Oleh : Rahmatullah Oki Raharjo
Tempoe Doeloe :
Nyai santosa Anom Besari, adalah istri dari Kyai Santosa Anom besari yang merupakan Pimpinan Gontor lama generasi ketiga. Saat itu kondisi Gontor sudah sangat memprihatinkan. Kemegahan dan kejayaan Gontor lama di masa lampau seperti tak berbekas. Padahal dulunya, santri Gontor lama sangat banyak ,bahkan datang dari Negeri Pasundan (waktu itu sunda adalah konsulat “Luar negeri”).
Kyai Santosa memang meninggal muda. Putra-Putra beliau ada 7 orang. Putra pertama adalah KH. Rahmat Soekarto (Keluarga pendopo / Maktabah OPPM), 4 orang putri, kemudian disusul KH Ahmad sahal, KH Zainudin Fanani, dan KH Imam Zarkasyi, berurutan adalah putra –putra beliau nomer 5,6,dan 7.
Maka semenjak beliau wafat, secara “struktural” Nyai Santosa-lah yang memegang kendali kepengasuhan. Tapi kendali “adminsitratif” dan “Kelembagaan” di pegang oleh KH. Rahmat Soekarto, sebagai putra tertua dari 7 bersaudara itu. Kedua ibu dan putra ini bertekad, tak hendak membiarkan Gontor lama itu mati. Tapi siapa yang akan memimpin kelak? Ini kemudian menjadi masalah tersendiri, mengingat putra-putra yang masih sangat kecil-kecil..
Suatu hari, kakak dari Alm KH santoso anom besari yang menjadi Bangsawan di kadipaten Ponorogo memanggil Nyai santosa untuk bersama ketiga putra-putranya (Trimurti). Dengan penuh tanda tanya (karena tidak biasanya beliau memanggil Nyai santosa dengan cara seperti itu ) berangkatlah beliau bersama TRIMURTI kecil ke Ponorogo dengan delman menembus Hutan belantara Ponorogo. Sesampai di Rumah kakak Iparnya itu, TRIMURTI kecil kemudian dipanggil masuk ke sebuah kamar dan diminta untuk membaca surat-surat Al-Quran. Tak lama kemudian beliau Keluar dan langsung berkata kepada Nyai Santosa Anom Besari :
“Nyai, iki anak-anakmu sing nyatane iso nompo wahyu iki, anak-anakku ora ono sing sanggup. Wis pesenku openana sing tenanan, amrih uripe pondokan kuwi. Wis kondur wae...”
(Nyai, ini putra-putramu yang ternyata bisa menerima wahyu ini, anak-anakku tidak ada yang sanggup. Sudah, pesan saya didik baik-baik, agar pondok itu bisa maju kembali. Sudah, sekarang silahkan pulang...)
Terheran-heran Nyai Anom Besari melihat hal itu. Dipanggil mendadak, jau-jauh datang dari kampung ke ibu kota kabupaten, dan diberi pesan cukup berat. Barangkalai mirip perasaan Abu Thalib ketika bertemu dengan waraqah bin naufal dan diceritakan tentang ciri-ciri nabi Akhir zaman yang ada diri keponaknnya, Muhammad. Nyai Anom Besari lalu teringat akan sebuah mimpinya, yaitu ketika beliau melihat dalam mimpinya itu seekor induk ayam betina dan tiga ekor anak-anaknya mencari makan dengan tekun. Seakan di sentakkan dengan semua peristiwa itu. Nyai Anom Besari betekad kuat untuk membangun kembali Pondok yang di asuh oleh Alm suaminya itu. Ketiga-tiga putra itu di sekolahkan ke berbagai lembaga pendidikan Islam ternama di Hindia Belanda. Sampai kelak kemudian hari ketiganya dipertemukan kembali sebagai pendiri dan peletak dasar konsep Gontor baru (modern).
Tapi ada satu hal menarik dari TRIMURTI, yaitu adalah ketika ternyata ketiganya memiliki karakter yang berbeda dalam membangun Gontor ini. KH Ahmad Sahal dengan karakteristik spiritualitas dan daya asuh yang luar biasa, KH Zainudin Fanani yang meletakkan dasar-dasar pergerakan dan pembaharuan pemikiran di Gontor, dan KH Imam Zarkasyi sebagai peletak dasar Kurikulum dan sistem pendidikan di Gontor.
Mari kita belajar dari indahnya “perbedaan” TRIMURTI ini. KH Ahmad Sahal, yang sejak mulanya sudah dipandang sebagai Kyai yang disegani masyarakat. Mbah Sahal, demikian beliau biasa di panggil adalah seorang Kyai dengan Tauhid dan aqidah yang luar biasa, mengingat jaman itu khurafatb dan kemusyrikan meraja lela. Tapi beliau adalah salah satu Kyai yang berani mengacak-acak sebuah tempat pemujaan di Selatan kota Ponorogo. Dimana disitu terdapat sebuah patung kepala Raksasa yang di keramatkan, dan semua orang takut datang ke situ. Tapi beliau dengan berani datang ke tempat itu, bahkan menduduki Patung itu denga berani, untuk menunjukkan bahwa patung-patung itu benda mati yang “La Yanfa’ wa laa Yadlurru”. Hal ini semata-mata menunjukkan betapa kokohnya keyakinan beliau akan kuasa Allah itu. Betapa tingginya keimanan beliau kepada uluhiyatullah dan rububiyatullah.
Antum bisa rasakan itu dari banyak nasehat-nasehat beliau : “Bondo bahu Pikir lek perlu sak nyawane pisan”, “Berani Hidup tak takut Mati”, “Njajal awak mendah matio” (Mencoba kemamapuan, kalau perlu sampai mati) adalah cermin betapa kuatnya keyakinan Tauhid itu. Jadi bukan hal yang aneh kalau akhirnya batin beliau terasah untuk “memfirasati zaman”. Sehingga banyak hal-hal yang beliau sampaiakn akhirnya tiba pada sebuah kenyataan. Termasuk contoh kasus yang saya ceritakan pada postingan saya yang dahulu. Keyakinan Tauhid ini juga bagi saya juga adlah sebuah “Sanggahan Besar” terhadap cerita-cerita takahyuk tentang beliau. Seperti : Beliau Sholat di dua tempat di waktu yang bersamaan, Jaros Ma’had yang konon dari BOM jepang yang “di remote” oleh beliau sehingga jatuh di sungai malo dan diambil sebagai JAROS,atau konon pernah Terbang dengan sajadah ketika pembangunan masjid Gontor. Sungguh, semua itu bagi saya tidak layak di sandangkan kepada beliau yang bagi saya adalah seorang Kyai dengan “mutu Tauhid” yang exellent. Meskipun saya juga tidak menafikan adanya karomah beliau. Yang paling kita rasakan tentunya adalah Doa beliau untuk Gontor yang semakin maju dan besar.
Tapi meskipun demikian, beliau menyadari bahwa soal kurikulum pendidikan, maka beliau bukanlah ahlinya. Ada sebuah peristiwa menarik, ketika Tarbiyatul Athfal sebagai cikal bakal Gontor waktu itu para Guru menyusun Kurikulum. Ketika kurikulum itu diserahkan kepada beliau, Pak Sahal nampak kurang setuju lalu berkata : “Kurikulum nya elek (jelek) Tunggu Zarkasyi Pulang...!!”. Nampak dari ketegasan beliau, bahwa untuk urusan Kurikulum, maka beliau bukan ahlinya. Beliau tahu kurikulum itu jelek, tapi konsep yang bagus juga beliau belum tahu. Makanya beliau serahkan itu kepada Pak Zar, yang waktu itu masih menuntut ilmu di Padang.
Lain pula dengan karakteristik Pak Fananie. Wawasan dan networking beliau yang luas, membuat ide-ide perjuangan beliau masuk keadalam konsep manajemen organisasi modern di Gontor. Suasana pergerakan Ikhawanul Muslimin di Mesir yang menggelora pada waktu itu, berhasil di eja-wantahkan oleh beliau dalam sebuah sistem organisasi mini yang solid : IKPM (nama sebelum berubah menjadi OPPM). Antum bisa rasakan sendiri bukan, betapa solidnya OPPM itu sebagai sebuah organisasi santri. Apalagi kalau sekedar di bandingkan dengan OSIS atau yang sejenisnya. Sebuah organisasi Pelajar yang mengajarkan kita manajemen organisasi modern yang di “cara-i” dan di “ciri-i” Gontor. Pengalaman Pak Fanani sebagai pengurus Muhammadiyah, dimana pada waktu itu adalah organisasi Islam Modern dalam metode dakwahnya, telah menorehkan sejarah dalam pembangunan Infrastruktur sistem yang kuat di Gontor. Antum bisa lihat keindahan pertama disini : ruhiyah salafiyah ala KH Ahmad Sahal bisa berpadu cantik dengan pemikiran progressif ala Ikhwan yang di bawa Pak Fanani. Ah, indahnya Gontor...
Dan ketika “Si Bungsu” pulang kampung, giliran karakteristik kependidikan beliau mengambil peran. Pengalaman beliau dalam menuntut ilmu di berbagai pesantren mengajarkan sebuah makna, ilmu-ilmu Islam terlalu “njlimet” dipelajari. Karena memang metodenya yang kurang pas. Untuk itulah beliau kemudian menciptakan sistem classical dalam memeplajari kiutab-kitab itu. Sekaligus merancang program pendukungnya agar selaras. Sekarang coba antum ingat-ingat lagi pelajarn antum di ma’had dulu. Ingatlah ketika Mu’allim Nahwu menerangkan Bab “Kana wa akhwatuha” maka di waktu itu, muallim Muthalaah tengah mengajarkan “Kaana Muhammadun Na’iman...”, begitu juga ulumul hadisnya, sampai mahfudatnya...rapi terperinci, tidak saling tumpang tindih, dan kita merasa enteng menerimanya. Susah membanyangkan kalau semua kitab itu dipelajari satu-persatu tanpa metode yang tertib seperti itu. Sebuah kurikulum yang bagi saya adalah sebuah materpiece dari seorang Kyai Ahli pendidikan modern, Imam Zarkasyi.
Ah, bertambah indah pelangi Gontor ini saya rasakan. Kalau saja kita mau sedikit merenung, maka akan nampak betapa harus bersyukur kita, sudah menjadi bagian dari keluarga besar Gontor.
Pernahkah antum berfikir, kenapa kita tidak memakai seragam? Kenapa masjid di Gontor dan pondok-pondok cabang lain selalu ditempatkan di bagian paling barat, dan nyaris tidak ada gedung di depannya?? Pernahkan antum berfikri, kenapa kita hanya sholat berjaamaah di masjid itu Maghrib dan jumat saja?? Pernahkah antum berfikir, kenapa Mantiqoh di Gontor itu berbentuk memanjang??
Tunggu seri selanjutnya....Insya Allah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar