EMHA AINUN NADJIB
Ada alasan kuat yang membuat saya tak dituduh "memuji-muji dan
membangga-banggakan Gontor karena memang bekas almamaternya". Pada
awal 1968, pasca-"revolusi lokal" yang gagal, saya mathrud alias
diusir atawa dipecat dari pondok modern itu.
Ketika itu berlangsung semacam martial law. Hukum darurat. Gara-gara
memprotes ketidakadilan Qismul Amn, semacam kopkamtib. Pak
"pangkopkamtib" mengadili saya jam 02.00 dini hari hingga bakda subuh.
Vonisnya, saya dideportasikan pagi itu juga, alias "gulung tikar
angkat koper"- demikian istilahnya di sana.
Beberapa hari kemudian, saya ke Gontor lagi khusus untuk
petentang-petenteng. Tak sampai setahun kemudian "panglima" keamanan
dan ketertiban ini mengalami nasib seperti saya, "gulung tikar angkat
koper". Namun, sejak itu "situasi politik" normal kembali.
Saya mensyukuri hikmah dari pengadilan subyektif itu. Bahkan
penghargaan saya terhadap Gontor sama sekali tak pernah menurun.
Pesantren masyhur itu, di masa silam memang pernah mencatat suatu
mekanisme sistem hukum yang brutal dan agak primitif. Namun, secara
keseluruhan, pola dan nuansa kependidikan Gontor adalah contoh
kongkret dari banyak hal yang dewasa ini kita baru menggagas-gagasnya
lewat perdebatan pemikiran di kota-kota yang selalu merasa lebih maju
dibanding yang bukan kota. Dan bagi saya sendiri, pengusiran itu
adalah metode yang sebaik-baiknya- suatu total alienation untuk suatu
total loneliness- yang menyiksa saya untuk menjadi saya sekarang ini.
Sejak itu saya amat rakus dengan metode "bersikap sangat keras bahkan
kejam kepada diri sendiri" dan menyeleksi cita-cita menjadi hanya
sebiji: bekerja keras sampai hari terakhir hidup saya. Pernah saya
menulis Gontor adalah camp Shaolin. Para santri bekerja dari pukul
04.00 hingga 22.00 nonstop, hidup dari bel ke bel. Makan, mandi,
olahraga sekolah berduyun-duyun, tidur berjajar-jajar bagai pindang.
Setiap anak berlatih membangun privacy, mendengarkan kesunyian diri,
di tengah riuh-rendah.
Bahkan gegap-gempita latihan pidato tiga bahasa dan gemuruh tepuk
tangan itu justru terasa begitu sepi di tengah sunyi pedusunan
sekitarnya. Kalau di tengah sepi malam Anda membunyikan sedenting
logam, suara itu menegaskan kesunyian.
Sepi juga isi pidato anak-anak itu: heroisme nasional, kisah
tokoh-tokoh pengubah dunia, jargon-jargon bahasa Inggris, balaghah
Arab, perekatan umat dan kemanusiaan- di tengah-tengah tradisi satu
antargolongan Kaum Muslimin, degradasi nasionalisme,
jangkauan-jangkauan sosio-politik dan sosio-budaya yang makin
menyempit, tatkala teknologi informasi menyeribu-kali-lipatkan mata
pandang manusia, serta di tengah idolatri masal terhadap hanya
figur-figur musik rock dan kiper sepak bola.
Namun, yang paling sunyi adalah ketika datang magrib, isya, dan subuh.
Tiga ribu santri menyuarakan kor puisi Abu Nawas tentang dosa
sebilangan pasir di padang-padang yang tak terukur karena bertepikan
cakrawala. Untunglah, yang mendendangkan sunyi adalah "seekor" Abu
Nawas yang "sinting": "Ya Allah, hamba ini tak potongan masuk surga,
tapi kalau harus masuk neraka ya jangan dong!".... Mendengarkan syair
Abu Nawas macam itu sering tak bisa saya halangi benak saya spontan
berkata, "Tuhan pasti jengkel, tapi juga pasti sayaaang banget sama si
Abu itu ...."
Dan pada Lebaran yang lalu, hati saya tak tertahankan untuk tak ke
Gontor sesudah hampir 15 tahun. Puisi Abu Nawas tak bisa dipentaskan
keagungannya dengan kecanggihan peralatan apa pun, dan sejauh yang
saya alami hanya di Gontor saya bisa memasuki puisi hidup Abu Nawas
(baca: Abu Nuwas), karena segala konsep estetika dan religiusnya
dipanggungkan di kedalaman jiwa dan kehidupan kongkret Pesantren
Gontor.
Kemudian ternyata Pak Kiai menyodorkan sunyi pula kepada saya. Ketika
untuk acara Delapan Windu Gontor saya rekomendasikan sebuah nama tokoh
nasional, Kiai bilang, "Ah, bagi beliau Gontor ini dekaden. Tidak
menyatu dengan masyarakat. Eksklusif. Tidak seperti
pesantren-pesantren pilot project LSM yang beliau pimpin yang
mengintegrasikan pondok ke masyarakat sekitarnya dengan kerja sama
sosial ekonomi, bikin pelatihan pertukangan, pertanian, kerajinan,
kewiraswastaan ...."
Kok, ada kiai minder begitu. Kan Gontor juga punya keistimewaannya
sendiri: pendidikan bahasa, disiplin, dan "sunah pondok"-nya, tidak NU
tidak Muhammadiyah. Santri-santrinya terkenal artikulatif dan
kepribadiannya.
Maka, sunyi itu menyeret kaki saya keliling pesantren, bahkan
sekelilingnya dalam radius setidaknya lima kilometer. Mata sunyi saya
menatapi santri-santri yang sedang sibuk mengurusi toko besi dan
perlengkapan bangunan, apotek, rumah sakit mini, huller alias dolognya
pondok yang bekerja sama dengan ribuan petani, rumah makan. Mereka
mengatur pembelian jasa ratusan penduduk untuk keperluan sehari-hari
para santri, masjid-masjid para warok, toko kelontong alias toserba,
toko buku. Para santri juga mendirikan bangunan sekolah di sekitar,
mengangkuti padi, mendekor seantero pesantren dengan rancangan estetik
yang sebebas-bebasnya asal jangan memelihara monyet, pramuka, musik,
teater ....
"Ah! Tapi itu bukan inisiatif saya, kok," ujar Pak Kiai malu-malu,
"Wong, itu semua ide anak-anak sendiri ...."
Gontor dan dusun-dusun sekitarnya itu small is beautiful, kecil itu
indah. Distribusi pendapatan, distribusi ide dan tanggung jawab,
kelangsungan bottom up murni tanpa proposal ke lembaga dana di planet
Mars untuk proyek konsientisasi, demokrasi yang diinfrastrukturi oleh
ilmu tentang batas, akidah, dan ilahiah, lempar tongkat jadi tanaman,
bola salju, bola salju, bola salju.
Kiai tak pernah kasih ceramah atau pengajian. Sesudah uluk salam di
podium masjid, langsung bilang, "Tolong, saya minta daftar pengaturan
rombongan santri yang mengangkuti batu bata untuk sekolahan yang di
desa Anu itu ...."
EMHA AINUN NADJIB
(Sumber: Majalah Tempo, Edisi. 17/XXII/15 - 21 Juni 1991)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar