebutuhan manusia akan pendidikan. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal  yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[1]




B.   Pembahasan

1.      Perbedaan mendasar filsafat pendidikan dengan ilmu pendidikan islam

Filsafat pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia atau menolong manusia menjadi manusia. Manusia dalam arti memiliki sifat manusia yang sesuai dengan fitrah. Maksud dari menolong adalah, pendidik mengetahui bahwa pada manusia ada potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Tetapi ada juga potensi untuk menjadi bukan manusia. Sehingga kata “menolong” bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar menolong. Sehingga, pendidik jauh sebelum berbuat telah mengetahui bahwa muridnya itu nanti ada yang berhasil menjadi manusia ada pula yang tidak.
Filsafat pendidikan juga bisa diartikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat tersebut sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan. Artinya, bahwa filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk mencapainya, maka filsafat pendidikan dan pengalaman kemanusian merupakan faktor yang integral atau satu kesatuan. Sementara itu, filsafat juga didefinisikan sebagai pelaksana pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan, falsafah tersebut menggambarkan satu aspek dari aspek-aspek pelaksana falsafah umum dan menitik beratkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasar dari filsafat umum dalam upaya memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara praktis.
Filsafat pendidikan membahas tentang ide-ide, asas-asas, landasan-landasan pendidikan yang logis dan ideal untuk memanusiakan manusia agar dapat menjadi khalifah dimuka bumi dengan sempurna. Tetapi akal bukan satu-satunya alat untuk mencari kebenaran, buktinya dari masa dulu sampai saat ini banyak orang mencari kebenaran dengan akal, pada satu waktu akal membenarkan sesuatu, pada waktu yang lain dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, akal akan menyebutkan hal tersebut tidak benar, begitu seterusnya, sehingga kebenaran akan bersifat relatif. Disamping itu ada kebenaran yang hakiki yaitu kebenaran mutlak yang datang dari Dzat yang memiliki kebenaran itu yaitu sang Pencipta kebenaran melalui wahyu.[2]
Sedangkan perbedaannya dengan ilmu pendidikan adalah, Ilmu pendidikan memiliki paradigma rasional, empiris dan sistematis. Rasional artinya semua kebijakan yang menyangkut pendidikan baik hakikat, tujuan, teori, metode, maupun strategi pendidikan harus melalui cara-cara yang masuk akal. Empiris artinya semua komponen dan elemen yang berhubungan dengan pendidikan harus dapat diamati oleh panca indra, sehingga orang lain dapat mengamati, menilai dan mengkritisi apa yang digunakan dalam pendidikan.
Filsafat merupakan salah satu cara pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam penyusunan hakikat, tujuan, teori-teori, metode-metode, dan memecahkan problematika pendidikan. Berarti ilmu pendidikan merupakan turunan dari pandangan hidup pendidikan itu sendiri, yaitu membahas tentang praktek lapangan melalui penyusunan teori, metode, strategi pendidikan dan lain sebagainya. 
Alhasil filsafat membahas tentang hakikat, tujuan, teori, metode, kebijakan, dan hal-hal yang terkait dengan pendidikan secara idealnya. Sedangkan ilmu pendidikan meneruskan ide-ide tersebut yang diaplikasikan dengan penyususnan tujuan, teori, metode dan lain sebagainya yang sudah berupa terapan yaitu sudah berupa juklak dan juknis mengenai pendidikan.

2.      Fungsi filsafat pendidikan bagi ilmu pendidikan.

Fungsi filsafat pendidikan bagi ilmu pendidikan adalah, pendidikan Islam bertugas untuk memberikan penganalisaan secara mendalam dan terinci tentang problema-problema kependidikan Islam sampai kepada penyelesaiannya. Pendidikan Islam sebagai ilmu, tidak melandasi tugasnya pada teori-teori saja, akan tetapi memperhatikan juga fakta-fakta empiris atau praktis yang berlangsung dalam masyarakat sebagai bahan analisa. Oleh sebab itu, masalah pendidikan akan dapat diselasaikan bilamana didasarkan keterkaitan hubungan antara teori dan praktek, karena pendidikan akan mampu berkembang bilamana benar-benar terlibat dalam dinamika kehidupan masyarakat. Antara pendidikan dan masyarakat selalu terjadi interaksi (saling mempengaruhi) atau saling mengembangkan sehingga satu sama lain dapat mendorong perkembangan untuk memperkokoh posisi dan fungsi serta idealisasi kehidupannya. Ia memerlukan landasan ideal dan rasional yang memberikan pandangan mendasar, menyeluruh dan sistematis tentang hakikat yang ada dibalik masalah pendidikan yang dihadapi. Dengan demikian filsafat pendidikan menyumbangkan analisanya kepada ilmu pendidikan Islam tentang hakikat masalah yang nyata dan rasional yang mengandung nilai-nilai dasar yang dijadikan landasan atau petunjuk dalam proses kependidikan.
Tugas filsafat adalah melaksanakan pemikiran rasional analisis dan teoritis (bahkan spekulatif) secara mendalam dan mendasar melalui proses pemikiran yang sistematis, logis, dan radikal (sampai keakar-akarnya), tentang problema hidup dan kehidupan manusia. Selain itu, fungsi filsafat pendidikan bagi ilmu pendidikan di antaranya adalah sebagai pandangan, paradigma dan asas-asas dalam memberi kebijakan pendidikan seperti pandangan filsafat idealisme akan melahirkan teori-teori pendidikan beraliran idealisme, begitu pula aliran realisme, materialisme dan lain sebagainya. Fungsi lain dari filsafat adalah memberi arah teori pendidikan agar mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata, yaitu dapat memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan hidup masyarakat itu sendiri. Filsafat dapat memberikan fungsi untuk memberikan petunjuk dan arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan (paedagogik).[3]

3.      Perbedaan mendasar filsafat pendidikan islam dengan filsafat barat

Yang menjadi perbedaan mendasar dari filsafat pendidikan islam dan filsafat barat adalah terletak pada paradigma. Filsafat barat memiliki paradigma rasional, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kebenaran pendidikan harus logis, seperti yang dikemukakan tokoh besar filsafat barat Immanuel Kant, mengatakan bahwa filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup 4 persoalan, yaitu;
a.    apakah yang dapat diketahui? Maka akan dijawab oleh metafisika.
b.    apakah yang boleh kita kerjakan? Dijawab oleh etika.
c.    sampai dimanakah harapan kita? Dijawab oleh agama.
d.    apakah yang dinamakan manusia? Dijawab oleh antripologi.

Sedangkan filsafat pendidikan islam selain logis juga tidak bertentangan dengan ajaran islam. Apabila dianalisa tidak semua yang logis itu sesuai dengan ajaran keimanan yang didoktrin oleh Dzat Yang Maha Pemilik ilmu. Artinya filsafat barat perpedoman pada akal sedangkan filsafat pendidikan islam berpegang pada akal yang dipandu oleh wahyu. Oleh sebab itu dalam filsafat pendidikan islam bercirikan penggunaan wahyu (al-Quran) sebagai sumber dan pembimbing berfilsafat, sebagai contoh dalam al-Quran bertebaran ayat-ayat yang mendorong manusia untuk menggunakan ra’yu (akal), bertafakur, bertafaqquh, pengadakan penyelidikan (tabayun), penelitian, dan sebagainya.[4]

4.      Tujuan pendidikan islami dan sekuler
Sebelum membahas tujuan, ada baiknya bila kita fahami apa tujuan. Tujuan adalah sesuatu hal ideal yang menjadi idaman untuk diwujudkan, dalam tujuan pendidikan suasana ideal tersebut akan tergambar dari tujuan akhir yang biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, matang, integritas dan sempurna.
Di antara tujuan pendidikan islami adalah membantu dan menolong manusia untuk menjadi manusia yang baik dan kaffah, insan kamil dengan pola taqwa (utuh rohani dan jasmani, hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa).  Sedangkan baiknya seseorang akan ditentukan oleh filosofinya (pandangan hidup), artinya apabila filosofinya agama, maka akan membantu manusia menjadi seseorang yang baik menurut agama.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
a.         Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
b.         Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
c.         Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
a.         Pembinaan akhlak.
b.         menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
c.         Penguasaan ilmu.
d.         Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperinci menjadi :
a.         Tujuan keagamaan.
b.         Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
c.         Tujuan pengajaran kebudayaan.
d.         Tujuan pembicaraan kepribadian.
Menurut Munir Mursi, tujuan pendidikan islam menjadi :
a.         Bahagia di dunia dan akhirat.
b.         menghambakan diri kepada Allah.
c.         Memperkuat ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat islam.
d.         Akhlak mulia.[5]

Berbeda dengan pendidikan islam, pendidikan barat atau sekuler memilki tujuan yang terbagi menjadi tiga yaitu;
a.    Tujuan individu yang berkaitan dengan individu-individu yaitu perubahan tingkah laku, aktivitas, proporsi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat, mempersiapkan adaptasi dengan lingkungan agar dapat diakui status sosialnya oleh masyarakat.
b.    Tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
c.    Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.[6]
Sedangkan menurut UNESCO pendidikan bertujuan: mendidik agar siswa tahu (learning to know), tahu cara melakukan ilmu tersebut (learning to do), menjalankan kehidupan sesuai dengan ilmu pengetahuannya tersebut (learning to be), dan learning to live together.[7]
5.      Kesesuaian antara tujuan pendidikan nasional tujuan pendidikan islami
Tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.[8]
Dengan demikian, bisa difahami bahwa setiap negara memiliki pandangan hidup (filosofis/falsafah negara), falsafah tersebutlah yang menjadi dasar tujuan pendidikan nasional setiap negara, dengan demikian bisa dartikan bahwa tujuan pendidikan Indonesia adalah mencetak manusia pancasilais. Berarti mencetak lulusan berkeTuhanan Yang Maha Esa.
Sebagaimana yang telah dibahas diatas tentang tujuan pendidikan islam yaitu membantu dan menolong manusia untuk menjadi manusia yang baik dan kaffah, insan kamil dengan pola taqwa (utuh rohani dan jasmani, hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa).  Sedangkan baiknya seseorang akan ditentukan oleh filosofinya (pandangan hidup), artinya apabila filosofinya agama, maka akan membantu manusia menjadi seseorang yang baik menurut agama. Sehingga tujuan pendidikan menurut islam memang tidak ada yang diperintah kecuali berbakti kepada Tuhan Yang Esa (bertauhid), berkemanusiaan yang beradab, bersatu, berprikemanusiaan, adil, dan lain sebagainya. Sehingga ada kesesuaian antara pendidikan islam dan nasional. Hanya perlu diperbaiki pada tataran praktisnya saja.
6.      Ciri khas kurikulum islami.
Kurikulum adalah niat dan harapan yang dituangkan dalam bentuk rencana atau program pendidikan untuk dilaksanakan oleh guru di sekolah. Isi kurikulum adalah pengetahuan ilmiah, termasuk kegiatan dan pengalaman belajar, yang disusun sesuai taraf perkembangan siswa. Disini ada dua subjek dominan yaitu subjek yang dibina dan subjek yang membina.[9]
Menurut Prof. Dr. A. Tafsir (2006: 99), “Program dalam mencapai tujuan pendidikan”. Dalam definisi di atas ada beberapa kata kunci, yaitu: niat, harapan, dan tujuan, dituangkan dalam rencana atau program, untuk dilaksanakan oleh guru. Berarti kurikulum itu sangat erat dengan niat, harapan atau tujuan yang hendak dicapai setelah selesai pendidikan dalam suatu jenjang. Tujuan tersebut tidak akan dapat tercapai dengan maksimal apabila tidak dituangkan dalam rencana atau program kerja pendidikan.
Begitu pula harapan dan tujuan seideal apapun yang berbentuk kurikulum ideal tidak akan tercapai apabila para guru tidak melaksanakan program tersebut. Pertanyaannya, apa tujuan pendidikan dalam islam? Tujuan pendidikan dalam islam adalah membentuk manusia yang baik, sehingga dapat merumuskan indikator sebagai berikut: akhlaknya baik yang berdasarkan iman yang kuat, memiliki pengetahuan yang benar, keterampilan kerja yang kompetitif, menghargai keindahan.[10] Al-hasil ciri khas kurikulum islami adalah mengintegrasikan akhlak, ilmu/keterampilan dan seni secara seimbang dengan bingkai tidak bertentangan pada al-Quran dan al-Hadits.

7.      Karakteristik pendidik dan peserta didik dalam kajian filsafat pendidikan islam.
Sa’id Hawwa (terjemah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, lc. 2000:15-32), mengatakan karakteristik yang harus dimiliki siswa adalah:
a.        Mendahulukan kesucian jiwa,  karena ilmu adalah cahaya dan akan memasuki hati yang suci, sehingga sebagai siswa yang menginginkan ilmu yang bermanfaat harus mendahulukan hati.
b.        Mengurangi keterikatan dengan dunia, karena hati ini hanya bisa fokus berfikir satu, maka jika ikatan-ikatan dunia merasuk hati dan pikiran maka fokus dalam belajar akan hilang, jika sudah begitu sulit mendapatkan ilmu secara maksimal, sesuai firman Allah SWT dalam QS al-Ahzab: 4 artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya.
c.         Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan guru, karena sikap tersebut akan menjauhkan kemanfaatan ilmu. Seperti kisah Ibnu Abbas yang menghormati seorang ulama yaitu Zaid ibn Tsabit dengan menuntun kendali bighal dan Zaid berkata wahai anak paman Rasulullah SAW jangan berbuat begitu, Ibnu Abbas menjawab, beginilah kami diperintahkan Rasulullah SAW memperlakukan seorang ulama, kemudian Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata, begiilah kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW memperlakukan kerabat Rasulullah SAW.
d.        Bagi siswa pemula hindari menekuni ilmu yang bertentangan (khilafiyah) di antara manusia karena akan membingungkan akal siswa itu sendiri.
e.        Harus mempelajari seluruh cabang ilmu yang bermanfaat, tidak boleh palah-pilih cabang ilmu tertentu, karena akan mengakibatkan pemikiran yang parsial dan tidak utuh.
f.          Tidak menekuni seluruh cabang ilmu, karena ilmu itu ada hirarkinya disesuaikan dengan keilmuan dan tingkat kedewasaannya, seperti ilmu ma’rifatullah tidak akan bisa disampaikan secara mendetail kepada orang yang baru belajar atau masih kecil.
g.        Tidak memasuki ilmu selanjutnya, sebelum ilmu sebelumnya dikuasai, karena suatu ilmu bersifat urut, apabila satu cabang ilmu satu belum terkuasai akan mengakitkan ilmu yang lain kurang terkuasai juga. Kedelapan, hendaknya mengetahui faktor-faktor penyebab mendapat ilmu yang bermanfaat.
h.        Hendaknya seorang siswa memiliki tujuan dunia yaitu mempercantik akhlak dan amalnya, dan memiliki tujuan akhirat yaitu mendapat ridha Allah SWT, dan jangan bertujuan mendapatkan kekuasaan, harta, mengelabui orang-orang tidak tahu, dan berdepat dengan orang yang berilmu lainnya.
i.          Hendaknya mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan, karena tujuan adalah suatu harapan yang ingin dicapai dan direalisasikan.

Selain siswa, guru pun harus memiliki standar karakteristik yang sesuai dengan tujuan diselenggarakannya pendidikan terutama pendidikan yang islami. Adapun karakteristik yang harus dimiliki guru, di antaranya:
a.        Kasih sayang terhadap siswa, sesuai sabda Rasulullah SAW: ”sesungguhnya aku bagi kalian adalah bagaikan bapak kepada anaknya”. Kasih sayang seorang bapak kepada anaknya bukan tidak pernah marah, karena marah seorang bapak bukan karena marah tetapi peringatan dan pendidikan agar anak menjadi lebih baik.
b.        Ikhlas karena Allah. Artinya tidak bertujuan mencari upah, sesuai firman Allah SWT dalam QS Hud: 29, artinya: “Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak Mengetahui".
c.         Selalu menasehati siswa jangan tergesa-gesa ingin mempelajari ilmu lain sebelum ilmu yang dihadapi dikuasai, juga mengingatkan siswa bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk taqarub kepada Allah SWT, bukan untuk meraih kekuasaan, harta dan lain sebagainya.
d.        Membina akhlak dengan kasih sayang bukan dengan celaan.
e.        Seorang guru yang profesional tidak boleh mencela cabang ilmu yang lain, seperti apabila dia seorang profesional guru fiqih, tidak boleh mencela pada ilmu tarikh.
f.          Mengajarkan suatu ilmu disesuaikan dengan kemampuan pemahaman siswa, sesuai dengan HR Muslim, artinya: “Janganlah seseorang berbicara kepada suatu kelompok dengan suatu pembicaraan yang tidak mampu dijangkau oleh akal mereka melainkan akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka.” Karena apabila guru mengajarkan sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh pemahaman siswa, tujuan pembelajaran tidak akan tercapai.
g.        Memberi perlakuan khusus bagi siswa yang kurang dalam kemampuannya, dan berikan pengetahuan yang jelas serta yang cocok dengan siswa tersebut.
h.        Mampu memberikan contoh yang baik (uswah hasanah), karena apabila guru tidak sesuai antara yang diajarkan dengan perilakunya akan mengurangi kewibawaan dan reputasi guru tersebut hilang.[11]

8.      Kelebihan dan kekurangan pesantren secara filosofis
Pesantren atau lebih dikenal dengan pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia, setelah rumah tangga. Sebagai lembaga pendidikan pesantren telah banyak memberikan konstribusi yang besar terhadap berbagai lini kehidupan. Namun terlepas dari itu sebagaimana lembaga pendidikan lain yang diatur oleh manusia pesantrenpun memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan dan di antara kelebihan pesantren adalah:
a.    Mengajarkan kebijaksanaan sesuai ajaran islam, anak dibantu agar mampu memahami makna hidup, keberadaan, peranan, serta tanggung jawabnya dalam kehidupan.
b.    Menerapkan sistem kebebasan yang terpimpin. Kebebasan harus terpimpin, karena santri masih mentah pengalaman sehingga masih perlu bimbingan dalam menentukan sikap dan sifat agar tidak terjerumus.
c.    Mampu mengurus diri sendiri. Di pesantren siswa dituntut untuk bisa mengatasi semua keperluan diri dengan sendiri, sehingga akan tertanam tanggung jawab, kebebasan dan kemandirian dalam diri para siswa.
d.    Rasa kebersamaan yang tinggi. Para santri hidup bersama, makan bersama, tidak makan pun bersama-sama. Sehingga akan muncul sifat saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
e.    Ta’dhim (penghormatan) terhadap orang tua atau yang dituakan (senior) dan guru, seperti sungkem (mencium tangan sebagai bentuk penghormatan), tidak membantahnya dan selalu berusaha ta’at terlebih bila itu perintah dari kyainya. Penomena ini sudah jarang ditemukan di lembaga pendidikan di luar pesantren.
f.     Cinta kepada ilmu, siswa di pesantren menganggap mencari ilmu adalah suatu pekerjaan yang suci dan luhur, sehingga tercermin dari menghormati orang yang brilmu, dan sikap dalam mencari ilmu di dalam kelas dengan tidak arogan terhadap guru, salah satu karakter siswa pesantren, mereka sudah akan bersiap menerima pelajaran sebelum kiayinya datang, hal ini agak sulit ditemukan diluar pesantren.
g.    Mandiri, seperti penjelasan di atas di pesantren dituntut untuk mandiri mengurus dirinya, mulai dari memikirkan makan, mandi, berlajar tidaknya, mengurus keuangan, memenej waktu, menentukan pakaian dan lain sebagainya, metode sorogan juga memberikan pendidikan kemandirian.
h.    Kesederhanaan, para siswa memandang dunia dengan sikap yang professional dan tidak berlebihan, hal ini dapat tercermin dari perilaku sehari-hari mulai dari berpakaian, makan, dan tidur mereka.
i.      Kemampuan pesantren dalam mengontrol perubahan nilai dan mampu merekayasa budaya, seperti para santri berusaha menjaga kehormatan pesantren dan kiayinya.[12]

Sebagai lembaga pendidikan yang diatur oleh manusia tentu tidak akan sempurna akan ada beberapa kelemahan yang justru bisa dijadikan bahan perbaikan dan evaluasi bagi perkembangan pendidikan islam dan diantara kelemahan dari pesantren menurut hemat penulis adalah:
a.    Pada umumnya mempelajari hanya hal ukhrawi, tanpa diimbangi dengan pembekalan lifeskill sehingga lulusan pesantren akan dihadapkan dengan kebingungan ketika mencari sumber kehidupan.
b.    Seorang santri akan lebih mempercayai kiayinya dari pada ulama atau ilmuan lain, sehingga kebenaran akan subjektif, karena menurut dia kyainyalah yang paling benar.
c.    Metode yang digunakan pada umumnya di pesantren salafi masih klasik, sehingga santri akan membutuhkan waktu yang lama dalam memahami pelajaran.

Selain beberapa hal di atas juga ada beberapa permasalahan pertentangan pada setiap ilmuwan yang spesial, seperti ulama fikih menganggap bahwa orang filsafat sering meninggalkan ajaran ritual, dan orang tashawuf banyak melakukan bid’ah, menurut ahli filsafat ulama fiqih terlalu dangkal dalam pemikirannya, dan orang tashawuf mengatakan bahwa ahli fiqih hanya mementingkan kulit luar, bukan isi yang esensi, sehingga tidak akan merasakan lezatnya agama, perang sengit tersebut telah berlangsung lama dalam sejarah, sehinga apabila masing-masing mampu objektif, bahwa ilmu ada hirarkinya yaitu dia tidak akan mencapai derajat tashawuf atau filosof apabila tidak diawali dengan pengetahuan fiqih, dan apabila ulama fiqih merasa cukup dengan memperdalam hal yang dhahir maka esensi core agama akan sulit didapat, sehingg sebetulnya antara ilmu fiqih, tashawuf dan filsafat saling memerlukan dan saling mendukung, sehigga jangan menjadi perdebatan mana yang lebih utama, semua utama sesuai dengan kemampuan siswa yang akan mempelajarinya.


C.   Penutup
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (inteletual), diri manusia yang rasional; perasaan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya menacakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spritual, intelektual, ianajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaiakn dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yangsempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Wallahu a’lam.





                                         Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir., Filsafat Pendidikan Islami, PT. Remaja Rosdakarya., Bandung , 2005
Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam., PT. Remaja Rosdakarya., Bandung, 2005
Nur Uhbiyati., Ilmu Pendidikan Islam., CV. Pustaka Setia., Bandung, 1998
Sa’id Hawa., mensucikan jiwa., Aunur Rafiq Shaleh, Lc. Terj. Pustaka Dini., Shah Alam. 2000.
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.




[2] Prof. A. Tafsir (2006), Filsafat Pendidikan Islam, hal. 1-48
[3] Dra. Zuhairini, (1992). Filsafat Pendidikan Islam. Hal 16-18
[4] Ibid. Hal 107-109
[5] http://hidayatulhaq.wordpress.com/2008/06/14/tujuan-pendidikan-islam/
[6] Ibid hal 162
[7] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, (2006), Filsafat Pendidikan Islam, hal 91
[8] Dra. Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, hal 39
[9] Nana Sudjana. (1988). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Hal 4-5
[10] Prof. Dr. A. Tafsir (2006). Filsafat Pendidikan Islam. Hal 101
[11] Sa’id Hawwa. (2000). Mensucikan Jiwa. Hal 15-32
[12] Prof. Dr. A. Tafsir. (2005). Ilmu Pendidikan Islam. Hal 193-202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar