Kamis, 17 Maret 2011

Negara Madinah


Negara Madinah merupakan sebuah tipikal dari sebuah pemerintahan yang ideal, Negara ini dipimpin oleh seseorang yang juga adalah seorang nabi utusan Allah, yaitu Nabi Muhammad SAW. Seorang Rasul yang memiliki sifat-sifat lahir dan batin, kesempurnaan, keutamaan, akhlak dan perbuatan-perbuatan yang bagus, sehingga semua orang tertarik kepada beliau.
Nabi Muhammad SAW adalah seorang pribadi yang paripurna, yang telah dibentuk oleh Allah sehingga terjauh dari kepalsuan hawa nafsu duniawi  yang menyesatkan. Beliau memiliki kemantapan hati dalam menghadapi cobaan dan selalu teguh dalam memegang prinsip-prinsip kebenaran, seorang sosok yang mampu membentuk orang-orang di sekitarnya menjadi orang-orang yang memiliki keteguhan jiwa, kelembutan hati dan sulit sekali dicari ai’b dan kekurangannya, padahal orang-orang yang beliau tempa adalah manusia-manusia yang bertemperamen keras di alam gurun padang pasir yang tandus. Dalam meletakkan dasar-dasar kepemimpinan, beliau menerapkan hukum islam yang berlandaskan wahyu, yang apabila dipandang dari sudut pandang kita sebagai umat islam, ini amatlah sangat ideal mengingat Al-Quran adalah asas dan pedoman Umat Islam.
Awal mula pemerintahan di Negara Madinah ini diawali semenjak masuknya Islam, yang ditandai dengan antusiasme masyarakat Madinah yang sebelumnya bernama kota Yathrib ini terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad. Sehingga setelah Bay’at al-‘Aqabah, tersebarlah pemeluk Islam yang menyambut kedatangan Rasulullah SAW dengan sukacita, yang secara tidak langsung telah membai’at beliau sebagai pemimpin umat Islam, baik secara agama, politik maupun pemerintahan. [1]  
Ketika berada di Madinah kondisi masyarakat Madinah sendiri sebelum masuknya Islam merupakan masyarakat yang majemuk, yang kemudian disatukan oleh aqidah islamiyah yang walaupun setelah berdirinya negara Islam di Madinah, tidak serta merta seluruh penduduk Madinah menjadi muslim, ada beberapa golongan yang bertahan dengan agama sebelumnya. Dengan demikian negara Madinah dengan syari’at Islam sebagai dasar hukumnya, menerapkan sikap toleransi atau tasamuh bagi setiap warganya, khususnya kepada umat selain Islam.
Kondisi umat islam di Madinah amat jauh berbeda dengan kondisi mereka sebelum hijrah, pada saat di Makkah mereka hidup dalam kondisi yang amat kritis, walaupun mereka adalah orang-orang yang luar biasa namun mereka hidup terpisah-pisah di dalam keluarga-keluarga dan tidak memiliki kekuasaan atas diri mereka.  Ketika di Madinah mereka benar-benar memiliki kekuasaan atas diri mereka sendiri, sehingga mampu menciptakan suatu masyarakat yang baru, sebagai awal mula berdirinya Negara Madinah.
Perintah berjihad, untuk membela agama, kehormatan dan harta mulai disyari’atkan di Madinah, ketika kondisi umat Islam sudah lebih memungkinkan untuk melaksanakan peperangan, pada periode ini pula terjadi serangkaian peperangan dan penaklukan beberapa wilayah. Hanya dalam kurun waku kurang dari 10 tahun, Islam mulai meraih kegemilangan baik dalam dakwah, pemerintahan dan kekuasaan. Dengan demikian, Madinah bisa menjadi contoh terbaik pengelolaan sebuah negara.


B.   Perumusan Masalah
           Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan diantaranya :
1.    Bagaimanakah Negara Madinah didirikan?
2.    Bagaimanakah Praktik Kenegaraan Rasulullah SAW?
3.    Bagaimanakah bentuk Negara yang dipimpin Rasulullah SAW?
4.    Apa sajakah kemajuan yang telah dicapai Rasulullah SAW?
5.    Bagaimanakah system pemerintahan serta bermasyarakat yang diterapkan Rasulullah SAW?
C.   Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui bagaimana Negara Madinah didirikan.
2.    Untuk mengetahui  Praktik Kenegaraan Rasulullah SAW.
3.    Untuk mengetahui bentuk Negara yang dipimpin Rasulullah SAW.
4.    Untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapai Rasulullah SAW.
5.    Untuk mengetahui system pemerintahan serta bermasyarakat yang diterapkan Rasulullah SAW.
D.   Pembatasan Masalah
Pembahasan tentang Negara erat kaitannya dengan masalah politik, sosial dan ekonomi, termasuk pendidikan, dan ini amatlah luas. Maka penulis membatasi hanya pada bidang politik dan keamanan serta kemasyarakatan dalam ruang lingkup Negara Madinah.






BAB II
Pembahasan
A.   Hijrahnya Rasulullah Sebagai Awal Mula Pendirian Negara Madinah
Hijrahnya Rasulullah SAW beserta umatnya dari Mekkah menuju Madinah, Merupakan awal tonggak sejarah dunia baru Islam, yang kemudian ditetapkanlah peristiwa hijrah ini sebagai awal tahun Hijriyah, atau yang kita kenal sebagai tahun Islam. Pada Peristiwa Hijrah ini banyak terjadi berbagai kejadian yang luar biasa yang membuat orang berdecak kagum. Betapa seorang yang terlahir sebagai yatim dan buta huruf mampu mengerakkan sejumlah orang berhijrah, ke suatu tempat dengan jarak kurang lebih 500 KM, dalam kondisi yang amat kritis dan mengkhawatirkan karena intimidasi dari pihak Musyrikin Quraisy. Mereka berhijrah dengan meninggalkan harta benda, keluarga dan semua yang mereka miliki demi menjunjung tinggi keyakinan mereka. [2]
Proses Hijrah itu sendiri tidaklah mudah, penuh dengan pengorbanan. Khususnya ketika Sang Nabi, beserta salah seorang sahabat karibnya Abu Bakr berhijrah menyusul umatnya yang telah terlebih dahulu berada di kota Madinah. Dengan kecerdasan beliau yang juga dibantu dengan wahyu, beliau berhasil menyusun strategi untuk menghindar dari pengejaran kaum Musyrikin Quraisy yang bertujuan unuk menggagalkan keberangakatan beliau ke Madinah, bahkan berniat membunuhnya. Bahkan seorang ‘Aliy Bin Abi Thalib, rela mempertaruhkan nyawanya dengan tidur di tempat Nabi SAW, yang sudah diincar untuk dibunuh oleh kaum Musyrikin Quraisy. Betapa sebuah bukti keimanan yang mencengangkan dan patut dijadikan contoh bagi umat-umat setelahnya. [3]

B.   Asal Mula Kota Madinah
Kota Madinah yang sebelumnya bernama kota Yathrib adalah sebuah daerah yang subur dan berkebun dan merupakan kumpulan dari oase-oase yang tersebar mengikuti dari gugusan bukit Al-Madinah, yang diapit dua dua dataran tinggi Al-Bazilt (krikil-krikil hitam). [4]
Penduduk kota Madinah, terdiri dari beberapa kelompok diantaranya adalah warga Yahudi. Dahulu semasa mendapat tekanan dari bangsa Asyur dan Romawi, mereka berpihak kepada orang-orang Hijaz, walaupun sebenarnya mereka adalah orang Ibrani. Namun setelah mereka bergabung dengan orang-orang Hijaz, mereka hidup dengan ala Arab, berbahasa Arab dan berpakaian Arab pada umumnya, sehingga nama kabilah dan nama-nama mereka juga menggunakan nama Arab, serta mereka pun kawin dengan orang-orang Arab. Dengan kebiasaan mereka bertani dan beternak menjadikan kota Madinah sebagai kota pertanian yang menghasilkan kurma, anggur, dan delima juga  peternakan serta kerajinan tangan, Mereka mengambil mengambil keuntungan sekian kali lipat dari orang-orang Arab secara keseluruhan dan juga menerapkan riba.
Di Madinah mereka mempunyai tiga kabilah yang terkenal yaitu: 1) Bani Qainuqa’. Yang menjadi sekutu Khajraj 2) Bani Nadhir 3) Bani Quraizhah, yang menjadi sekutu Aus bersama dengan Bani Nadhir yang menetap di pinggir kota Madinah. Sedangkan warga lain yang menduduki kota Madinah adalah warga Arab yang berasal dari Yaman. Mereka terdiri dari dua kabilah, yaitu kabilah Aus dan kabilah Khajraj. Karena jumlah warga Arab dikhawatirkan berkembang, warga Yahudi melakukan politik adu domba agar mereka tidak bersatu. Bani Quraidhah dan Bani Nadhir mendukung kabilah Aus, sedangkan Bani Qainuqa mendukung kabilah Khajraj. Antara keduanya selalu berseteru. Perseteruan terakhir adalah Perang Buath, lima tahun sebelum hijrah Rasulullah SAW.
Perdamaian tercapai dengan diangkatnya Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Tetapi, dengan hijrahnya Rasulullah SAW. kepemimpinan Bin Salul tergeser, dan akhirnya dia memusuhi Rasulullah SAW. dan memelopori kaum munafikun. [5]

C.   Praktik Kenegaraan pada masa Nabi Muhammad SAW
Di kota Mekkah, kota tempat lahirnya Islam, ajaran-ajaran wahyu ilahi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW belum begitu efektif berjalan di tengah-tengah hegemoni politik dan ekonomi kaum terkemuka Musyrikin Quraisy.  Umat Islam pada periode Makkah sebagian besar hanya terdiri dari orang-orang yang tertindas dan mengalami ketidakadilan dalam tatanan masyarakat kala itu. Sehingga mereka masih minoritas dan belum dapat tampil sebagai komunitas yang bisa berdakwah dan merubah tatanan masyarakat Qurasiy Makkah yang timpang tersebut. Oleh karena itu kita melihat beberapa surat Makkiyah hanya berkisar pada masalah dasar-dasar Islam, syari’at-syari’at yang pengamalannya bisa dilaksanakan masing-masing individu, anjuran kepada kebaikkan, kebajikan, akhlak yang mulia, penjauhan keburukan dan kehinaan. [6]
Berbeda dengan keadaan umat Islam setelah berada di Madinah, setelah hijrahnya Muhammad SAW bersama umatnya pada 622 Masehi. Keberadaan Nabi dan ajaran Islam yang dibawanya sudah mendapat tempat dan simpati. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa Bay’at al-‘Aqabah setahun sebelum beliau hijrah. Yang dimulai ketika musim haji tahun ke sebelas dari Nubuwah, tepatnya bulan Juli 620 M, enam orang penduduk Yathrib yang kemudian melihat seorang Muhammad, sebagai Utusan Allah, akan lebih bisa berbuat adil dari pada seorang Ubbay, yang akan diangkat sebagai pemimpin kota Madinah. Mereka tidak kaget dengan ajaran Nabi Muhammad tentang keesaan Tuhan, karena mereka terbiasa hidup bersama orang-orang Yahudi, yang memang memiliki keyakinan akan keesaan Tuhan. Hasilnya, sebanyak 12 orang penduduk Yathrib (nama kota Madinah sebelum diganti), pada musim haji berikutnya menyatakan keislamannya. Dalam Bai’at Al-‘Aqabah, mereka menyatakan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah, meninggalkan segala perbuatan jahat dan menaati Nabi Muhammad SAW. Kedua belas orang penduduk tersebut menurut catatan Ibn Hisyam, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Iqbal adalah: (1) As’ad ibn Zura’ah, (2) ‘Awf ibn Harts, (3) Mu’adz ibn Harts, (ketiganya berasal dari Bani Najjar), (4) ‘Ubadah ibn Shamit, dan (7) Yazid ibn Tsa’labah, (keduanya dari Bani ‘Awf), (8) ‘Abbas ibn ‘Ubadah dari Bani Salim, (9)’Uqabah ibn ‘Amir, (10) Quthbah ibn ‘Amir, (kedua bersaudara ini berasal dari Bani Salamah), (11) Malik Abu al-Haitsam ibn al-Taihan dari Bani ‘Abd al-Asykal, serta (12) ‘Uwain ibn Sa’idah dari Bani ‘Amr ibn ‘Awf. [7]
Pada tahun berikutnya, yaitu tahun ke tiga belas dari Nubuwah, sebanyak 73 orang Yathrib yang sudah memeluk Islam datang kembali ke Makkah mempertegas pengakuan keislaman mereka dan pembelaan kepada Nabi Muhammad. Dalam kesempatan ini mereka mengajak Nabi untuk berhijrah ke Madinah yang selanjutnya dikenal dengan Bai’ah al-‘Aqabah kedua.
Peristiwa-peristiwa bersejarah inilah yang kemudian merubah kondisi Nabi Muhammad beserta  umat Islam dari kelompok tertindas menjadi kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Peristiwa-peristiwa ini pula yang menjadikan titik awal pendirian Negara Madinah. Di kota yang baru ini Nabi Muhammad baru bisa secara efektif menerapkan syari’at dan ajaran Islam yang berdimensi sosial untuk menciptakan komunitas masyarakat baru yang beradab, yang didukung penuh penduduk Madinah sendiri yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj. Maka dengan tatanan masyarakat yang baru dan stabil inilah Nabi Muhammad mulai menyusun suatu kekuatan sosial-politik dalam sebuah Negara Madinah. [8]
Hijrah dari Makkah ke Madinah bukan hanya sekedar berpindah dan menghindarkan diri dari ancaman dan tekanan orang kafir Quraisy dan penduduk Makkah yang tidak menghendaki pembaharuan terhadap ajaran nenek moyang mereka, tetapi juga mengandung maksud untuk mengatur potensi dan menyusun srategi dalam menghadapi tantangan lebih lanjut, sehingga nanti terbentuk masyarakat baru yang didalamnya bersinar kembali mutiara tauhid warisan Ibrahim yang akan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui wahyu Allah SWT. Islam mendapat lingkungan baru di kota Madinah. Lingkungan yang memungkinkan bagi Nabi Muhammad SAW untuk meneruskan dakwahnya, menyampaikan ajaran Islam dan menjabarkan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah tiba dan diterima penduduk Yathrib, Nabi diangkat menjadi pemimpin penduduk Madinah. Sehingga disamping sebagai  pemimpin agama, Nabi SAW juga menjabat sebagai kepala pemerintahan negara Islam.

Kemudian, tidak beberapa lama orang-orang Madinah non Muslim berbondong-bondong masuk agama Islam. Untuk memperkokoh masyarakat baru tersebut mulailah Nabi meletakkan dasar-dasar untuk suatu masyarakat yang besar, mengingat penduduk yang tinggal di Madinah bukan hanya kaum muslimin, tapi juga golongan masyarakat Yahudi dan orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang. Maka agar stabilitas masyarakat dapat terwujudkan Nabi mengadakan perjanjian dengan mereka, yaitu suatu piagam yang menjamin kebebasan beragama bagi kaum Yahudi.  Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Di sanping itu setiap masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan musuh.
Beberapa langkah penting yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika pertama kali berada di Madinah diantaranya adalah dengan mendirikan tempat peribadatan dan pertemuan yang berupa Masjid. Dengan adanya Masjid itu, selain dijadikan sebagai tempat peribadatan penduduk madinah juga memanfaatkannya sebagai pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili perkara-perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi dagang.. Nabi muhammad sendiri yang merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma, yang pada waktu itu, masih berkiblat ke Bayt A-Muqaddas, dan berpindah kiblat ke Ka’bah pada Tahun kedua Hijriyah tepatnya pada Sholat Dhuhr, hari selasa pertengahan Sya’ban. Di dekat masjid itu dibangun pula tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya. [9]
Para pengikut Nabi Muhammad SAW yang berhijrah dari Makkah ke Madinah  yang dikenal sebagai Orang-orang Muhajirin, adalah orang-orang yang memiliki keyakinan terhadap apa yang mereka anut, yaitu ajaran Islam. Hanya itu bekal mereka. Dan dengan bekal itu pula Nabi mempersatukan golongan Muhajirin dan Anshor dalam suatu persaudaraan dibawah satu keyakinan yaitu bendera Islam. Salah satu contohnya, Nabi Muhammad SAW mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja'far bin Abi Thalib dengan Mu'az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan keturunan. [10]
Setelah Nabi SAW resmi menjadi penduduk Madinah, Beliau langsung mengadakan perjanjian untuk saling bantu-membantu atau toleransi antara orang Islam dengan orang non Islam. Selain itu Nabi SAW mengadakan perjanjian yang intinya memberikan kebebasan menjalankan agama dan memutar kekayaan, tidak boleh saling menyerang dan memusuhi.
Dengan terbentuknya masyarakat baru Islam di Madinah, orang-orang kafir Quraisy bertambah marah, maka terjadi peperangan yang pertama yaitu perang Badar yang berjarak kurang lebih 85 mil dari kota Madinah, pada tanggal 8 Ramadlan, tahun ke dua Hijriyah, atau 624 M, dengan jumlah Muslim yang terjun ke medan perang 300 orang melawan kurang lebih seribu musuh dari kaum musyrikin Quraisy, yang apabila dilihat dari jumlah amatlah tidak seimbang, namun dengan pertolongan Allah dan kepemimpin seorang Nabi Muhammad SAW, Islam pun meraih kemenangan. [11]
Selain menyatukan jalinan hubungan dengan sesama muslim, antara kaum Muhajirin dan Anshor, Nabi Muhammad SAW juga menyatukan jalinan hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka.
Perjanjian tersebut diwujudkan melalui sebuah piagam yang disebut dengan Mîsâq Madînah atau Piagam Madinah. Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan-peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk, dimana bergabung di dalamnya 3 kelompok masyarakat, yaitu umat Islam sendiri yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, orang-orang Yahudi (dari suku Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’; dan sisanya suku Arab yang masih menyembah berhala dan juga mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban negerinya, kehidupan sosial, persamaan derajat, dan disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjadi kepala pemerintahan di Madinah.[12]
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah setelah hijrah itu sudah dapat dikatakan sebagai sebuah negara, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negaranya. Dengan terbentuknya Negara Madinah, Islam makin bertambah kuat. Perkembangan Islam yang pesat itu membuat orang-orang Mekah menjadi resah. Mereka takut kalau-kalau umat Islam memukul mereka dan membalas kekejaman yang pernah mereka lakukan. Mereka juga khawatir kafilah dagang mereka ke Suriah akan diganggu atau dikuasai oleh kaum muslimin.
Untuk memperkokoh dan mempertahankan keberadaan negara yang baru didirikan itu, Nabi SAW mengadakan beberapa ekspedisi ke luar kota, baik langsung di bawah pimpinannya maupun tidak. Hamzah bin Abdul Muttalib membawa 30 orang berpatroli ke pesisir Laut Merah. Ubaidah bin Haris membawa 60 orang menuju Wadi Rabiah. Sa'ad bin Abi Waqqas ke Hedzjaz dengan 8 orang Muhajirin. Nabi SAW sendiri membawa pasukan ke Abwa dan disana berhasil mengikat perjanjian dengan Bani Damra, kemudian ke Buwat dengan membawa 200 orang Muhajirin dan Anshar, dan ke Usyairiah. Di sini Nabi SAW mengadakan perjanjian dengan Bani Mudij.
Ekspedisi-ekspedisi tersebut sengaja digerakkan Nabi SAW sebagai aksi-aksi siaga dan melatih kemampuan calon pasukan yang memang mutlak diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan negara yang baru dibentuk. Perjanjian perdamaian dengan kabilah dimaksudkan sebagai usaha memperkuat kedudukan Madinah.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Madinah semakin bertambah pula persoalan yang muncul, diantaranya adalah Rongrongan dari orang Yahudi yang pada awal hijrahnya belaiu Ke Madinah. Orang Yahudi menerima kehadiran Nabi dan kaum Muslimin dengan baik. Mereka dapat bersahabat dan menjalin hubungan dengan kaum Muslimin dengan penuh kekeluargaan. Tetapi setelah mereka mengetahui bahwa Muhammad adalah Nabi yang terakhir yang bukan berasal dari golongan mereka (Bani Israil) sebagaimana yang tertulis dalam kitab Taurat dan berpindahnya kiblat dari Masjidil Aqsa ke Ka’bah serta berhasilnya rasulullah memegang kekuasaan dan peranan tinggi di Madinah, maka orang-orang Yahudi mulai mengadakan rongrongan dari dalam misalnya mengadu domba kaum Aus dan Khazraj, yang merupakan dua suku besar yang ada di Madinah. Disamping itu, mereka membuat keonaran dikalangan penduduk Madinah dan melanggar perjanjian yang telah disepakati.
        Rongrongan terhadap kaum Muslimin di Madinah juga dilakukan oleh kaum Munafik. Yaitu kelompok yang meskipun mengaku beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, akan tetapi mereka secara rahasia mengadakan tipu daya terhadap kaum muslimin. Kelompok ini dipimpim oleh Abdullah bin Ubay dengan cara menghasut dan memprovokasi diantara kaum Muslimin.
Rongrongan juga dilakukan oleh orang Quraisy yang tidak ingin melihat Islam semakin berkembang dan menjadi kuat. Oleh karena itu mereka berusaha mengadakan serangan dan tekanan terhadap umat Islam. Terhadap kelomppok ini, Rasulullah bersikap tegas, karena pada waktu itu ayat mengenai peperangan telah turun. Umat Islam di izinkan berperang dalam dua hal: 
a.    Untuk mempertahankan diri dan melindungi hak–hak miliknya. 
b.    Menjaga keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang-orang yang menghalang–halangi.
Pada tahun 9 Hijriyah dan 10 Hijriyah (630–632 M) banyak suku dari berbagai pelosok mengirim Utusan kepada Nabi bahwa mereka tunduk kepada Beliau serta menganut agama Islam, yang hal tersebut mengantarkan kepada  persatuan orang Arab pada saat itu. Dan ketika menunaikan haji yang terakhir atau disebut dengan Haji Wada tahun 10 Hijriyah (631 M) Nabi menyampaikan khotbahnya yang dikenal dengan Khutbatu al-Wada’ tentang kesempurnaan Agama Islam. Setelah itu Nabi kembali ke Madinah, yang kemudian beliau mengatur organisasi kemasyarakatan, petugas keamanan dan mengirim para Da’i ke berbagai daerah dan menyempurnakan beberapa hal. Lalu 2 bulan kemudian Nabi jatuh sakit, kemudian ia meninggal pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H atau 8 Juni 632 M. [13]
D.   Bentuk Negara Yang Dibentuk Oleh Rasulullah SAW
Negara Madinah bila dilihat dari system ketatanegaraan sudah dapat dikategorikan sebuah Negara, karena mengandung unsur-unsur konstitutif, yakni; 1)Ada wilayah teritorial 2)Ada rakyatnya 3)Ada pemerintahannya Juga Undang-undang dalam bentuk Piagam Madinah.[14] sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya “Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam bahwa Piagam Madinah sebagai konstitusi Negara Madinah memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang majemuk di Madinah.
Landasan tersebut adalah: semua umat Islam adalah satu kesatuan, walaupun berasal dari berbagai suku dan golongan. Hubungan intern komunitas muslim dan hubungan ekstern antara komunitas muslim dengan non-muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.
Menurut Dedi Ismatullah dalam bukunya Ilmu Negara Mutakhir, Menyebutkan Bahwa Konstitusi Madinah yang baru dibuat tersebut berfungsi sebagai sebuah konstitusi tertulis yang member landasan yuridis dan sosiologis bagi kehidupan bernegara. Terwujudnya Piagam Madinah membuktikan bahwa Nabi Muhammad memiliki sifat kenegaraan. Tidak hanya umat Islam, tetapi juga Non Islam yaitu orang-orang Yahudi, bisa terakomodir semua kepentingannya, sehingga umat Islam dan Yahudi bisa bersatu, bertetangga di bawah kepemimpinannya. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan serta persaudaraan di antara kaum muhajirin dan anshar, juga antara suku-suku di kalangan anshar sendiri. Di kalangan anshar, Nabi diakui telah merekat kembali hubungan antarsuku yang sebelumnya selalu  bermusuhan.[15]
Terhadap orang Yahudi, Nabi membangun persahabatan dan menghormati keberadaan mereka. Karena bagaimanapun, kaum Yahudi adalah penduduk Madinah juga yang telah tinggal sejak abad pertama dan kedua Masehi, jauh sebelum Nabi berhijrah ke sini. Sehingga tak heran bila kaum Yahudi diberikan kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Ditambah lagi kaum Yahudi pun mengakui kepemimpinan Nabi Muhammad. Hal ini tercermin dari kesediaan mereka untuk meminta putusan atas berbagai perkara kepada Nabi Muhammad SAW. [16]
Di dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala negara dalam  arti yang sesungguhnya, Nabi Muhammad dibantu oleh para sahabat dalam melindungi dan mengayomi rakyatnya. Termasuk melakukan berbagai diplomasi politik di luar negeri. Nabi SAW selaku penerima kekuasaan senantiasa melindungi rakyatnya, memenuhi kebutuhan mereka dan membawa mereka ke dalam kesejahteraan. Adapun acuan yang diterapkan Nabi SAW dalam perannya sebagai kepala Negara Madinah adalah berdasarkan perjanjian yang ada dalam konteks bai’at al-‘aqabah, di mana dalam perjanjian tersebut ada hak dan kewajiban secara berimbang antara kedua belah pihak.
Dalam praktiknya, Nabi Muhammad SAW menjalankan pemerintahan yang yang berazaskan Musyawarah dalam mengambil suatu keputusan politik, misalnya, dalam beberapa kasus Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat. Ada 4 cara yang ditempuh Nabi dalam mengambil keputusan politik, yaitu:
1.    Mengadakan musyawarah dengan sahabat senior. Dalam konteks ini misalnya bagaimana Nabi SAW dengan sahabat senior bermusyawarah mengenai tawanan Perang Badar. Abu Bakar meminta agar tawanan tersebut dibebaskan dengan syarat meminta tebusan dari mereka, sedangkan Umar menyarankan supaya mereka dibunuh saja.
2.    Meminta pertimbangan kalangan profesional. Dalam hal ini misalnya, Nabi menerima usulan Salman al-Farisi untuk membuat benteng pertahanan dalam perang Ahzab menghadapi tentara Quraisy dan sekutu-sekutunya dengan menggali parit-parit di sekitar Madinah.
3.    Melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar. Untuk hal ini dapat dilihat pada musyawarah Nabi dengan sahabat tentang strategi perang dalam rangka menghadapi kaum Quraisy Mekkah di Perang Uhud.
4.    Mengambil keputusan sendiri. Ada beberapa masalah politik yang langsung diputuskan Nabi SAW dan mengesampingkan keberatan-keberatan para sahabat, seperti yang terjadi dalam menghadapi delegasi Quraisy ketika ratifikasi Perjanjian Hudaibiyah.
Dalam menjalankan roda pemerintahan Negara Madinah, nampaknya Nabi Muhammad SAW tidak memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di bawah naungan wahyu Al Qur’an, beliau menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah tersebut kepada masyarakat Madinah. Sehingga tak heran, banyak kebijakan negara yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam menjalankan roda pemerintahan agar tetap stabil, di antaranya:
1.    Menciptakan persatuan dan kesatuan di antara komponen masyarakat negara Madinah.
2.    Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi membentuk lembaga hisbah, yang antara lain bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan pedagang di pasar.
3.    Untuk pemerintahan di daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur atau hakim.
4.    Mengangkat beberapa orang sahabat sebagai sekretaris negara.
5.    Menjalankan hubungan diplomatik dengan negara-negara luar.
6.    Mengangkat duta-duta ke negara-negara sahabat. Tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun ke-2 hijrah, Nabi Muhammad SAW mengangkat Amr ibn Umasyh al-Damari sebagai duta Islam ke Abbesinia. Ketika itu Umasyh masih belum masuk Islam.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW menegaskan kita bahwa beliau telah menjalankan perannya sebagai kepala Negara dengan baik. Semua yang dilakukannya terhadap umat kala itu merupakan tugas-tugas seorang sebagai kepala negara dalam pengertian modern saat ini. Sehingga kita sangat sulit menerima jika ada yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad hanyalah ditugaskan untuk menjalankan misinya sebagai Rasul Allah, penyampai wahyu, bukan pemimpin negara. Dan selain sebagai seorang Rasul dan Negarawan, beliau juga menjadi jenderal dan penakluk yang handal. Semua itu demi Allah, demi misi kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia adalah orang besar, lambang kesempurnaan insani dalam arti kata yang sebenarnya.
A.   Kemajuan yang dicapai Nabi Muhammad SAW
Banyak jasa dan kemajuan yang telah berhasil dicapai oleh Nabi Muhammad SAW dan telah dirasakan oleh umat manusia, baik pada zamannya maupun sesudahnya hingga pada akhir zaman kelak. Tidak banyak waktu yang diperlukan Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan agama ini bagi kaum muslimin. Dalam pada waktu itu pun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu; dikirimnya misi kepada Kisra (Gelar raja-raja Sasani), kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain supaya mereka sudi menerima Islam.
Tak sampai seratus lima puluh tahun sesudah itu, bendera Islam pun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah Barat, ke India, Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam [meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang], Irak, Persia dan Afganistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Sirenaika, Tunisia, Aljazair, Marokko, telah dicapai oleh misi Muhammad SAW.
Dan sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini panji-panji Islam tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol yang kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa dengan bermacam-macam cara kekerasan. Tidak tahan lagi mereka hidup. Ada di antara mereka yang kembali ke Afrika, ada pula yang karena takut dan ancaman berbalik agama berpindah dari agama asalnya kepada agama kaum tiran yang menyiksanya.
Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum Utsmani (Turki) memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di Konstantinopel. Dari sanalah ajaran Islam itu kemudian menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya panji-panji Islam itu berlipat ganda luasnya daripada yang di Spanyol.
Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita sekarang ini  memang belum ada agama-agama lain yang dapat mengalahkannya. Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu hanya karena adanya berbagai macaam kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah menambah kekuaatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripada-Nya



B.   Sistem Pemerintahan
Sesuai dengan naskh-naskh yang dibawa oleh Rasulullah berdasarkan firman-firman Allah SWT, maka oleh ulama Islam telah menjabarkan konsep pemerintahan Islam tersebut sesuai dengan kondisi yang berlaku pada setiap zamannya. Darul Islam ialah Negeri yang diperintahkan dengan pemerintah Islam dan dipimpin oleh kaum muslimin. Sedangkan Darul Harb ialah negeri yang tidak tunduk pada pemerintahan Islam dan kaum muslimin. Dan tanah air muslim ialah Darul Islam, dimanapun letaknya dan apapun rasnya, tetapi terikat dengan akidah yang diimaninya.
Adapun yang termasuk ke dalam golongan Darul Islam tersebut adalah:
1.    Darul ‘Adl, yaitu negeri yang menegakkan Islam secara utuh dan memelihara sunnah Rasulullah. Negara ini dikepalai oleh seorang Khalifah.
2.    Darul Bahy, yaitu satu Negara yang dikuasai para pemberontak terhadap Imam yang hak, sekalipun diberlakukan hukum Islam.
3.    Darul Bid’ah, yaitu negeri yang dikuasai dan diperintah para ahli bid’ah dan menegakkan bid’ahnya.
4.    Darul Riddah, yaitu Negara yang penduduknya telah murtad dan diperintah oleh orang-orang murtad, atau yang semula muslimin, kemudian membatalkan perjanjiannya secara sepihak serta menguasai Negara tersebut.
5.    Darul Maslubah, yaitu Negara yang dirampas dan diduduki orang kafir, yang pada mulanya Negara tersebut bagian dari Darul Islam.
Sementara Darul Harb digolongkan menjadi:
1.    Darul Harb yang mengikat satu perjanjian, atau disebut juga Darul ‘Ahdi.
2.    Darul Harb yang sama sekali tidak ada ikatan perjanjian.
Sebagai seorang negarawan dan pemimpin umat, Rasulullah SAW telah berhasil menciptakan roda pemerintahan Islam di bawah satu naungan kepemimpinan Islam. Setelah Rasulullah wafat, kaum muslimin melanjutkan system ini dengan memilih penggantinya. Pengganti Rasulullah dalam memerintah Negara Islam disebut Khalifah yang bertugas menegakkan syari’at Allah, memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syari’at ini dan memberlakukan kepada seluruh kaum muslimin secara adil dan bijaksana. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muslimin adalah manusia yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengatur bumi ini.

C.   Sistem Bermasyarakat
Rasulullah SAW dalam menjalankan pemerintahan selalu mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan yang lain. Azaz keadilan, kebebasan dan perdamain selalu diutamakan dalam menjalani system hidup bermasyarakat. Dan untuk mengokohkan masyarakat Islam, Rasulullah SAW telah melakukan berbagai hal yang mencakup:
1.    Persatuan dan kesatuan umat dibawah naungan Aqidah yang benar.
2.    Menciptakan system ekonomi yang kuat
3.    Melahirkan system pendidikan dan informasi yang menyeluruh
4.    Memperkuat system militer untuk mempertahankan Negara dan mengamankan rakyat.
5.    Menetapkan Syariat dan Undang-Undang bagi masyarakat untuk menciptakan keadilan.
Dan di antara pilar kekuatan umat Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah adalah tasyri’ atau qanun (hukum dan perundang-undangan) yang bersumber pada syari’at (tuntunan) ilahi dan memutuskan perkara dengannya. Syari’at adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan yang Islam dalam arti yang hakiki sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah.
Sebuah masyarakat tidak bisa dikatakan sebagai masyarakat Islam kecuali apabila menerapkan syari’at Ilahi dan merujuk kepadanya dalam seluruh aspek kehidupannya, baik yang bersifat ibadah (ritual) maupun muamalah (sosial). Sementara hukum dan undang-undang tadi merupakan salah satu kekuasaan utama bagi masyarakat Islam tersebut.[17]









BAB III
Penutup
Risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan bentuk sebuah kesempurnaan Syari’at Islam, yang sedemikian Universal, yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dari hal-hal yang paling ringan hingga hal-hal yang besar, seperti membangun sebuah peradaban, bahkan sebuah pemerintahan dalam bentuk Negara. Secara kasat mata, baik dari sudut pandang kita sebagai Muslim, maupun sudut pandang barat sekalipun, akan mengakui kepiawaian Nabi Muhammad sebagai pencetus dan pendiri sebuah system kenegaraan yang paripurna, Shaamil dan Rahmatan li ‘al aalamiin. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan eksistensi kepemimpinan beliau, oleh para pemimpin dunia pada saat itu, bahkan hingga sekarang. Selain dari kepribadian beiau yang menawan, Akhlak beliau yang mulia, kepiawaian beliau dalam memimpin negara, harus dijadikan contoh dan acuan para pemimpin masa kini, bahkan penerapan syri’at Islam sebagai dasar Negara yang ideal, benar-benar telah dibuktikan, dan selayaknya diterapkan pada pada praktek hokum, sosial, ekonomi dan pertahanan Negara-negara zaman sekarang ini. Sehingga, akan tercipta Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Wallahu a’lam







Daftar Pustaka

Al-Hafiz Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisy, Th 2008. Sejarah Rasulullah Riyadh:  Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah.
Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman, Th. 2007.  Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Dedi Ismatullah, Dr, SH., Th. 2006. Ilmu Negara Mutakhir, Kekuasaan, Hukum dan Masyarakat. Bandung: Pustaka Attadbiir.
Husein Mu’nis, Prof, Dr, Th. 1999. Al-Sirah Al-Nabawiyah, Upaya Reformulasi Sejarah Pejuangan Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Adigna Media Utama.
Ibn Hisyam, Th. 1997.  Sirah al-Nabi, Juz II. Beirut :  Darul Fikri.
Karen Armstrong, Th. 1991. Muhammad, The Biography of The Prophet, London: Phoenix Press.
Philip Khuri Hitti, Th. 2002. History Of Arabs, Revised, 10th Edition. Pallgrave:  Macmillan.
الإمام فطب الدين محمد بن علاء الدين على بن أحمد, 1997 تاريخ المدينة,  بيروت, لبنان :  دار الكتب العلمية.

https://hbis.wordpress.com/2010/08/16/sumpah-setia-baiah-aqobah-keduapenduduk-          yatsrib-dasar-penbentukan-negara-madinah/
http://limalaras.wordpress.com/2010/02/28/nabi-muhammad-saw-sebagai-pemimpin-agama-pemimpin-negara/





[1] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 212.
[2] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007). hal. 173
[3] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007)hal. 183.
[4] Husein Mu’nis, Prof, Dr, Al-Sirah Al-Nabawiyah, Upaya Reformulasi Sejarah Pejuangan Nabi Muhammad SAW,(Jakarta: Adigna Media Utama, 1999), hal. 20.
[5] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 204.
[6] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 198.
[7] Ibn Hisyam, Sirah al-Nabi, Juz II, (Beirut: Darul Fikri 1997), hal. 40-41
[8] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 200.
[9] الإمام فطب الدين محمد بن علاء الدين على بن أحمد, تاريخ المدينة, (دار الكتب العلمية: بيروت, لبنان1997), ص. 77
[10] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal.206
[11] Philip Khuri Hitti, History Of Arabs, Revised, 10th Edition (Pallgrave Macmillan: 6 sept 2002)page. 117
 [12]https://hbis.wordpress.com/2010/08/16/sumpah-setia-baiah-aqobah-keduapenduduk-yatsrib-dasar-penbentukan-negara-madinah/
          
[13] Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah,(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 561.
[14] Dr. H.Dedi Ismatullah, SH., Ilmu Negara Mutakhir, Kekuasaan, Hukum dan Masyarakat,(Bandung: Pustaka Attadbiirr, 2006), hal. 200.
[15] Dr. H.Dedi Ismatullah, SH., Ilmu Negara Mutakhir, Kekuasaan, Hukum dan Masyarakat,(Bandung: Pustaka Attadbiirr, 2006), hal. 200.
 [16]http://limalaras.wordpress.com/2010/02/28/nabi-muhammad-saw-sebagai-pemimpin-agama-pemimpin-negara/

   [17] http://hudzai.wordpress.com/2010/01/06/muhammad-sebagai-pemimpin-negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar