1. Konsep Al-Ruh
A. Pendahuluan
Dunia pendidikan dewasa ini semakin berkembang. Banyak inovasi-inovasi dan pembaharuan yang telah dikembangkan oleh para ahli dalam bidang ini. Lemabaga-lembaga pendidikan semakin maju dan modern. Dikatakan modern karena bisa dikatakan lembaga pendidikan sekarang banyak yang telah melengkapi berbagai fasilitas pendidikan mereka. Disamping itu dalam sistem pendidikan banyak diantaranya yang mengadopsi berbagai konsep-konsep pendidikan yang lahir dari barat. Ada semacam asumsi bahwa konsep-konsep yang dilahirkan di barat baik itu pendidikan maupun yang lainnya, lebih baik dan lebih efektif bila diterapkan dibandingkan konsep-konsep islami yang telah ada.
Sebenarnya anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya salah. Mengingat kondisi umat islam yang terbelakang dan kurang bisa mengeksplor kekayaan telah ada berupa al-qur’an. Sehingga harus ada masa dimana konsep dan term-term islami mulai dimunculkan khususnya yang ada dalam kitab suci umat islam yaitu Al-Qur’an dan salah satu istilah yang akan penulis bahas adalah istilah al-ruh.
B. Makna Hakiki dari Al- Ruh
Hakekat dan asal-usul manusia yang di awali dari proses kejadian manusia yaitu dari segumpal darah (QS. 96:1-5), dan setelah melewati beberapa tahapan dan sempurna kejadiannya, dihembuskan-Nyalah kepadanya ruh ciptaan Tuhan (QS. 38:71-72)
Dari ayat-ayat di atas menjadi jelas bahwa hakekat manusia terdiri dari dua unsur pokok yakni, gumpalan tanah (materi/badan) dan hembusan ruh (immateri). Di mana antara satu dengan lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan agar dapat di sebut manusia. Dalam perspektif sistem nafs, ruh menjadi faktor penting bagi aktivitas nafs manusia ketika hidup di muka bumi ini, sebab tanpa ruh, manusia sebagai totalitas tidak dapat lagi berpikir dan merasa.[1] Ruh adalah zat murni yang tinggi, hidup dan hakekatnya berbeda dengan tubuh. Tubuh dapat diketahui dengan pancaindra, sedangkan ruh menelusup ke dalam tubuh sebagaimana menyelusupnya air ke dalam bunga, tidak larut dan tidak terpecah-pecah. Untuk memberi kehidupan pada tubuh selama tubuh mampu menerimanya.
Secara bahasa , kata ruh mempunyai banyak arti. Kata رُوْحٌ untuk ruh, Kata رِيْحٌ (rih) yang berarti angin dan Kata رَوْحٌ (rawh) yang berarti rahmat. Ruh dalam bahasa Arab juga digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, perintah dan rahmat.[2] Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kalimatرُوْحَانِيُّوْنَ * رُوْحَانِي Digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti malaikat dan jin. Terdapat lebih dari 19 ayat yang menyebut kata “ruh” dalam Al-Qur’an. Maksud yang terkandung dari istilah ini tidak keluar dari arti malaikat Jibril yang biasanya ditambah dengan istilah Ruhul Quds atau Ar-Ruhul Amin dan maksud yang kedua adalah Al-Qur’an. Dan hanya satu ayat yang bermaksud roh dalam arti yang sebenarnya, yaitu pada ayat ini.
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ
dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra': 85)
Serta jawaban singkat al-Qur'an atas pertanyaan itu (lihat QS. Al-Isra': 85), menunjukkan bahwa ruh akan tetap menjadi "rahasia" yang kepastiannya hanya bisa diketahui oleh Allah semata.
Ibnu Sina mendefinisikan ruh sama dengan jiwa (nafs). Menurutnya, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia yang nyata. Jiwa (ruh) merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi secara nyata.
Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia.
Ibn Taimiyah berpendapat bahwa ruh tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, ruh bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain.[3] Sesungguhnya ruh berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang. Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya (badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh.[4]
Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu:
1. Ruh adalah udara yang keluar masuk badan.
2. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah.
3. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah SWT: ... Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang ... (QS. al-'An'am, 54).
4. Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, "Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir".
5. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya.[5]
Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".[6] Ibn Taimiyah menyatakan bahwa jiwa (nafs/ruh) manusia sesungguhnya berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su', jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.[7]
Ibn Qayyim al-Jauziyah Menggunakan istilah ruh dan nafs untuk pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani 'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jizm ini menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak dan keinginan.[8]
Dari konteks pembicaraan Ibn Qayyim ini, dapat dipahami bahwa ketiga macam jiwa ini bukan berdiri sendiri dan bukan pula berarti jiwa yang yang tiga, tetapi ia merupakan tiga daya untuk satu jiwa.[9]
C. Makna Peran Al-Ruh
Ruh sebagaimana pengertian dan definisi hakiki diatas juga berperan penting terhadap eksistensi sesuatu hal. Ibnu Sina membagi daya jiwa (ruh) menjadi 3 bagian yang masing-masing bagian saling mengikuti, yaitu
1. Jiwa (ruh) tumbuh-tumbuhan, mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jiwa ini merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanistik, baik dari aspek melahirkan, tumbuh dan makan.
2. Jiwa (ruh) hewan, mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Ia mendefinisikan ruh ini sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena keinginan.[10]
3. Jiwa (ruh) rasional, mencakup daya-daya khusus pada manusia. Jiwa ini melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefinisikannya sebagai kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi lain ia mempersepsikan semua persoalan yang bersifat universal.
Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya al-nafs al-natiqah/jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.[11]
Sholat bila dilihat dari pengertian ruh di atas, setiap gerakan qiyam, ruku’ dan sujud dan lain sebagainya adalah jasad. Sedangkan ruh dari sholat adalah khusyu. Khusyu dalam sholat seperti halnya ruh bagi jasad memiliki peranan penting bagi bernilai atau tidaknya sholat seseorang. Seseorang yang mengerjakan sholat akan terasa berat bila tidak diiringi kekhusyuan dalam sholatnya. Sebagaimana firman Allah ;
(#qãZÏètFó$#ur Îö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 $pk¨XÎ)ur îouÎ7s3s9 wÎ) n?tã tûüÏèϱ»sø:$# ÇÍÎÈ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (QS: 2:45)
D. Makna Fungsi Al-Ruh
Al-Ruh selain berperan penting terhadap bernilainya sesuatu juga memiliki fungsi yang amat penting Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku[12] dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis. Menurut Ibn Tufail, sesungguhnya jiwa yang ada pada manusia dan hewan tergolong sebagai ruh hewani yang berpusat di jantung. Itulah faktor penyebab kehidupan hewan dan manusia beserta seluruh perilakunya. Ruh ini muncul melalui saraf dari jantung ke otak, dan dari otak ke seluruh anggota badan. Dan inilah yang yang menjadi dasar terwujudnya semua aksi anggota badan.[13]
Manusia tidak bisa hidup tanpa ruh. Manusia yang tidak ber ruh, berarti tidak bernyawa. Apabila tidak bernyawa berarti mati. Ruh berjumlah satu. Jika ia bekerja dengan mata, maka perilakunya adalah melihat; jika ia bekerja dengan telinga maka perilakunya adalah mendengar; jika dengan hidung maka perilakunya adalah mencium dsb. Meskipun berbagai anggota badan manusia melakukan perilaku khusus yang berbeda dengan yang lain, tetapi semua perilaku bersumber dari satu ruh, dan itulah hakikat zat, dan semua anggota tubuh seperti seperangkat alat".[14]
2. Implikasi Paedagogis dari Konsep Al-Ruh
Terlepas dari perdebatan para ahli teologi, filosof dan para mufassirin, kata al-Ruh memiliki arti serta cakupan yang lebih luas dalam dunia pendidikan. Term al-ruh ini tidak serta merta terbatasi oleh pemaknaan yang tekstual namun bisa dimultitafsirkan guna meraih implikasi paedagogis yang efektif terhadap eksistensi dunia pendidikan, khususnya pendidikan yang islami. Konsep Al-Ruh bisa diimplikasikan pada beberapa item pendidikan, penyusun akan mencoba membahasnya pada beberapa item, diantaranya;
A. Implikasi paedagogis dari al-ruh pada tujuan pendidikan islam
Ilmu Pendidikan Islam tidak mungkin terlepas dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia, secara filosofis Ilmu Pendidikan Islam harus mengikutsertakan obyek utamanya, yaitu manusia dalam pandangan Islam. Sebagai petunjuk Ilahi, Islam mengandung implikasi kependidikan (paedagogis) yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin, muslim, muhsin, dan muttaqin melalui proses tahap demi tahap. Pendidikan Islam berarti pembentukan pribadi Muslim, yang berisi pengamalan sepenuhnya akan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, pribadi Muslim itu tidak akan tercapai atau terbina kecuali dengan pengajaran dan pendidikan Islam.
Kalau melihat kembali pengertian pendidikan Islam maka akan tergambar dengan jelas sesuatu yang diharapkan dapat terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu terwujudnya pribadi-pribadi insan kamil/manusia seutuhnya; sehat jasmani dan rohani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Ironis bila melihat kondisi pendidikan saat ini yang lebih berorientasi kepada ijazah dalam rangka kualifikasi pekerjaan dan gaji. Bila diibaratkan pendidikan itu adalah jasad, maka yang menjadi ruhnya adalah tujuan pendidikan yang sesuai dengan fitrah atau potensi setiap manusia yang lahir Apabila Nabi Muhammad saw diutus sebagai penyempurna akhlaq manusia. Maka inti dari pendidikan islam adalah character building. Pembentukan mental dan karakter yang sesuai dengan ajaran islam. Maka, apabila orientasi pendidikan adalah bagaimana kelak sang anak bekerja dan menghasilkan uang, pendidikan khususnya di indonesia akan menjadi jasad tanpa ruh, hanya seonggok daging yang tidak bernilai dan amat tidak sesuai dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan fitrah ilahiyah.
Dengan berbagai macam fenomena negatif yang terjadi dalam dunia pendidikan khususnya dalam orientasi dan asumsi masyarakat akan pendidikan yang tidak sesuai dengan fitrah. Harus ada suatu masa dimana ijazah dan tingkat lulusan bukan menjadi prioritas utama untuk dihargai. Namun kompetensi lah, yang harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian pendidikan islam akan lebih memiliki nilai dan tidak seperti jasad yang mati tanpa ruh.
B. Implikasi paedagogis al-ruh pada guru (ruh al-mudarris)
Banyak pandangan di kalangan pemerhati pendidikan, bahwa keberhasilan sebuah pengajaran dalam pendidikan sangat ditentukan oleh materi pengajaran (al-maddah), metode pengajaran (at-tharîqah) dan pengajar itu sendiri (al-mudarris, al-mu’allim). Namun sangat disayangkan, masih banyak di kalangan pemerhati pendidikan yang kurang perhatian terhadap pentingnya ‘menghadirkan ruh guru’ dalam pembelajaran. Padahal, guru yang sepenuh hati dengan segala kemampuan yang dimilikinya perlu mendapatkan dorongan atau tenaga tambahan sehingga ‘sang guru’ (murabbi, mu’allim, mudarris, muzakki dan muhadzdzib), benar-benar tampil prima dengan segala keperibadiannya.
Oleh karenanya, kehadiran guru dengan segala ‘ruh baik’nya benar-benar menjadi cerminan guru yang sesungguhnya. Maka istilah guru ‘digugu dan ditiru’ dengan murid yang mengikutinya (di mana murid pengertiannya adalah orang yang benar-benar memiliki kehendak, berasal dari arâda yurîdu irâdatan fahuwa murîdun), dapat seiring dan sejalan, berjalin dan berkelindan sesuai dengan tujuan pendidikan dalam Islam. Dengan demikian dilihat dari sisi kedudukan, baik materi pengajaran, metode pengajaran dan pengajar itu sendiri memiliki kedudukan yang sama pentingnya. Namun secara prioritas, dalam prakteknya metode lebih penting dari materi, guru lebih penting dari metode dan menghadirkan ruh guru jauh lebih penting dari guru. (al-tharîqah ahammu minal maddah, wal mudarris ahammu minat tharîqah wa rûhul mudarris ahammu minal mudarris).
C. Implikasi paedagogis al-ruh terhadap komunikasi dalam pendidikan
Komunikasi dalam pendidikan merupakan hal yang penting. Karena dengan komunikasi, suatu tujuan dan keinginan bisa diketahui dan difahami. Pendidikan tidak bisa berjalan tanpa adanya komunikasi. Komunikasi yang efektif dalam pendidikan merupakan sarana atau wasilah dalam pencapaian keberhasilan pendidikan.
Konsep al-ruh memiliki implikasi paedagogis terhadap komunikasi dalam pendidikan. Salah satunya adalah konsep qaul baligh yang Secara bahasa baligh artinya fasih.[15] Atau dalam arti lain baligh adalah ucapan yang mengena dan membekas. Para pendidik dalam proses mengajar belajar perlu menerapkan prinsip Qaulan Baligha yang diartikan sebagai pembicaraan yang fasih atau tepat, jelas maknanya, terang, serta tepat mengungkapkan apa yang dikehendakinya atau juga dapat diartikan sebagai ucapan yang benar dari segi kata. Dan apabila dilihat dari segi sasaran atau ranah yang disentuhnya dapat diartikan sebagai ucapan yang efektif. Term Qaul baligh ini terdapat dalam Al-Quran:
y7Í´¯»s9'ré& úïÉ©9$# ãNn=÷èt ª!$# $tB Îû óOÎhÎ/qè=è% óÚÌôãr'sù öNåk÷]tã öNßgôàÏãur @è%ur öNçl°; þ_Îû öNÎhÅ¡àÿRr& Kwöqs% $ZóÎ=t/
mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.[16]
Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim kepada Rasulullah saw, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup memberi nasehat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang baligh. Term balīgh, yang berasal dari ba la gha, oleh para ahli bahasa dipahami sampainya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Juga bisa dimaknai dengan “cukup” (al-kifāyah). Sehingga perkataan yang balīgh adalah perkataan yang merasuk dan membekas dalam jiwa.[17] Sementara menurut al-Ishfahani,[18] bahwa perkataan tersebut mengandung tiga unsur utama, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehendaki, dan isi perkataan adalah suatu kebenaran. Sedangkan term balīgh dalam konteks pembicara dan lawan bicara, adalah bahwa si pembicara secara sengaja hendak menyampaikan sesuatu dengan cara yang benar agar bisa diterima oleh pihak yang diajak bicara.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balīgh, antara lain;[19]
1. Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disampaikan Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
2. Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara Kesesuaian dengan tata bahasa.
Bila konsep ini diaplikasikan maka akan tercipta suasana belajar yang kondusif. Baligh atau fasih inilah ruh dari sebuah proses komunikasi. Komunikasi yang tidak baligh dan fasih diibaratkan jasad yang tidak memiliki ruh. Proses komunikasi menjadi tidak efektif, tidak bernilai dan minus manfaat. Oleh karena itu salah satu cara pengefektifan proses komunikasi dalam pendidikan adalah dengan bahasa yang baligh dan fasih. Wallahu a’lam.
3. Simpulan
Implikasi konsep al-ruh terhadap pendidikan merupakan salah satu usaha dalam rangka menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama hidup. Konsep-konsep yang baik dan efektif seharusnya bisa dimunculkan dari kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya (Al-Qur’an) dengan memahami konsep al-ruh baik secara teks, konteks dan memahami fungsi serta perannya juga implikasinya terhadap tujuan pendidikan, guru dan komunikasi dalam pendidikan, akan membantu para praktisi pendidikan khususnya para pendidik islam untuk mulai menjadikan Al-Qur’an sebagai referensi utama dalam proses mendidik. Wallahu a’lam.
Daftar Pustaka
Al-Ishfahani, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'an, Beirut: Dar al-ma'rifah, tt.
Amin, Ahmad, Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa al-Suhrawardi, cet. III, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1966.
Damej, M. Amin, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Kitab al-Ruh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, cet. I, Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1986.
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, Raudah al-Muhibbin wa Nuzah al-Mushtaqin, Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi tt.
Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah. Daar Al-Mashriq, Beirut. Th.1986.
Manzur, Ibn, Lisan al-'Arab, ttp, Dar al-Ma'arif, t.th..
Mubarok, Achmad, Jiwa dalam Al-Qur'an, Jakarta: Paramadina, 2000.
Najati M. 'Uthman, Al-Dirasah al-Nafsaniyyah 'inda al-'Ulama' al-Muslimin, terj., Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Othman, Ali Issa, Manusia menurut Al-Ghazali, cet. II, Bandung: Pustaka, 1987.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Jilid 2, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000
Redaksi, Dewan, Ensklopedi Islam vol. 4, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993.
Sina, Ibn, Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuasd al-Ahwani Kaira: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 1952.
Taimiyah, Ibn, Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh, tt.
Warson, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984.
[1] Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), 128.
[2] Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, ttp (Dar al-Ma'arif, t.th), 1763-1771. Lihat juga, Ahmad Warson M., Al-Munawwir (Yogyakarta: Pesantren Al-Munawwir, 1984), 1232.
[3] Ibn Taimiyah, Risalah fi al-'Aql wa al-Ruh dalam M. Uthman Najati, al-Dirasah..., 342.
[4] M. Amin Damej, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyyah, 1970, 36-37.
[7] Ibid,41
[8] Ibn Qayyim al-Jauziyah, Kitab al-Ruh, ditahkikkan oleh Sayyid Jamili, cet. Iv (Bairut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1986), 276.
[9] Ibnu Qayyim Al Jauziyah,Opcit. 252-255.
[10] Ibn Sina, Ahwa al-Nafs, ditahkik oleh Ahmad Fuasd al-Ahwani (Kaira: Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, 1952), 258.
[11] Ibid. 147
[12] 'Uthman, Najati, M., Al-Dirasah al-Nafsaniyyah 'inda al-'Ulama', al-Muslimin, terj. (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 144.
[13] Ahmad Amin, Hayy bin Yaqzan li Ibn Sina wa Ibn Tufail wa al-Suhrawardi, cet. III (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1966), 37-38.
[14] Ibid. 149.
[15] Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah. (Daar Al-Mashriq, Beirut; 1986). Hal. 48.
[16] QS Annisaa 4;63
[17] Ibn 'Asyur, al-Tahrir, jilid 4, h. 978.
[18] Al-Ishfahani, al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur'an, (Beirut: Dar al-ma'rifah, tt.), ditahqiq oleh Muhammad Sayyid Kailani,, dalam term balagha, h. 60.
[19] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), jilid 2, h. 468.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar