Jumat, 11 November 2011

IMPLEMENTASI TERM AL-NAFS DALAM PENDIDIKAN



Oleh : Ade Hidayat

1.   Pendahuluan
Kata Al-Nafs merupakan suatu kata yang banyak disebutkan Allah dalam al-Quran, seperti Allah berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Fushilat ayat 53 

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.”
Juga Firman Allah dalam Surat al-Dzuriyat ayat 21:
  
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?”
Seruan Allah ini mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya menganalisis diri pribadi (anfus) manusia,
karena berkaitan tentang konsep manusia itu sendiri. Di dalam ayat tersebut terdapat kata anfus jama’ dari kata nafs. Konsep tentang nafs dalam al-Qur’an banyak variasi maknanya. Hal itu disebabkan karena berasal dari bervariasinya makna katakata nafs itu sendiri dalam sumbernya, yaitu berbagai ayat dalam al-Qur’an. Quraish Shihab berpendapat, bahwa kata nafs dalam al-Qur’an mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia (QS:5;32), tetapi di tempat lain nafs menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS:13;11). Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks pembicaraan manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.[1]
Berdasarkan hal inilah, maka perlu dibahas suatu konsep tentang hakekat manusia yang tertera dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berbunyi nafs, Pembahasan tentang nafs sangat menarik untuk dikaji, karena di dalam al-Qur’an cukup banyak menyebutnya. Hal ini menandakan bahwa pribadi manusia atau nafs itu sangat penting untuk dibahas dan dianalisis. Terutama dikaitkan dalam hal pendidikan dan kegiatan pendidikan.

2.   Pengertian Al-Nafs
Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).[2] Sedangkan dalam kamus al-Munawir disebutukan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-sahsh (orang), al-sahsh alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri).[3] Dalam kitab Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian yakni nafs dalam pengertian nyawa, dan nafs yang mengandung makna keseluruhan dari sesuatu dan hakikatnya menunjuk kepada diri pribadi. Setiap manusia memiliki dua nafs, nafs akal dan nafs ruh. Hilangnya nafs akal menyebabkan manusia tidak dapat berpikir namun ia tetap hidup, ini terlihat ketika manusia dalam keadaan tidur. Sedangkan hilangnya nafs ruh, menyebabkan hilangnya kehidupan.[4]
Menurut Istilah, Nafs mempunyai dua makna, makna pertama adalah kekuatan hawa nafsu amarah, syahwat dan perut yang terdapat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya akhlak tercela. Adapun dalam makna ke dua, nafs adalah jiwa rohani yang bersifat lathif, rohani dan rabbani.Nafs dalam pengertian ke dua inilah yang merupakan hakikat manusia yang membedakan dari hewan dan mahluk lainnya.[5] Sedangkam menurut Sukanto, Nafs adalah makhluk ciptaan Allah yang termasuk makhluk hidup, dan karenanya nafs juga dapat dimatikan.[6] Selanjutnya, menurut Robert Frager, Nafs adalah sebagai proses yang dihasilkan oleh hasil interaksi roh dan jasad, bukanlah struktur psikologi yang bersifat statis.[7]

3.   Peranan dan Fungsi Al-Nafs
Dari beberapa pengertian tersebut tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kata nafs dalam al-Qur’an itu menunjuk pada totalitas manusia. Nafs dapat mengandung pengertian jiwa, tetapi juga sekaligus berarti diri, nafs dalam arti jiwa dipahami sebagai totalitas daya-daya ruhani berikut internalisasi dan aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Nafs juga berarti pribadi seseorang (person), nafs dapat juga berarti hati yang memberikan komando guna mengatur seluruh potensi manusia, dan nafs juga berarti “aku” manusia. Kata nafs juga berarti nafsu atau syahwat, namun nafs dalam pengertian nafsu berbeda dengan syahwat yang pejoratif, nafs bersifat netral bisa baik maupun buruk, tetapi pada dasarnya nafs berkecenderungan baik. Nafs juga diartikan ruh atau nyawa, tapi berbeda al-ruh, nafs mempunyai pengertian umum, bersifat material sekaligus immaterial. Dari konsep nafs inilah para filosof dan ahli tasawuf mengembangkan teori kepribadian manusia dalam perspektif Islam.
Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan dan karena itu, sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Quran dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
   
Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. (Q.S. Al-Syams: 7-8).
Mengilhamkan berarti member potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.[8]
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyebutkan, walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negative, diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan.Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs dan tidak mengotorinya,

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Al-Syams: 9-10).
Bahwa kecenderungannya kepada kebaikan lebih kuat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya". (Q.S. Al-Baqarah : 286).
Kata kasabat yang dalam ayat di atas menunjuk kepada usaha baik sehingga memeroleh ganjaran, adalah patron yang digunakan bahsa Arab untuk menggambarkan pekerjaan yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjukan kepada hal-hal yang sulit lagi berat. Ini mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang baik daripada melakukan kejahatan, dan pada gilirannya mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Allah untuk melakukan kebaikan.[9]
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Al-Quran mengisyaratkan terdapat keanekaragaman nafs serta peringkat-peringkatnya, yaitu: Pertama, Al-Nafs al-Muthmainnah, yaitu: Jiwa yang jernih dan terang dengan mengingat Allah dan terhapuslah pengaruh syahwat dan sifat-sifat tercela; kedua, al-Nafs al-Lawamah, yaitu jiwa yang menyesali diri sendiri; ketiga, al-Nafs al-Amarah, yaitu jiwa yang selalu menyuruh kejahatan.[10]

4.   Konsep Al-Nafs Dalam Al-Quran.
Di dalam al-Qur’an terdapat 140 ayat yang menyebutkan nafs, dalam bentuk jama’nya nufus terdapat 2 ayat, dan dalam bentuk jama’ lainnya anfus terdapat 153 ayat. Berarti dalam al-Qur’an kata nafs disebutkan sebanyak 295 kali. Kata ini terdapat dalam 63 surat atau 55,26% dari seluruh jumlah surat yang terdapat dalam al-Qur’an, yang terbanyak dimuat dalam surat alBaqarah (35 kali), Ali Imran (21 kali), al-Nisa’ (19 kali), al-An’am dan al-Taubah (masing-masing 17 kali, serta al-A’raf dan Yusuf (masing-masing 13 kali) yang semuanya mencakup 48 % dari frekuensinya penyebutan total.[11]
Dalam pembahasan ini yang dimaksud nafs adalah makhluk ciptaan Allahyang termasuk makhluk hidup, dan karena itu nafs juga dimatikan (QS:21;35), ciri khusus nafs adalah bernafas, sebagai tanda dari kehidupan dan keberadaannya menyatu dengan unsur fisika kimiawi, dan dari unsur tanah dan air (QS:6;2). Nafs sebagai makhluk Allah diciptakan atau berasal dari nafs wahidah (QS:7;189). Para mufassir umumnya menafsirkan nafs wahidah itu identik dengan Nabi Adam. Menurut Ibnu Katsir, bahwa semua manusia itu berasal dari Adam dan Allah menjadikan istri Adam yaitu Hawa’ darinya, kemudian Allah membuat keturunannya sehingga terbesar semua manusia lakilaki perempuan sebanyak penduduk dunia sekarang ini dan seterusnya sehingga hari kiamat nanti, sebagaimana yang diatur oleh Allah yang berupa persetubuhan laki-laki dan istrinya. Dan Allah menjadikan Hawa dari tubuh Adam supaya ia jinak, tenang, dan senang kasih kepadanya sehingga saling
membutuhkan dan saling melengkapi. Penafsiran seperti ini karena berdasarkan atas tafsir harfiah (secara tekstual), dimana kata nafs itu sama dengan pribadi dan kata wahidah artinya satu, yang berarti diri Adam. Mayoritas (jumhur) ulama mengikuti penafsiran seperti ini.[12]
Adapun Rashid Ridla menafsirkan nafs wahidah adalah suatu bahan baku yang hakikatnya tidak diketahui, dan dari bahan tersebutlah manusia diciptakan secara khusus. Hal ini juga sama dengan apa yang ditafsirkan oleh al-Maraghi, bahwa nafs wahidah (dari jenis yang sama), maksudnya Allah yang telah meciptakan kalian dari satu jenis, lalu Dia menjadikan dari itu pula jenis yang sama, sehingga jadilah mereka berdua berjodoh, laki-laki dan perempuan (QS:49;13), dan juga semua makhluk hidup (QS:51;49). Oleh karena itu setiap sel dalam sel-sel yang menumbuhkan makhluk hidup (organisme) terdiri dari dua unsur yaitu unsur jantan dan betina yang apabila dipertemukan maka lahirlah sel-sel yang lain dan begitu seterusnya10. Dari penafsiran ini dapat dilihat bahwa nafs wahidah itu tidak menunjuk pada diri Adam, tetapi menunjuk cikal bakal manusia atau sel yang dari sana manusia diciptakan, dan sel-sel tersebut juga menjadi cikal bakal dari seluruh makhluk hidup. Hal ini berdasarkan pada kata nafs wahidah sendiri yang terulang dalam al-Qur’an sebagai bentuk nakirah (indenfinite article) yang berarti sesuatu yang tidak dikenal. Dalam al-Qur’an (QS:76;1) manusia diciptakan sebagai suatu nafs, yang pada saat itu adalah sesuatu yang tak dapat disebutkan.[13]

5.   Implementasi Al-Nafs Pada Pendidikan
Tujuan menurut Ramayulis adalah usaha atau perbuatan yang dilaksanakan untuk suatu maksud tertentu, yang dalam hal ini tujuan pendidikan adalah usaha yang dilaksanakan untuk menuju perkembangan murid.[14] Selanjutnya, menurut Moh. Rokib, Tujuan Pendidikan secara umum adalah mewujudkan suatu perubahan positif yang diharapkan ada pada peserta didik setelah menjalani proses pendidikan, baik perubahan pada tingkah laku dan kehidupan pribadinya maupun pada kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana subjek didik menjalani kehidupan.[15]
Berdasarkan hal tersebut, maka implementasi al-Nafs dalam tujuan pendidikan adalah mengarahkan dan membimbing al-Nafs (sebagai jiwa) untuk berada pada potensi positif, yaitu adanya perubahan yang baik, artinya tujuan pendidikan harus bisa mengarahkan jiwa peserta didik mengarah pada hal yang positif, sehingga menjadi jiwa yang baik (jiwa mutmainnah) yang dapat berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Selain itu dalam mendesain sebuah tujuan pendidikan haruslah komprehensif karena berkaitan dengan mahluk hidup yang mengarahkan peserta didiknya sesuai dengan pandangan hidupnya yang positif. Dalam menentukan sebuah contain tujuan pendidikan harus berorientasi kepada pengabdian diri kepada Allah SWT dan berfokus pada education for the brain serta education for the heart.
 Kurikulum adalah program dan pengalaman belajar serta hasil-hasil belajar yang diharapkan, yang diformulasikan melalui pengetahuan dan kegiatan yang tersusun secara sistimatis diberikan pada siswa di bawah tanggungjawab sekolah untuk membantu pertumbuhan/perkembangan pribadi dan kompetensi social anak didik.
Sebuah kurikulum dalam konsepnya sebagai al-nafs yang berpotensi bertingkah laku positif dan negative haruslah mampu memformulasikan dan merancang seorang manusia (anak didik) yang sempurna dan paripurna, sehingga manusia (anak didik) tersebut berpotensi untuk melakukan yang baik, bermanfaat untuk masyarakat.
Sebagai jiwa seorang Pendidik, Guru harus tahu tentang kewajibannya yaitu merupakan orang ke dua yang harus dihormati dan dimuliakan setelah orang tua. Mereka menggantikan peran orang tua dalam mendidik anak-anak atau peserta didik ketika berada di lembaga pendidikan. Sebagai seorang pendidik pula, guru merupakan seorang yang dapat merubah peserta didik menjadi manusia yang berguna di masyarakat.
Guru dalam konteks sebagai al-Nafs, memiliki tugas yang beragam yang berimplementasi dalam bentuk pengabdian. Tugas tersebut meliputi bidang profesi, bidang kemanusiaan dan bidang kemasyarakatan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih, adapun tugas guru dalam bidang kemanusiaan adalah memposisikan dirinya sebagai orang tua ke dua, dimana seorang guru harus menarik simpati dan menjadi idola peserta didiknya. Disamping memiliki tugas, guru pun memiliki peranan yang harus dimainkan dalam proses pembelajaran, yaitu guru sebagai sumber belajar, guru sebagai fasilitator, guru sebagai pengelola, gur sebagai demonstrator, guru sebagai pembimbing, guru sebagai motivator dan guru sebagai evaluator.
Siswa atau anak didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar, siswa sebagai pihak yang  ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal.Siswa atau anak didik itu akan menjadi factor “penentu”,sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya. Jadi, dalam proses belajar mengajar yang pertama kali diperhatikan adalah siswa atau peserta didik,sebagaimana keadaan dan kemampuannya,baru setelah itu menentukan komponen-komponen lain.[16]
Berdasarkan hal tersebut Siswa dalam konteks sebagai al-nafs adalah individu yang mengalami perkembangan dan perubahan, sehingga ia harus mendapatkan bimbingan dan arahan untuk membentuk sikap moral dan kepribadian, disamping itu, peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus diperhatikan secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang berakhlak mulia dan dapat disebut sebagai insane kamil, dimensi-dimensi itu adalah :dimensi fisik )jasmani), dimensi akal, dimensi keberagaman,dimensi akhlak, dimensi rohani (kejiwaan), dimensi seni (keindahan) dan dimensi social.
Sebagai seorang jiwa, peserta didik harus memiliki adab dan tugas sebagai murid (yang dapat juga disebut sifat-sifat murid), yaitu: pertama, murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lain. Kedua, murid harus mengurangi keterikatan dengan kesibukan duniawiyah, karena kesibukan itu akan melengahkannya dari menuntut ilmu. Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang pada guru, ia harus patuh pada guru seperti patuhnya orang yang sakit terhadap dokter yang merawatinya. Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awam harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaan pendapat atau khilafiyah antar madzhab karena hal itu akan membingungkan pikirannya. Perbedaan pendapat dapat diberikan pada belajar tahap lanjut. Kelima, Penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting, ilmu yang paling utama adalah mengenal Allah. Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai ilmu sebelumnya. Ilmu itu sifatnya bertahap dan berurutan. Kedelapan, hendaklah mengetahui cirri-ciri ilmu yang paling mulia. Itu diketahui dari hasil belajarnya dan kekuatan dalilnya.
Untuk membentuk seorang peserta didik atau siswa yang berakhlak mulia dan memiliki ilmu, maka keberadaan metode dan pendekatan dalam pendidikan Islam sangat berperan sekali, sebaik apapun materi yang akan disampaikan tanpa disertai metode yang tepat dalam pencapaiannya dikhawatirkan esensi dari materi tersebut tidak sampai dan tidak dipahami oleh peserta didik, jadi intinya metode dan pendekatan pendidikan adalah sebagai salah satu cara untuk membentuk al-nafs (jiwa) peserta didiknya untuk mencapai perubahan kepada hal yang positif.

Di samping Metode, sarana dan prasarana serta pembiayaan pun sangat mendukung dan menunjang terhadap keberlangsungan proses belajar seorang siswa dan tujuan dari pendidikan, sebab mutu dan kwalitas pendidikan tidak bisa terlepas dari ketersediaan dana, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan hingga penilaian, pendidikan membutuhkan dana dan biaya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Al-Zarnuji dalam kitab Ta’limul muta’allim  (Etika Menuntut Ilmu), sebagai berikut :


أَلاَ لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلأَّ بِسِتَّة
v  
سَاُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْتِبَارٍ وَبُلْغَةٍ
v  
وَإِرْشَادِ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

"Ingatlah! Engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam syarat. Garis besarnya akan kukabarkan kepadamu dengan sedikit penjelasan:
1.      Cerdas
2.      Sungguh-sungguh
3.      Sabar
4.      Cukup bekal
5.      Guru yang baik
6.      Waktunya lama”.












DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, PustakaProgressif,Yogyakarta, 1984.
Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz VIII, Dar al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Kairo, 1968.
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, Daar al-Masyriq, Beirut, 1986.
M. Solihin, Penyucian Jiwa dalam perspektif Tasawuf Al-Ghazali, Pustaka setia,Bandung : 2000.
M. Solihin, Penyucian Jiwa dalam perspektif Tasawuf Al-Ghazali (Bandung : Pustaka setia, 2000),45
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahrash li Iifadli al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut: 1994.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai PersoalanUmat, Mizan Bandung, 1996,
Moh. Rokib, Ilmu Pendidikan Islam, Lkis,  Yogyakarta: 2009 Cet Ke-1.
Robert Frager, Hati, Diri dan Jiwa Psikologi Sufi untuk Transformasi, Serambi,Jakarta: 2005.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta: 2010 Cet. Ke-8.
________, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta:Kalam Mulia, 2008) Cet ke-5, h. 63
Sukanto Mm dan A Dardiri Hasyim, Nafsiologi Refleksi Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia, Surabaya, Risalah Gusti.
ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Ilmu-Dakwah/article/.../108


[1] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai PersoalanUmat, (Bandung: Mizan, 1996), 285-286.
[2] Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), 826.
[3] Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: PustakaProgressif, 1984), 1545.
[4] Ibnu Manzur Muhammad Ibnu Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, Juz VIII, (Kairo: Dar al-Misriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1968), 119-120.
[5] M. Solihin, Penyucian Jiwa dalam perspektif Tasawuf Al-Ghazali (Bandung : Pustaka setia, 2000),44-45
[6] Sukanto Mm dan A Dardiri Hasyim, Nafsiologi Refleksi Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), 39
[7] Robert Frager, Hati, Diri dan Jiwa Psikologi Sufi untuk Transformasi (Jakarta: Serambi, 2005), 86.
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan Pustaka, 2007),377
[9] Ibid,378-379.
[10] M. Solihin, Penyucian Jiwa dalam perspektif Tasawuf Al-Ghazali (Bandung : Pustaka setia, 2000),45
[11] Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahrash li Iifadli al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 881-885.
[12] ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/Ilmu-Dakwah/article/.../108
[13]  Ibid.
[14]  Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2010) Cet. Ke-8, h. 133
[15]  Moh. Rokib, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Lkis, 2009) Cet Ke-1, h. 25
[16] Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam (Jakarta:Kalam Mulia, 2008) Cet ke-5, h. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar