Sahabatku dan Gedung Lama
Malam
itu dari kamarku aku melangkah menuju ke
gedung Lama di mana aku terbiasa belajar di tempat itu. Sebelum keluar aku
selalu melihat jam dinding di sebelah kiri pintu keluar menunjukkan jam 19.45.
posisi jam dinding ini memang paling pas menurutku, entah menurut
teman-temanku, karena aku sendiri yang memasangnya di situ.
Gedung
lama yang kusebutkan tadi, selain tempatnya sepi,
amat kondusif untuk suasana
belajar, entah kenapa disebut Gedung lama, mungkin karena ini adalah bangunan
lama yang telah melewati beberapa kali renovasi sehingga tidak terlihat seperti
gedung tua. tempat itu juga menjadi tempat yang penuh kenangan. Kenangan
bersama sahabatku Ajun.
Ya,
Ajun sahabatku yang kukenal 8 bulan yang lalu ketika aku mulai mesantren. Ajun adalah
orang yang paling akrab denganku akhir akhir ini sebelum akhirnya dia izin
pulang ke kampung nya di Tasik untuk keperluan pengobatan. Aku tahu Ajun pulang dari seorang teman dan aku
percaya.
Walaupun
kami akrab namun hanya sedikit cerita dari dirinya yang aku ketahui. Dia agak
pendiam bila menyangkut urusan pribadi dan keluarganya. Berbeda denganku yang
selalu curhat kepada dia tentang diriku.
Alasan
keakraban aku dan Ajun pada dasarnya adalah asal kami yang sama-sama dari suku
sunda. Aku dari Bandung sedangkan Ajun dari Tasik. Kami biasa belajar bersama
di tempat ini. Gedung Lama, gedung ini merupakan gedung dua lantai dengan
gedung satu lagi di depannya yang dihubungkan dengan tangga sehingga membentuk
semi lorong, walaupun begitu aku akan tetap bisa melihat siapa saja yang ada di
masing-masing ruangan di gedung itu dari jauh karena di samping gedung terdapat
areal yang cukup luas. Aku dan Ajun biasanya berada di lantai bawah ruangan
kedua dari timur Pesantren. Di bagian belakang Gedung ini adalah Makam para
sesepuh dan santri yang meninggal ketika mondok. Tapi aku tidak takut karena
aku yakin mereka para Almarhum adalah orang-orang yang baik dan soleh selama
hidupnya.
Hanya
sedikit yang aku ketahui dari Ajun. Dia punya keinginan untuk menjadi seorang
pemuka agama dan ingin berdakwah terutama kepada keluarganya yang kata dia
masih jauh dari dasar Agama. Itu saja selebihnya aku tidak tahu, termasuk
alasan dia pulang ke kampung dengan alasan berobatpun aku merasa itu hanyalah
alasan yang dibuat buat. Karena setahuku dia tidak pernah terlihat sakit. Tapi
entahlah dia memang jarang bercerita
tentang dirinya.
Satu
hal masih kuingat adalah, Ajun seringkali bertanya kepadaku tentang banyak
pelajaran. Dia mengaku memiliki kesulitan dalam menghafal dan memahami
pelajaran yang kebanyakan berbahasa Arab. Bahkan untuk pelajaran yang nenurutku
paling mudah dia masih mengaku kesulitan.
“to ishroh dong! Suatu ketika Ajun berkata “
artinya dia meminta saya untuk menjelaskan beberapa kalimat berbahasa Arab.
“ente
kenapa ga faham Jun? Jawabku. “ustadz kan udah ngejelasin berkali-kali “
“ga tau to, katanya ada sesuatu di diri ane
yang ngehalangin ilmu masuk ke ane” Jawab Ajun.
“apa
itu sul? Kata siapa?“ aku biasa memanggil teman sedaerah dengan “sul”
kependekkan dari “konsul”.
Seperti
biasa Ajun tidak menjawab.
Aku
mengerti, kemudian aku kembali ke penjelasan pelajaran yang tadi dia tanyakan.
Entahlah,
beberapa bulan mengenal Ajun tidak menjadikan aku mengenalnya lebih dalam. Aku
hanya tahu dia baik dan setia kawan.
Di
pesantren kami hidup di asrama dua lantai dengan jumlah penghuni setiap
kamarnya yang variatif. Dari 40 hingga 20 orang per kamar. Aku di kamar 02
sedangkan Ajun di kamar 06 yang jumlah penghuninya lebih banyak. Kami tinggal
di lantai dua. Tiap bakda subuh pasti aku melihatnya di pangkal lorong menuju
kamar mandi menungguku. Aku selalu ingat itu bahkan hingga sekarang aku selalu
berharap Ajun menungguku di tempat itu.
“Semoga
lekas sembuh jun” aku berkata dalam hati.
Lamunanku
buyar seketika ketika ada orang yang mengetuk jendela. Dalam setengah sadar aku
memperhatikan dan kaget bercampur gembira ketika ternyata yang mengetuk jendela
adalah Ajun.
“ma sya Allah jun, kapan datang? Kok gak
bilang bilang?” Tanyaku.
Ajun
Cuma tersenyum.
“ya udah sini masuk! “ kataku.
Ajun
diam saja sambil tetap tersenyum. Aku tidak kaget dengan sikapnya yang pendiam
seperti itu.
“to “ Ajun tiba-tiba berkata. Aku pun
berdiri dan hendak keluar ruangan. Pikirku kurang nyaman kalau harus mengobrol
terhalang jendela.
Ajun
mengangkat tangan sebagai isyarat agar aku tetap duduk di tempat. Ok aku
kembali duduk, sambil menunggu apa yang akan diucapkannya.
Aku
lihat Ajun seperti menghela nafas namun tetap tersenyum.
“ane
gak kemana-mana, ane akan tetap disini to” kata Ajun. “assalamualaikum “
“wa alaykumussalam “ jawabku sambil melihat Ajun
berbalik dan pergi “.
Hening,
sepi dan akupun bingung. Apa maksud dari ucapan dia tadi. Lalu aku bereskan
buku dan keluar ruangan mengejar dia.
“cepet banget jalannya” gumamku. Aku terus
menyusuri jalan yang biasa kutempuh menuju gedung Baru asramaku bersama Ajun.
Aturan
asramaku adalah tidak boleh masuk kamar sebelum jam 10. Semua santri harus
belajar di luar asrama. Aku
menerka-nerka kemungkinan masih sekitar jam 9an malam, atau kurang dari itu,
entahlah, buktinya belum ada satu santripun yang pulang ke kamarnya.
Akupun
menuju Aula tempat kebanyakan santri belajar. Dengan harapan bisa bertemu
sahabatku Ajun.
Dalam
perjalananku ke aula aku melihat Ajun di depan koperasi santri menatapku sambil
tersenyum. “Jun.. Ente ane cari-cari “ kataku gembira.
Tiid”
Aku mendengar suara klakson keras dan entah apa yang terjadi hingga aku
terbangun di sebuah ruangan. Seperti Ruang rawat di Rumah Sakit tapi lebih
kecil. Aku mengernyitkan dahi dan merasa sakit di bagian bahuku sebelah kanan.
Dahiku sebelah kanan ketika kuraba sudah tertempel perban. Tiba-tiba aku merasa
pusing dan kembali sadar dalam suasana agak ramai. Ada beberapa orang yang
sepertinya aku kenal tapi entah siapa, yang serta merta merta tersenyum lebar.
“alhamdulillah to, ente udah sadar “ kata salah
seorang dari mereka sambil tersenyum lebar.
“sur
panggil mas perawat! Kasih tahu ato udah sadar” kata salah satu dari mereka
kepada temannya yang lain.
“siap” Jawabnya.
“sur?
Siapa sur? “ gumamku dalam hati.
Datanglah
seorang lelaki muda dengan kemeja koko putih kemungkinan dia seorang perawat,.
Dia membawa semacam tampah berisi makanan dan minuman air putih, kelihatannya
itu bubur. Selain itu dia juga membawa tas hitam yang isinya mungkin
obat-obatan. kemudian mengecek cairan infus dan dengan hati hati mengganti
perban di kepalaku.
“kalian pulang dulu ya” kata mas itu kepada tiga
orang yang ada di ruangan itu. “biar teman kalian ini istirahat dulu “
“to, syifaan yah “ (moga lekas sembuh)
“assalamualaikum “
“wa alaykumussalam “ jawabku.
“Teman?”
gumamku, “ ah mungkin karena sakit di kepalaku sehingga aku lupa kalau mereka
teman-temanku. Ya Anggap sajalah mereka teman-temanku yang sedang menengokku.
“bagaimana
sekarang? “ kata perawat.
“masih
pusing atau gimana? “ tukasnya.
“ga
tau mas, kayaknya badan masih lemes “ jawabku.
“iya
itu karena kamu ga makan tiga hari karena pingsan, badan kamu juga gak gerak “
sahut perawat.
“hah,
tiga hari? Aku kaget.
“aku di mana ya mas?” tanyaku kepada mas
perawat.
“kamu
sedang di UKS udah makan dulu, jangan
mikir yang berat-berat biar lekas pulih” kata perawat, kemudian dia pergi.
Aku
sudah tidak tahan ingin tahu apa yang terjadi kepadaku. Jika aku tertabrak
mobil, mengapa aku tiba-tiba pingsan tanpa sedikitpun ingat sesuatu. Bahkan
rasa sakit pun tidak.
Tiba-tiba
aku ingat Ajun. Dia tersenyum padaku sambil tersenyum tepat sebelum aku
pingsan.
Otakku
berputar keras menelaah apa yang sedang dan sudah terjadi. Namun kepalaku
semakin pusing hingga kembali tak sadarkan diri dan aku belum makan.
Aku
kembali sadar dan masih di ruangan itu, entah berapa ukurannya tapi tidak
terlalu besar. Ada ranjang satu lagi di sebelah ranjangku dan kosong. Aku tahu
UKS Unit Kesehatan Santri yang biasa melayani kebutuhan santri dalam pelayanan
kesehatan. Tapi aku belum pernah tahu seperti apa ruangan rawat inapnya hingga
saat ini, aku berbaring di sini.
Makananku
kelihatannya sudah berganti dengan yang baru, tapi belum ada perawat atau
siapapun yang datang menjengukku. Aku perhatikan dinding ruangan yang berbalut
wallpaper minimalis corak bunga, dan aku tidak menemukan jam dinding. Sehingga
aku tidak tahu jam berapa ini. Untungnya jendela ruang inapku bagian belakang
menghadap keluar sehingga memungkinkanku mengira-ngira waktu.
Waktu
itu sekitar jam 7 atau 8 pagi, atau
entahlah yang jelas pagi hari, perutku terasa lapar, aku baru ingat, sudah
meninggalkan sholat beberapa waktu dan juga tidak makan dalam jangka waktu yang
lama. Aku buka bubur yang masih tertutup plastik, sepertinya masih hangat. Aku
ambil satu sendok dan menyuapkannya ke mulutku dan sudah, perutku tiba-tiba
merasa kenyang. Sisa bubur kuletakkan di atas meja dan mencoba turun dari
ranjang untuk ke kamar mandi kemudian sholat. Ya terlalu siang memang untuk
sholat subuh, tapi kupikir daripada tidak. Aku ambil infusan kemudian ku
tenteng dengan tangan kiri. Ketika keluar ruangan rupanya ada pasien lain yang
mendahuluiku berjalan menuju ke kamar mandi. Aku tahu letak kamar mandi karena
petunjuk arah di situ.
Orang
ini jalannya lambat sekali, aku tetap mengikutinya dengan sabar. Alih-alih
menuju kamar mandi orang ini malah terus lurus ke lorong depan. Aku belok saja
ke kamar mandi.
Siangnya
ada pasien lagi lewat depan kamarku ketika aku akan ke kamar mandi, begitupun
dengan sore dan malam hari. Semuanya orang yang berbeda. Sementara aku berpikir wajar, hanya saja mereka bukan ke
kamar mandi tapi terus hingga ke ujung lorong. Dan aku semakin merasa aneh
karena hal ini terus terjadi setiap hari, kemungkinan pada waktu yang sama dengan
hari sebelumnya.
Aku
sebenarnya penasaran, hanya saja badanku terlalu lemas untuk mencari kemana
mereka pergi setiap harinya, tanpa aku tahu kapan mereka kembali dari tempat
itu. Hal aneh yang lain adalah aku selalu kenyang tiap setelah memakan satu sendok
bubur yang disiapkan pihak UKS.
Aku
benar-benar tidak tahu waktu. Untuk sholat aku hanya mengandalkan suara adzan
dari luar yang entah mengapa terdengar sangat sayup seakan-akan suara adzan
tersebut berada di tempat yang jauh. Padahal lokasi UKS ini tak jauh dari
pesantren yang memiliki Masjid dengan menara tinggi.
Aku
merasa tidak betah disini, terlalu banyak hal ganjil yang kualami, termasuk
makanan dan dan minuman yang selalu berganti tanpa aku tahu, cairan infus yang
tak pernah diganti dan tak pernah habis, mas perawat dan santri juga yang
katanya teman-temanku tak pernah datang lagi. Aku benar sendirian di sini. Setelah
kurang lebih satu minggu akhirnya aku diperbolehkan pulang ke asrama oleh mas perawat
yang entah kemana saja selama ini.
Aku
pulang berjalan kaki, pesantren terlihat sepi. Sesampainya di kamar aku tak
menemukan teman-temanku. Aku melihat ke dinding dan tidak kutemukan jam
menempel di tempat yang seharusnya dan “oh iya mungkin jam masuk kelas”
gumamku. Aku berbaring dan tertidur.
Tiba-tiba
ada seseorang yang menendang keras kakiku kemudian dengan cepat dan tanpa
perlawanan menyeretku hingga keluar. Kemudian aku dihempaskan dari lantai atas ke
lantai bawah “astagfirullah “ aku terbangun. Ini mimpi yang paling cepat dan
mengerikan.
“TOO”
aku mendengar suara setengah berbisik memanggilku dengan amat jelas.
“itu
suara Ajun” gumamku
“aku
kenal suara ini”.
Aku
melihat ke dinding namun aku tak menemukan jam yang biasa tertempel di situ.
“jam berapa ya ini? “ gumamku. Aku mulai
merasa ada yang aneh. Aku berdiri keluar kamar dan tidak ada siapa siapa di
luar. Termasuk suara yang kukenal adalah Ajun pun tak kutemukan orangnya. Aku
perkirakan ini sudah sore. Tapi entahlah langit terlihat mendung dan agak suram.
“pada kemana ya orang-orang? “ di tengah kebingungan yang menyesakkan aku terus
berjalan menyusuri teras asrama sambil melihat lihat kamar-kamar dan berharap
santri-santri memang sedang berkumpul di satu kamar. Dan benar saja kamar 06
tempat yang notabene kamarnya Ajun terdengar suara riuh rendah. Aku mengintip
di jendela, aku melihat orang-orang duduk rapi dan satu orang berdiri di depan
layaknya orang yang stand up komedi dengan bahasa yang tidak kumengerti.
Seperti bahasa arab, tapi bukan. Yang paling mengerikan adalah orang itu
berpidato dengan mulut terbuka lebar, bahkan terlalu lebar menurutku untuk
ukuran manusia normal. Tiba-tiba suasana menjadi hening. Semua orang di ruangan
menatapku tajam.
“AKHII TA’AAAL” (hei kamu kamu kesini) kata
orang yang berdiri di depan dengan wajah yang keras dan sorot mata tajam.
Lututku
lemas, tenggorokanku tecekat, keringat dingin mengalir deras ketika tiba-tiba
semua orang di ruangan tersebut berdiri dan keluar menuju ke tempatku berdiri.
Mereka
semua memegang tangan dan kakiku dan melemparku ke lantai bawah.
“astagfirullah
“ aku kembali terbangun. Ternyata masih mimpi akupun duduk sambil beristighfar.
“kalem
sul “ tiba-tiba terdengar suara dari luar.
“Juun..
“ kupanggil nama pemilik suara yang aku yakin adalah Ajun.
Ajun
pun berdiri depan pintu sambil tersenyum. Senyuman nya yang khas.
“ane
gak kemana-mana tooo” kata Ajun.
Untuk
sekian kalinya Ajun mengucapkan kalimat itu dan aku tetap saja tidak mengerti. Aku
melihat dinding kamar dan aku masih tidak menemukan jam di dinding itu. Aku sudah tak tahan lagi.
“ASTAGFIRULLAH
YA ALLAH BANGUNKAN AKUU” , aku berteriak pasrah.
Kulihat
sosok mirip sahabatku Ajun menatapku tajam dan tidak tersenyum seperti
biasanya.
Dia
mendekatiku, dengan kepalanya yang tiba-tiba miring ke sebelah kiri, tangannya menjulur
seperti hendak mencekik leherku. Aku
singkirkan tangannya kemudian aku berlari sekuat tenaga keluar kamar dan entah
apa yang terpikir olehku aku langsung loncat ke lantai bawah.
Akupun
terbangun di sebuah tempat yang aku kenal. Ya di gedung Lama ruang kedua dari
timur Pesantren. Mataku segera berkeliling ke dinding mencari jam yang
tertempel. “TIDAK ADA” Hatiku langsung menceos. Tak tahu apa yang harus
kulakukan. Aku mencoba menenangkan hati dengan menerka bahwa di ruangan itu
memang tidak ada jam dinding.
Tiba-tiba
ada yang mengetuk jendela. “TOO”
Rasanya
lemas kakiku, aku beristighfar berkali-kali kemudian membaca ayat kursi karena
yang kulihat diluar jendela adalah Ajun.
Aku
pun keluar dan berlari menuju asrama melewati Ajun yang berdiri di depan
ruangan tanpa senyuman. Kudengar dia berteriak “ANE GAK KEMANA-MANA TOO “
Aku
tidak peduli, terus berlari dan berhenti sambil membungkukkan badan untuk
mengatur nafas. Kemudian kulanjutkan dengan berjalan cepat karena khawatir
orang-orang akan curiga.
“Tiid
“ terdengar suara klakson dan kulihat sebuah mobil kijang berhenti tepat di
sampingku. “woy jangan ngelamun akhi” terlihat sang sopir yang ternyata ustadz
menegurku keras.
Setelah
meminta maaf aku bergegas pulang ke asrama dan dengan sedikit heran kulihat
para santri berduyun menuju masjid.
“ada
yang meninggal “ kata salah seorang santri yang berpapasan denganku. Walau sedikit terkejut dengan kabar ini hatiku
sedikit lega ketika melihat jam di aula menunjukkan jam 21.15. walaupun begitu
aku masih merasa khawatir dan bertanya-tanya tentang jenazah siapa yang akan
disholati di Masjid.
Aku
pun mengambil wudhu dan menuju masjid dan serta merta aku kaget bercampur sedih
tapi juga bingung karena ternyata jenazah yang kami sholati di masjid adalah Ajun.
Jadi
ternyata selama dua pekan mendiang di rawat di rumah sakit di luar pesantren
hingga dinyatakan meninggal Isya tadi. Entah bagaimana aku bisa percaya dengan
kabar bahwa dia izin pulang. Sementara aku entah bermimpi atau apa itu yang
terjadi seakan-akan telah melewati waktu yang lama lebih dari satu minggu,
padahal masih berada di malam ini. Entahlah, Semua anomali ini, benar-benar membuat kepala pusing dan dada
ini sesak.
Aku
tidak pernah ke gedung lama lagi kecuali siang hari, hingga kondisi lahir
batinku mulai membaik. Tapi aku tetap penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi
sebenarnya. Belakangan aku mendapat sebuah cerita yang kemungkinan itu adalah
mitos tentang asrama yang aku tempati. Katanya dulu adalah makam korban
pembantaian PKI. Bahkan lokasi pesantren
ini dulunya adalah hutan tempat berkumpulnya jin. Katanya begitu. Entahlah,
rasanya cerita-cerita seperti itu menurutku terlalu klise. Walaupun ada kemungkinan cerita itu benar.
Bagaimana
dengan Ajun? Bila ingat dia rasanya rasa bercampur aduk antara rindu, sedih
sekaligus merinding bila ingat kejadian waktu itu. Bahkan bila ingat apa yang
selalu dia katakan bahwa dia tidak kemana-mana, mungkin maksudnya adalah
sebenarnya dia tidak ke Tasik tapi dirawat di Rumah Sakit di luar Pesantren dan
aku tidak tahu dan tak pernah menjenguknya. Aku benar-benar menyesal sesak rasanya
hati ini bila ingat itu.
Adapun
tentang yang aku alami, menurut beberapa teman yang percaya, mereka mengatakan
aku dibawa ke dimensi alam lain. Melalui kondisiku pada saat itu yang sedang
labil. Entahlah, kepalaku makin pusing.
Malam
itu dengan keberanian yang berhasil kukumpulkan aku kembali ke gedung lama ruang
dua dari timur. Di tengah perjalanan aku melihat tiga orang yang sedang asyik
duduk di bawah pohon yang kemudian aku mengenalinya sebagai “teman-teman” yang menengokku
saat aku di “UKS” . aku terkejut bukan main, untungnya mereka tidak melihatku,
aku pun terus lurus melihat ke depan dengan harapan mereka tidak menyadari aku
lewat. Ketika gedung lama mulai terlihat, aku merasa lega, di ruangan tersebut
ada beberapa orang yang sedang belajar sambil sesekali ngobrol. Namun ketika
semakin dekat ternyata di ruangan itu hanya ada tiga orang. Aku mendekat dan
betapa Menceos nya hati ini ketika ku sadar tiga orang yang berada di ruangan
tersebut adalah “Mas Perawat UKS, Ajun dan Aku Sendiri, ya itu aku. Kemudian ketiganya
menoleh dan menatapku tajam.
Akupun
kaget dan lemas, dan semakin kaget ketika aku menemukan ada jam dinding
menempel di ruangan tersebut.
Agus Waluya, September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar