Minggu, 03 April 2011

Hakikat Madrasah Diniyah

1.      Pendahuluan
Pendidikan sebagai proses menolong manusia menjadi manusia pada konteks kekinian menjadi hal yang urgen. Mengingat pertumbuhan jumlah manusia yang semakin banyak dan kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Termasuk kebutuhan manusia akan pendidikan. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal  yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.[1]
Dalam Pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, kelembagaan pendidikan biasanya berada dibawah naungan Kementerian Agama. Madrasah, dalam hal ini memiliki peranan penting dalam proses memanusiakan manusia secara islami. Dengan demikian pendidikan formal dan non formal menjadi saling melengkapi kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang Islami secara menyeluruh.
Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggaran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.
Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat.

2.      Pengertian Pendidikan Non-Formal
Pendidikan nonformal sebagaimana telah dijelaskan tadi merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal  yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Yang menjadi sasaran Pendidikan nonformal adalah warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Jenis Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja. Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B dan Paket C, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik seperti: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan Pendidikan Penyelenggara; Kelompok bermain (KB), Taman penitipan anak (TPA), Lembaga kursus, Sanggar, Lembaga pelatihan, Kelompok belajar, Pusat kegiatan belajar masyarakat, Majelis taklim dan Madrasah Diniyah Takmiliyah, sebagai pelengkap pendidikan Agama Islam.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.[2]
3.      Madrasah Diniyah sebagai pendidikan Non-formal
a.      Sejarah Madrasah Diniyah
Madrasah diniyah sebagai salah satu institusi islam, mulai eksis seiring dengan nafas perkembangan islam. Pada awal perkembangan islam madrasah diniyah belum tampak secara jelas, meski prakteknya telah dilakukan secara tidak langsung. Sebagai contoh, ketika Rasulullah masih di Mekkah para sahabat belajar tentang islam kepada beliau di rumah al Arqam bin Abi al Arqam. Pada saat Rasulullah berhijrah ke Madinah, teras mesjid Nabawi (shuffah) dijadikan sebagai tempat belajar ilmu-ilmu agama oleh Rasulullah dan sahabatnya. Sehingga sekitar 400 murid yang dimiliki Rasulullah waktu itu sering disebut sebagai ahlu al shuffah. Dengan demikian keberadaan shuffah menjadi tempat yang sangat vital, bahkan ketika Nabi Saw. telah meninggal dan dilanjutkan oleh sahabat-sahabat beliau. Ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah, untuk pertama kalinya dilakukan pemugaran masjid. Fungsi shuffah sebagai tempat transformasi pengetahuan menjadi semakin penting. Kodifikasi dan  tashih al Qur’an dilakukan di sini, juga penyusunan ilmu nahwu yang dilaksanakan oleh Zaid bin Haritsah yang sekaligus sebagai ketua tim pengkodifikasian al Qur’an.
Shuffah masjid Nabawi hampir menyerupai lembaga madrasah ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dengan diterapkannya kegiatan belajar-mengajar di tempat ini. Dua bait sya’ir “alala tanalul al ‘ilm” yang dikarang oleh Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu buktinya. Sya’ir ini mampu mengerakkan umat islam untuk selalu giat belajar dan mendatangi ulama-ulama di berbagai daerah, seperti Madinah, Kuffah, dan Bashrah.
Meski demikian kota Madinah tetap memiliki peran sentral sebagai pusat studi islam, terutama hadits. Sehingga ketika term madrasah mulai muncul, Madinah lebih dikenal sebagai tempatahl al hadits atau sebagai pusat ahl hadits, dengan tokohnya antara lain, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ja’far, dan Ibnu Sirin.
Di masa Dinasti Umayah istilah madrasah sudah dikenal secara luas. Namun maknanya bukan sebagai sebuah institusi pendidikan, melainkan aliran pemahaman dan tradisi. Di bidang agama dikenal dua madrasah, yakni madrasah al hadits yang berpusat di madinah dan madrasah ahl al ra’y yang berpusat di Bashrah.  Di bidang bahasa (madrasah al nuhat) terdapat tiga madrasah terkenal. Yaitu madrasah al Hijaz, madrasah al Kuffah, dan madrasah al Bashrah dengan ciri aliran dan pemikiran yang berbeda.
Sekitar abad V Hijriyah atau IX/X Masehi institusi madrasah mulai didirikan dan dikembangkan, sejalan dengan perkembangan islam yang telah meluas dalam bentuk aliran atau mazhab dalam bidang fiqh, ilmu kalam atau tasawwuf, dan ilmu pengetahuan lain yang mencakup bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai ilmu lainnya.
Aliran-aliran yang timbul sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan ini saling berebutan dan mencari pengaruh di kalangan umat islam, dan berusaha untuk mengembangkannya. Sehingga terbentuklah madrasah-madrasah pada masa itu yang dihubungkan dengan mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki, atau Hambali dalam bidang ilmu fiqh.
Sejarah mencatat, bahwa institusi madrasah yang pertama kali didirikan dalam sejarah islam ialah madrasah al Baihaqiyyah dan madrasah al Sa’idiyyah di Nisyapur yang didirikan oleh Sabaktikin saudara dari raja Mahmud pada abad ke-9 M. Keduanya berhaluan syi’ah dan lebih banyak  meniru model pendidikan Persia bernama Miyan Dahiyyah, yang mengajarkan pendidikan agama, filsafat dan pengetahuan lainnya yang berkembang di Baghdad waktu itu.[3]


b.      Madrasah Diniyah di Indonesia
Madrasah Diniyah di Indonesia menjadi sebuah lembaga yang telah berhasil melahirkan lulusan-lulusan yang kompeten dalam bidang Agama Islam. Lembaga pendidikan jenis ini mungkin lebih tepat disebut sebagai pendidikan non formal. Biasanya jam pelajaran mengambil waktu sore hari, mulai ba’da ashar hingga maghrib. Atau, memulai ba’da isya’ hingga sekitar jam sembilan malam. Lembaga pendidikan Islam ini tidak terlalu perhatian pada hal yang bersifat formal, tetapi lebih mengedepankan pada isi atau substansi pendidikan. 
Sudah menjadi kebiasaan bagi anak-anak desa, selain masuk sekolah dasar juga melengkapinya dengan sekolah agama. Pagi hari anak-anak masuk Sekolah Dasar sedangkan sore hari atau malam hari belajar di Madrasah Diniyah. Sebagian guru-guru SD tidak menyukai para muridnya merangkap belajar di madrasah, khawatir mengganggu pelajaran paginya di sekolah. Sikap guru tersebut tidak berani disampaikan secara terbuka, khawatir mendapatkan reaksi negative dari para pemuka agama. 
Madrasah Diniyah diselenggarakan oleh tokoh agama di desa. Biasanya memanfaatkan rumah pribadi mereka atau mengambil tempat di sebagian serambi masjid. Puluhan anak secara bersama-sama diajar di tempat itu. Para siswa juga tidak dipungut biaya. Guru yang mengajar di madrasah juga tidak dibayar apa-apa. Semua dijalani secara ikhlas untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam. 
Anak-anak desa berhasil mampu membaca al Qur’an biasanya melalui lembaga pendidikan seperti ini. Para santri diajari mulai dari mengenal huruf arab, belajar tajwid, nahwu dan shorof. Kebanyakan anak desa, terutama putra-putri kaum santri, didorong oleh orang tuanya belajar agama sore hari di lembaga pendidikan tersebut. Adanya lembaga pendidikan agama seperti ini, menjadikan tidak banyak orang mengeluh tentang terbatasnya jumlah jam pelajaran agama di sekolah. Berapapun jumlah jam pelajaran agama di sekolah umum sekolah dasar, tidak pernah dipersoalkan, tokoh para siswa sudah mengikuti pendidikan di madrasah diniyah ini. 
Para tokoh agama menganggap pendidikan diniyah tersebut sedemikian penting, sehingga sampai-sampai H.Mahmud Sayuthi (alm) tatkala menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama di Kabupaten Ponorogo menjalin kerjasama dengan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menyelenggarakan Madrasah Diniyah di sore hari bagi seluruh siswa sekolah dasar. Di sore hari gedung sekolah dasar digunakan untuk madrasah diniyah. Sedangkan para muridnya adalah sekaligus juga siswa sekolah dasar itu. Melalui cara ini, tidak pernah dikeluhkan oleh masyarakat tentang kekurangan jam pelajaran agama bagi para siswa sekolah umum. 
Masyarakat pedesaan yang kala itu masih melihat sesuatu dari aspek simboliknya, maka pendidikan madrasah dianggap sudah ideal, sekalipun tidak didukung oleh tenaga yang berkualitas serta sarana dan prasarana yang memadai. Bagi mereka yang terpenting bernama madrasah. Kualitas bagi mereka selalu terkait dengan symbol itu, yakni berupa nama yang melekat pada lembaga pendidikan dimaksud. Tidak sebagaimana madrasah diniyah yang hampir semuanya gratis, sekalipun masih terbatas jumlahnya masyarakat sudah mau ikut membiayai operasional madrasah dengan membayar SPP. 
Dengan didukung oleh semangat, keyakinan, dan rasa memiliki dari kalangan masyarakat, maka pada batas-batas tertentu kebutuhan dapat dicukupi, sehingga lembaga pendidikan tersebut dapat berjalan.
Dulu, madrasah diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal-para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri madrasah diniyah mampu memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi agama Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah.[4]

4.      Hakikat Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan Islam non-formal memiliki peranan yang penting dan lebih komfrehensif dalam mencetak generasi-generasi yang islami.[5] Khusus di pedesaan di tempat penulis berdomisili, Madrasah Diniyah atau Diniyah Takmiliyah sering disebut dengan Sakola Agama (Sekolah Agama) pengistilahan tersebut tidaklah salah mengingat Madrasah Diniyah bila diartikan secara bahasa Madrasah artinya tempat belajar Diniyah artinya keagamaan, artinya adalah tempat belajar ilmu-ilmu agama.
Madrasah Diniyah dulunya dipelopori oleh pesantren-pesantren. Pesantren yang asalnya dari kalimat pesantrian adalah tempat ditempanya para santri dengan berbagai macam pengetahuan ilmu Agama khususnya Agama Islam. Namun seiring dengan perkembangan zaman, jumlah manusia semakin bertambah, kebutuhan mereka akan pendidikan semakin bertambah, khususnya dalam pendidikan Agama, jumlah pesantren pun semakin banyak dan menjamur. Disinilah proses seleksi alam terjadi. Lembaga pesantren yang kurang besar ketika ditinggal kyainya (pemimpin) menjadi mati dan kehilangan santri-santrinya. Selain itu alumni-alumni dari pesantren-pesantren tersebut ada beberapa yang pulang dan mendirikan madrasah Diniyah dengan target santri yaitu penduduk sekitar. Dengan demikian MD sebetulnya bagian dari pesantren, namun lebih sederhana karena santrinya atau siswanya tidak tinggal di asrama melainkan pulang ke rumahnya masing-masing dan hanya mengambil waktu sore atau malam hari karena pagi harinya para santri bersekolah di sekolah-sekolah formal.
Madrasah Diniyah sebagaimana definisi pendidikan dari sudut pandang filsafatyaitu memanusiakan manusia. Artinya proses untuk menjadi manusia adalah proses agar manusia beragama bukannya mengetahui agama. Mengetahui agama tidaklah sulit namun beragama perlu perjuangan.[6] Oleh karena itu belajar agama bukanlah hanya mengetahui (knowing) dan melaksanakan (doing) tapi yang lebih penting dari itu semua adalah ruh atau isi dari semua halyang kita lakukan. Sehingga bila kita urutkan, dari bodoh menjadi tahu kemudian diamalkan dengan ikhlas juga istiqomah. Bila kita perhatikan bagaimana umat Nabi Muhammad pada masa para sahabat adalah umat yang terbaik, baik dari segi akidahnya, ibadahnya serta loyalitasnya dalam berjihad bersama Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan keberagamaan yang baik dan sempurna. Allah Berfirman :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[7]
Yang dimaksud الذين آمنوا dalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas sebagaimana dikutip oleh al-Qurthubi adalah orang-orang Yahudi dan nasrani yang masuk islam : Imam al-Qurthubi sendiri menambahkan makna alladzina aamanu bukan hanya orang nasrani dan yahudi saja tetapi juga termasuk orang munafiq :
Mereka sudah masuk islam tetapi mereka minta izin kepada Rosululloh SAW tetap ingin menjalankan syariat yang ada dalam kitab taurat dan injil untuk beribadah setiap hari sabtu, akhirnya turun ayat itu yang memerintahkan agar mereka menjalankan syariat islam dengan sungguh-sungguh dan mengenyampingkan agama mereka yang dulu, artinya agar mereka masuk islam dengan sepenuhnya bukan sepotong-sepotong.
[8]
Disinilah arti sesungguhnya dari beragama, bila dilihat dari kacamata kita sebagai muslim. Pertanyaannya adalah, mengapa keberagamaan kita tidaklah sebaik mereka? Banyak sekali alasannya namun diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir kelemahan kita adalah belajar itu hanya knowing dan doing tapi tidak disertai dengan being.[9] Ada beberapa tehnik yang dilakukan Nabi dalam mendidik para sahabatnya diantaranya; 1) peneladanan 2) pembiasaan. Dengan dua hal ini maka proses being a true muslim atau proses memanusiakan manusia menjadi efektif. Proses pembiasaan ini bila dilihat dari sudut pandang psikologi adalah proses pendekatan belajar yang dipelopori oleh Jost (Jost Law). Yaitu pendekatan belajar dengan cara mencicil yang dipandang berguna untuk materi-materi yang bersifat hafalan dan praktek ibadah.[10]
Intensitas Madrasah Diniyah dalam melaksanakan dua hal ini bisa dikatakan baik. Mengingat pertemuan guru (ustadz) dan siswa (santri) tercipta dalam nuansa yang lebih familier, dekat dan bersahaja. Artinya proses belajar lebih santai dan ringan. Disinilah proses peneladanan dan pembiasaan diterapkan. Sang ustadz menjadi panutan para santrinya, para santri terbiasa dengan sholat dan dzikir berjama’ah, mengaji bersama, makan bersama yang diawali dan diakhiri dengan berdo’a, dan hal-hal lain yang kemungkinan tidak terdapat pada pendidikan-pendidikan formal semacam sekolah pada pagi harinya. Bahkan pada saat-saat tertentu, sang Ustadz bisa menjadi penasehat spiritual dalam berbagai problematika kehidupan para santrinya. Kedekatan antara pendidik dan yang dididik pada Madrasah Diniyah menjadi nilai plus yang menjadikan Madrasah menjadi model pendidikan terbaik dari pada sekolah pada umumnya.
Alasan penulis menjadikan Madrasah Diniyah sebagai model pendidikan terbaik adalah, bahwasannya pondasi terpenting dari memanusiakan manusia adalah keberagamaan yang paripurna. Iman sebagai pilar, Islam sebagai bangunan, amal sholeh atau ihsan penyempurna sebuah bangunan, ilmu sebagai panduannya. Inilah yang menurut hemat penulis yang tidak terdapat atau mungkin kurang pada sekolah-sekolah formal pada umumnya. Sehingga, pendidikan non-formal dengan model Madrasah Diniyah bukan hanya pelengkap pendidikan formal di sekolah-sekolah, namun juga sebagai pendidikan yang utama dalam rangka memanusiakan manusia atau menolong manusia untuk memanusiakan manusia, Wallahu a’lam.


5.      Simpulan
Manusia muslim yang sesungguhnya adalah manusia yang being a true muslim. Yang tidak hanya knowing(mengetahui) dan doing( melaksanakan). Madrasah Diniyah sebagai bentuk pendidikan non formal tidak bisa dipandang sebelah mata hanya sebagai pelengkap pendidikan formal. Namun harus dijadikan model pendidikan utama dalam proses keberagamaan seseorang. 














                                      Daftar Pustaka
Dr. M. Roqib, M.Ag., Ilmu Pendidikan Islam.Yogyakarta, LKiS, Thn. 2009
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta, Rajawali press; 2010
Prof.Dr Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Thn. 2008







[5] Dr. M. Roqib, M.Ag., Ilmu Pendidikan Islam.(Yogyakarta, LKiS;2009). Hal.135.
[6] Prof.Dr Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya; 2008)hal. 223.
[7] Al-Quran, Surah Al-Baqarah, ayat; 208.
[9] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Opcit. Hal. 228.
[10]Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta, Rajawali press; 2010) hal.136.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar